Tuesday, September 25, 2007

esai

BENARKAH ISLAM AGAMA TERORIS?
Oleh: Sunlie Thomas Alexander

“SHOW me just what Mohammed brought that was new, and there you will find things only evil and inhuman, such as his command to spread by the sword the faith be preached.” (Tunjukkan padaku apa yang baru yang dibawa oleh Muhammad, dan di situ Anda hanya akan mendapatkan sesuatu yang jahat dan tidak manusiawi, seperti perintahnya untuk menyebarkan keimanan yang didakwahkannya dengan pedang).
Pernyataan Paus Benediktus XVI mengutip buku karya Theodore Khoury dalam kuliahnya di Aula Magna Universitas Regensburg, Jerman, 12 September 2006 yang membuahkan kemarahan umat Islam di seluruh dunia itu, kiranya tidak melulu harus kita pahami sebagai sebuah sikap Barat (tidak selalu identik dengan Kristen) dalam memandang Islam. Pernyataan dalam buku itu sebenarnya merupakan dialog antara Kaisar dengan seorang intelektual dari Persia tentang Islam dan Kristen, yang kebetulan dikutip oleh Sri Paus secara agak sembrono dan barangkali dimaksudkannya sebagai kritik terhadap penyebaran keimanan dengan kekerasan yang diarahkannya pada Islam.
Sejak berabad-abad silam, bahkan sebelum Eropa keluar dari zaman kegelapannya, Timur (Islam) memang tak hanya dipandang sebagai sebuah dunia yang terbelakang dan barbar—meskipun juga eksotik—oleh Barat. Hingga studi para orientalis kemudian membakukan Timur (Islam) sebagai “the other” dengan stigma yang tak juga berubah. Kecenderungan yang kemudian justru diikuti oleh Timur (Islam) dengan sedikit konyol dan tidak seimbang dengan sebuah studi kajian berkesan membalas dendam yang kita kenal sebagai Oksidentalisme.
Cara pandang (atau konsep) Barat terhadap Timur (Islam), dan Timur (Islam) terhadap Barat ini merupakan persoalan kompleks yang mesti terus-menerus kita cermati. Karena model-model pemahaman tersebut seringkali bukan berdasarkan pada kajian tipoligi resmi, tetapi hanya sekedar pengamatan atas realitas di masyarakat yang perlu diklarifikasi lebih jauh. Harus dipertanyakan lanjut, misalnya adakah pemahaman subjektif tersebut memang sesuai dengan keadaan objektif yang dipahami. Jika tidak, kita hanya akan selalu terjebak pada konsep-konsep sentral yang selalu dihadapkan secara oposisi biner: vis a vis.
Kondisi seperti ini—sebagaimana yang diungkapkan Edward Said—adalah kecenderungan memberi label yang bersifat generalizing (generalisasi), tanpa melihat nuansa-nuansa lembut dan kecil-kecil dalam kehidupan nyata, menjadi salah satu kecenderungan kuat dalam media Barat. Dari waktu ke waktu, prasangka semacam ini selalu kembali muncul ke permukaan.
Setiap suatu peristiwa tragis terjadi di dunia Islam atau di dunia Barat yang ada sangkut-pautnya dengan dunia Islam, prasangka itu akan hadir kembali. Demikian pula dengan umat Islam, ketika mendengar pemerintah Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya menyerang Afganistan dan Irak, reaksi yang muncul dari sebagian besar umat Islam adalah seruan berjihad untuk berperang, bahkan disertai pengusiran masyarakat sipil dari negara-negara bersangkutan. Jadi bukan hanya Barat yang melakukan generalisasi, Islam pun melakukan hal serupa. Seruan jihad jadi punya makna sakral yang ekstrem, yaitu berperang atau melakukan kekerasan demi membela kehormatan agama.
Terorisme berjubah agama yang muncul pasca 11 September 2001 sedikit banyak memang telah mengganggu hubungan Barat dengan Islam. Tanpa bermaksud membesar-besarkan, gangguan tersebut cukup memprihatinkan. Kebijakan pemerintah negara-negara Barat diasumsikan selalu diarahkan pada pemojokan umat Islam. Seolah-olah menegaskan bahwa pelaku teror tersebut adalah representasi dari karakter umat Islam secara keseluruhan. Tanpa sadar, terkadang sebagian umat Islam pun terbawa pada prasangka bahwa perang terhadap terorisme yang diserukan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya mengandung arti perang terhadap umat Islam.

Terorisme dan Sejarah Tuhan (Agama) Yang Kelam
Terorisme adalah sebuah kriminalitas, suatu kejahatan kemanusiaan yang tak bisa ditolerir. Pandangan serta nilai-nilai yang mendasarinya sangat berbahaya bagi keamanan dan perdamaian. Terorisme berjubah agama yang menjadikan masyarakat sipil sebagai sasaran teror jelas amat kita sesalkan dan kita kutuk. Karena peristiwa semacam ini secara tak sengaja telah membangkitkan “persepsi lama” Barat dalam memandang dan menilai Islam sebagai masyarakat yang tidak menghargai HAM, menyenangi tindak kekerasan, memasung kebebasan, diskriminatif, eksklusif, dan menyebarkan agama dengan pedang. Meskipun persepsi semacam ini tidaklah muncul dalam wacana akademik, sebagaimana studi orientalisme, pengaruhnya cukuplah luas di masyarakat Barat. Bahkan, lantaran menyentuh sensitivitas emosi, “persepsi lama” ini lebih besar dampaknya. Banyak warga Amerika dan Eropa memandang sinis umat Islam, terutama Muslim Imigran.
Terorisme berjubah agama memang tidak secara tegas merepresentasikan adanya benturan antara Islam dan Barat. Islam ditarik ke dalam sebuah ruang yang dipersalahkan karena pelakunya berasal dari kelompok yang beragama Islam, yang jumlahnya boleh dikatakan sangat sedikit. Walau kita bersikeras untuk menampik bahwa aksi teror yang terjadi sepanjang dasawasa terakhir di beberapa negara, termasuk Indonesia, merupakan representasi dari gerakan Islam dan mencerminkan sikap keseluruhan umat Islam, bangkitnya “persepsi lama” dalam masyarakat Barat tak gampang untuk dihentikan begitu saja. Masyarakat Barat sudah terlanjur menilai dan menyakini pelaku teror tersebut merepresentasikan umat Islam.
Kenyataan sejarah selama berabad-abad, dan kecenderungan politik yang terjadi di era sekarang, membuat Samuel Huntington misalnya, memprediksikan bahwa, “Suatu hal yang amat krusial dan mendasar tentang apa yang muncul di dalam politik global pada tahun-tahun mendatang, merupakan konflik yang ditimbulkan oleh perbedaan di antara dan di kalangan peradaban-peradaban.”
Jauh sebelum Perang Salib (Crusaders), kalangan Gereja sesungguhnya telah berupaya mengendalikan sedemikian banyak perilaku perang pada para pengikutnya, sehingga dibukalah gerakan Peace of God, yang dideklarasikan di Konsili Le Puy (975 M). Akan tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Menurut James T. Johnson, gerakan Peace of God, meskipun dimaksudkan untuk mereduksi kekerasan di Dunia Kristen, namun pada praktiknya telah membantu membentuk konteks sejarah yang menyebabkan Perang Salib menjadi suatu kemungkinan.
Terorisme dewasa ini, adalah terminologi yang dipropagandakan oleh Amerika Serikat dan para sekutunya dengan melekatkannya pada gerakan-gerakan Islam Politik dan Islam ideologis. Istilah ini awalnya dipopulerkan oleh majalah The Foreign Affairs. Sebelumnya aktivitas-aktivitas kekerasan dengan kebuasan yang melampaui batas untuk menimbulkan rasa takut luar biasa disertai jatuhnya korban secara acak dalam rangka mencapai tujuan politik, lebih sering disebut sebagai ‘urban querilla’ (gerilya kota). Ada nuansa heroisme dalam istilah ‘urban querilla’ ini, yaitu istilah yang memiliki arti perjuangan mencapai suatu cita-cita dengan cara gerilya. Tetapi, sejak awal 1990-an, istilah ini pelan-pelan lenyap dan digantikan dengan istilah terorisme yang disertai predikat istilah “Terorisme Islam”. Konon, semua ini diciptakan dengan maksud memprakasai dan membangun konflik internasional (baca: The Global War on Terrorist). Parick J. Buchanan dalam tulisannya, “Is Islam an Enemmy of The United States?” mengemukakan, “Bagi sebagian orang Amerika yang mencari musuh baru guna menguji coba kekuasaan setelah runtuhnya komunisme, Islam adalah pilihannya.”
Kenapa Islam menjadi pilihan? Jawabannya barangkali tidak dapat dilepaskan dari keinginan AS untuk tetap mempertahankan dominasinya di dunia. Setelah berakhirnya era Perang Dingin, Blok Timur runtuh, AS agaknya menilai bahwa dunia Islam adalah musuh potensial yang bakal mengganjal keinginan AS. Guru besar Sarah Lawrence College, Fawaz A. Gergez dalam buku “America and Political Islam” menyatakan, meski para peminpin AS menolak hipotesis Clash of Civilization, kebijakan AS pasca Perang Dingin memang sangat dipengaruhi oleh ketakutan adanya ancaman Islam (Islamist Threat). Hal ini diperkuat oleh pendapat kaum intelektual konfrontasionis seperti Bernard Lewis, Huntington, dan Liddle. Bahkan awal 1992, Presiden Israel sebagaimana dikutip The Guardian (19/6/1992) menyatakan, “Penyakit (Islam Fundamentalis) sedang menyebar secara cepat dan merupakan sebuah bahaya tidak hanya untuk masyarakat Yahudi, tetapi juga bagi kemanusiaan secara umum.”
Bila kita harus mengikuti hipotesa Huntington dalam “Benturan Antarperadaban”, kita akan dibawa pada sebuah kesimpulan adanya sekian banyak fakta yang secara otomatis, tanpa bisa ditolak, menciptakan jurang perbedaan di antara peradaban-peradaban, antara lain perbedaan pandangan hidup, dunia yang kian mengerucut oleh globalisme, proses modernisasi ekonomi dan perubahan sosial yang mengakibatkan tercerabutnya masyarakat dari akar identitas lokal, berkembangnya kesadaran peradaban (civilization consciousness) akibat peran ganda Barat, dan regionalisme ekonomi yang semakin meningkat. Huntington menyebutkan ada delapan peradaban besar, yaitu Barat, Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Slavik, Ortodoks, Amerika Latin dan Afrika. Pertanyaannya adalah peradaban manakah yang kemudian akan saling berbenturan secara vis a vis? Ia menjawab pertanyaan ini dengan memprediksi bahwa benturan tidak akan terjadi di antara kedelapan peradaban tersebut, namun potensi yang terbesar adalah antara Barat dengan koalisi Islam-Konfusius. Dan benturan ini menurutnya terjadi lantaran tiga hal pokok, yakni hegemoni arogansi Barat, intoleransi Islam, dan fanatisme Konfusionis. Tetapi sampai saat ini, Konfusionisme (pasca kebangkitan China) dipandang Barat sebagai sebuah peradaban masih dapat diajak berdialog dan memiliki sikap lebih terbuka.
AS memang tidak memerangi Islam (atau umat Islam) secara keseluruhan, tetapi lebih tertuju pada orang atau kelompok yang pikiran dan tindakannya bertentangan dengan AS, karena itu dikhawatirkan mengancam kepentingan AS. Pada awalnya, gerakan-gerakan Islam memang dikhawatirkan akan mengancam penguasa dari negeri Muslim yang selama ini tunduk pada AS dan mampu menjaga kepentingan AS di negerinya. Tetapi pada tahap selanjutnya, jika perkembangan gerakan Islam terjadi di mana-mana, dicemaskan pada akhirnya bakal mengancam kepentingan AS secara luas.
Apakah memang benar ajaran Islam adalah ajaran teror dan kekerasan? Atau benarkah teroris lebih banyak berasal dari kalangan yang mengaku Islam? Kenyataan sejarah membuktikan bahwa kekerasan yang dikaitkan dengan fundamentalisme tidak hanya berasal dari kalangan Muslim. Nuansa kekerasan fundamentalisme ada dan muncul dalam semua agama dan telah menjadi respon mengglobal terhadap ketegangan kehidupan di abad kita dan abad-abad sebelumnya. Menurut Karen Armstrong (2001: xi): Hindu radikal turun ke jalan-jalan untuk membela sistem kasta dan menentang Muslim India; kaum fundamentalis Yahudi melakukan penghunian ilegal di Tepi Barat dan Jalur Gaza serta bersumpah untuk mengusir semua orang Arab dari Tanah Suci mereka; “Moral Majority” yang dipimpin Jerry Falwell dan “Christian Right” yang menganggap Uni Sovyet sebagai kerajaan setan, mencapai kekuasaan yang hebat di Amerika Serikat selama tahun 1980-an. Maka, adalah kesalahan menganggap ekstremis Muslim sebagai ciri keimanan umat Muslim.
Sejarah Tuhan (baca: agama)—seperti yang diungkapan Karen Armstrong dalam bukunya “A History of God”—di seluruh muka bumi adalah sejarah kelam dan berdarah-darah. Ketika kelompok Syi’ah di Lebanon melakukan penyanderaan atas nama Islam, adakah orang-orang di Eropa dan Amerika yang secara alamiah terpukul oleh Islam, menyadari kalau perilaku tersebut bertentangan dengan peraturan penting yang tercantum dalam Al Qur’an tentang penahanan dan perlakuan terhadap tahanan?
Jika fundamentalisme tampak matang di dunia Muslim khususnya, mungkin ini semata-mata karena ledakan populasinya. Kelompok teroris Irlandia dan kelompok teroris Tentara Merah, sama sekali bukan dari kalangan Muslim. Pelarangan jilbab di Turki dan Perancis, bukankah juga teror sekaligus pelanggaran HAM? Mereka memang selalu membawa simbol agama, tetapi ajaran Islam sendiri sebenarnya sama sekali bukan agama yang bernuansa teroris. Seperti yang dikatakan Karen Armstrong, kejahatan teroris jangan disalahkan kepada agama Islam, karena justru merupakan perilaku yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islami yang luhur. Sangat banyak ayat Al Qur’an yang melarang kekerasan, pembunuhan dan perusakan di muka bumi ini. Allah menyamakan orang yang membunuh sesama manusia (kecuali dalam peperangan) sebagai seakan-akan telah membunuh manusia seluruhnya, artinya telah menghancurkan kemanusiaan (Al-Maidah: 32); Kutukan terhadap orang yang membuat kerusakan di muka bumi (Al-Maidah: 33, Al-Araf: 56); Bahwa Allah tidak menyukai kebinasaan (Al-Baqarah: 204-206); dan jika aksi teror itu khusus menimbulkan korban jiwa di kalangan Muslim (An-Nisa: 93). Selain ayat-ayat di atas, masih banyak lagi ayat yang membuktikan ajaran Islam sebenarnya anti terorisme.

Islam Harus Membaca Diri
Ada telaah menarik dari Amin Malouf dalam bukunya “In The Name of Identity”, di mana menurutnya dalam sejarah perbandingan dunia Kristen dan Islam, kita akan menemukan di satu sisi sebuah agama yang sejak lama intoleran dengan tendensi yang jelas pada totalitarianisme, tetapi secara berangsur-angsur berubah menjadi agama keterbukaan; dan di sisi lain, kita akan menemukan sebuah agama dengan watak keterbukaan yang berangsur-angsur terdorong menuju praktek-praktek yang intoleran dan totaliter.
Pertanyaannya adalah mengapa dunia Kristen (tidak selalu identik dengan Barat) yang memiliki tradisi panjang intoleransi dan selalu menganggap diri sulit hidup berdampingan dengan “yang lain” bisa menghasilkan sebuah masyarakat yang menghargai kebebasan berekspresi, sementara dunia Islam yang telah sejak lama menjalankan koeksistensi, kini justru terlihat seperti sebuah kantong fanatisme?
Mungkin jawaban sementara adalah dunia Kristen (tidak selalu identik dengan Barat) mau belajar dari sejarah gelapnya sendiri yang panjang dan berlumuran darah: sejarah Inquisisi, perang Katolik-Protestan, Perang Salib, permusuhan terhadap filsafat dan sains, dan banyak lagi. Pekatnya sejarah Gereja telah membuat umat Kristen terbuka matanya dan tergugah untuk mereformasi diri, di antaranya upaya Gereja Katolik Roma melalui Konsili Vatikan II tahun 1960-an, yang menghasilkan sebuah pandangan baru tentang dunia non-Kristen, di mana pandangan tak ada keselamatan di luar Gereja dan orang beragama lain adalah kafir dipertanyakan kembali secara kritis dan humanis.
Sedangkan Islam, pada perkembangannya justru melupakan sejarah yang penuh kedamaian dan keterbukaan seperti yang tersurat dalam Piagam Madinah, Kejayaan Istanbul di akhir abad 19 yang berisi penduduk mayoritas non-Muslim terutama Yahudi, Armenia, dan Yunani. Atau program penerjemahan besar-besaran dari tradisi Yunani, Persia, dan India yang menghasilkan kemajuan besar dalam sains dan filsafat pada abad ke 7-15 di Baghdad, Damaskus, Kairo, Cordova, dan Tunisia pasca runtuhnya kekhilafahan.
Jika bicara tentang dendam dan rasa sakit hati, justru Islamlah yang harus dipertanyakan, apakah sikap eksklusif dan intoleran yang dikembangkan oleh kelompok-kelompok fundamentalisme-radikal-literalnya bukan karena merasa termarjinalkan oleh hegemoni Barat dalam berbagai aspek kehidupan sosial-budaya-politik global, dan tidak bisa menerima titik balik peradaban?

Jihad adalah Perang?
Islam sesungguhnya memang bukan agama kekerasan, justru Islam merupakan sebuah agama yang berprinsip “rahmatan lil alamin”, menyebarkan perdamaian ke seluruh alam. Namun, Islam memiliki hukum-hukum yang memperbolehkan perang dengan dalih melindungi dakwah, kehormatan, harta, jiwa dan negeri kaum Muslim. Hukum-hukum itulah yang dikenal sebagai “jihad fi sabilillah”.
Para fukaha mendefinisikan “jihad fi sabilllah” sebagai pengerahan kekuatan untuk memerangi musuh dalam rangka meninggikan kalimat Allah, dengan peperangan langsung di medan pertempuran ataupun memberikan bantuan keuangan, logistik, bahkan pendapat-pendapat dalam strategi dan taktik, termasuk pidato yang membakar semangat para mujahidin agar siap menyongsong kemenangan dan mati syahid.
Dan di sinilah sebetulnya letak persoalannya. Ayat-ayat Al Qur’an maupun Al Sunnah seringkali dipahami secara hitam-putih dan asal-asalan—tanpa mau menerima dialog dalam jenis apa pun—oleh kelompok-kelompok fundamentalis-radikal-literal Islam. Mereka selalu melegitimasi kekerasan dengan berbagai ayat Qur’an dan Hadits untuk membakar tempat ibadah orang lain, menganggap darah non-Muslim (baca: kafir) adalah halal—demikian pula harta bendanya halal dirampas, menyerukan pembalasan dendam terhadap Amerika, ataupun mengobarkan semangat kebencian terhadap pihak-pihak yang berseberangan (termasuk terhadap kelompok-kelompok Islam yang lain). Kelompok-kelompok ini sulit untuk diajak berdialog bukan saja karena paradigma berpikir mereka yang sudah terkonstruksi sedemikian rupa, tetapi juga prinsip mereka yang “pokoknya…” Mereka seolah-olah mengklaim diri mereka sebagai pemilik kebenaran, antara lain dengan menghakimi kelompak lain dalam Islam sendiri yang mereka anggap sesat.
Hal semacam ini mungkin memang tidak mengherankan, bila kita mencermati sikap mereka dalam menafsirkan teks-teks agama yang condong ke pandangan hurufiah. Mereka juga suka mengoral retorika anti Barat yang sekaligus artinya anti Kristen. Padahal makna jihad yang sesungguhnya sangatlah berlawanan. Al Qur’an dan Al Sunnah mengisyarakan perang (angkat senjata) hanya jika umat Islam dalam posisi diserang dan semata-mata untuk membela diri, atau untuk melenyapkan kekufuran (fitnah) dan demi membela yang tertindas tanpa melihat agama mereka, sebagaimana yang dikatakan QS Al-Baqarah 2:190: “Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, tetapi janganlah kalian melampaui batas, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
Tetapi dalam memahami ayat-ayat Qur’an maupun Hadits mengenai permasalahan jihad seperti ini, kelompok-kelompok fundamentalis-radikal-literal tersebut kerap kali tidak pernah melihat latar belakang atau konteks yang mendasari turunnya ayat-ayat tersebut atau apa yang mendorong Rasulullah mengeluarkan kata-katanya. Mereka dengan gampang menafsirkan ayat-ayat jihad dan Al Sunnah, misalnya QS. At-Taubah 9:29 yang berbunyi: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan pada hari akhir, juga orang-orang yang tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya, tidak beragama dengan agama yang haq (benar), yaitu dari kalangan orang-orang yang telah diberikan kepada mereka al-Kitab sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedangkan mereka dalam keadaan tunduk” atau HR. al-Bukhari dan Muslim yang bunyinya: “Aku ini diutus untuk memerangi manusia hingga mereka mengatakan tidak ada tuhan yang patut disembah kecuali Allah serta mengimaniku. Jika mereka mengatakannya, berarti darah-darah dan harta mereka terlindungi dariku, kecuali atas hak-hak Islam.”, juga ayat “Bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kalian jumpai.” (QS At-Taubah 9:5), dengan melarang non-Muslim mendirikan tempat ibadah, membakar tempat-tempat ibadah non-Muslim, menyerang diskotik dan pub karaoke, atau pun membubarkan dengan paksa acara-acara yang digagas oleh kelompok yang mereka anggap musuh seperti yang baru-baru ini terjadi dalam rapat Papernas di Kaliurang, Yogyakarta. Belum lagi ayat-ayat seperti QS. Al-Baqarah 2:120 yang berbunyi: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kalian hingga kalian mengikuti agama mereka.” yang ditafsirkan dengan penuh kebencian dan dendam.
Pembacaan atas teks ayat-ayat Qur’an dan Hadits Nabi yang sepotong-sepotong, tidak melihat konteks, dan secara hurufiah, baik dengan sengaja ataupun lantaran “ketidaktahuan” semata oleh kelompok-kelompok Islam fundamentalis-radikal-literal inilah yang seyogyanya semakin menjerumuskan Islam ke dalam “persepsi buruk” yang dimaknai oleh Barat. Belum lagi mereka yang terjebak dalam fasisme-nostalgia kejayaan masa silam Islam di zaman kekhilafahan dengan mengembangkan cita-cita dan misi mendirikan negara Islam khilafah (Bandingkan dengan Benito Mussolini (Italia) yang mencita-citakan bangkitnya kejayaan Imperium Romawi di masa Perang Dunia II).
Mereka dengan terang-terangan menyerukan kepada umat Islam untuk berperang secara fisik, contohnya melawan AS, bukan sekadar seruan untuk menghujat dan mengutuk invasi AS. Bagi mereka, kaum Muslimin yang menyerukan perdamaian dan anti perang sama saja dengan kaum kafir yang meniupkan propaganda dan strategi licik untuk memberangus ajaran Islam yang mulia, yakni jihad dan futuhut untuk menaklukkan berbagai negeri. Ayat yang dipakai untuk melegitimasi hal ini adalah QS. At-Taubah 9: 29, sebagaimana yang telah dilakukan oleh sebagian kerajaan Islam di masa lampau. Padahal selama berabad-abad di Asia contohnya, para musafir dan pedagang Islam telah menunjukkan jalan dakwah yang lebih damai dan indah, yaitu jalan dagang.
Untuk menguatkan dalih, mereka misalnya mengutip tafsiran sekelompok ulama bahwa ayat 190 surat Al-Baqarah, di mana Rasulullah hanya memerangi (secara defensif) siapa saja yang memerangi beliau dan menghentikan perang terhadap orang yang tidak memerangi beliau, telah dihapus oleh surat At-Taubah ayat 5 yang berbunyi, “Perangilah kaum musyrik itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kalian semuanya.” Dengan ayat itu, jihad bagi mereka tidak lagi defensif semata, tetapi juga ofensif.
Karena itu, tuduhan Barat kalau Nabi Muhammad SAW adalah Nabi yang menyebarkan dakwah dengan pedang, sebagaimana yang ditampilkan dalam bentuk karikatur olok-olokan oleh media massa Denmark misalnya, bisa jadi merupakan akibat dari pemahaman “tak senonoh” kelompok-kelompok Islam fundamentalis-radikal-literal itu sendiri atas sosok Rasulullah yang “mereka cintai”.
Menurut mereka, kata “qital” merupakan bentuk “mashdar” (gerund) dari “fi’l qatala” (qatala, yuqatilu qital[an], muqatalat[an]) yang tidak bisa lain berarti perang secara fisik, dan merupakan makna jihad secara syar’i. Muhammad Khair Haykai menyatakan, bahwa pengertian syar’i dari jihad adalah “al-qital fi sabilillah bisyuruthihi” (jihad adalah perang di jalan Allah dengan berbagai ketentuannya). Lebih lanjut ia mengatakan bahwa jika kata jihad dinyatakan tanpa indikasi maka yang dimaksudkan adalah jihad dalam makna syar’i, yaitu perang fisik.

Penutup
Menurut saya, umat Islam harus lebih banyak melakukan intropeksi dan terus-menerus mewaspadai gerakan-gerakan di dalam tubuh Islam sendiri seperti yang dilakukan oleh kelompok-kelompok fundamentalis-radikal-literal tersebut, bila tidak ingin peradaban Islam semakin terpuruk dalam kebodohan dan ketinggalan maupun kian terjerumus ke dalam stigma “agama galak” yang dilemparkan oleh Barat.
Pandangan kelompok-kelompok fundamentalis-radikal-literal ini (tokoh Islam Liberal, Ulil Abshar-Abdalla menyebutnya sebagai “Islam Gembar-Gembor”, tetapi saya lebih suka menyebut “Islam Teriak-Teriak”) akan menjadi semakin berbahaya karena belakangan ini tampaknya gerakan mereka dalam menancapkan pemikiran maupun pengaruh ideologi kian intensif, konsisten, dan mendapatkan respon (baca: penerimaan).
Rasulullah SAW sendiri telah memperingati kita semua bahwa, “Sesungguhnya bukanlah Yahudi atau Nasrani yang akan menghancurkan Islam, tetapi umat Islam sendiri.” (HR. al-Bukhari-Muslim). Astaghfirullah!***


BAHAN BACAAN:
1. Huntington, Samuel P. Benturan Antarperadaban; Dan Masa Depan Politik Dunia. Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2003.
2. Zarkasyi, Hamid Fahmy. Memahami Barat. Jurnal ISLAMIA Vol. III No. 2.
3. Ismail, Abu. Di Balik Perang Salib Baru. Majalah al-wa’ie No. 31 Tahun III, 1-31 Maret 2003.
4. Amhar, Dr. Fahmi. Menyambut Perang Salib Baru. Majalah al-wa’ie No. 31 Tahun III, 1-31 Maret 2003.
5. Abdurrahman, A. Humam. Persekongkolan Para Penguasa Muslim. Majalah al-wa’ie, No.33 Tahun III, 1-31 Mei 2003.
6. Al-Khaththath, Muhammad. Jihad Adalah Perang; Tafsir Surat Al-Baqarah 190-191. Majalah al-wa’ie No. 33 Tahun III, 1-31 Mei 2003.
7. ______________, Al-Qital (Perang). Majalah al-wa’ie No. 33 Tahun III, 1-31 Mei 2003.
8. ______________, AS Memang Membidik Islam; Wawancara dengan Jubir HTI Muhammad Ismail Yusanto. Majalah al-wa’ie No. 60 Tahun V, 1-31 Agustus 2005.
9. Armas, M.A., Adnin. Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal. Jakarta: Gema Insani, 2003.
10. Armstrong, Karen. Perang Suci. Jakarta: Serambi, 20
11. Armstrong, Karen. Sejarah Tuhan. Bandung: Mizan, 2001.
12. Maalouf, Amin. In The Name of Identity. Yogyakarta: Resist Book, 2004.
13. Smith, Huston. Agama-agama Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.
14. Basya, Hilaly. Islam, Barat, dan Terorisme. www.cmm.or.id, 13 April 2007.

cerpen 4


BILUR BILUR UNGU,
KUDA YANG BERMATA BINTANG KEJORA

Cerpen: Sunlie Thomas Alexander



--Kenang-kenangan selalu kembali seperti hujan.
--Rindu itu berkelebat, bergeletar serupa lecutan pecut!
--Seekor kuda betina yang bermata bintang kejora, mengerjap-ngerjap…


MATANYA terus merayapi punggung perempuan-perempuan yang berseliweran itu. Membayangkan punggung-punggung kuning langsat yang terbuka dipenuhi bilur-bilur berwarna ungu. Terpentang molek dalam posisi telungkup di atas seprei beludru merah bermotif bunga-bunga chrysanthemun kuning. Ada yang memanjang lurus, ada yang berupa garis pendek, ada yang melengkung setengah lingkaran, ada pula yang menyerupai huruf S. Sering warna bilur-bilur itu masing-masing tidak sama: sebagian berwarna ungu tua, agak kehitaman. Sebagian lebih tepat disebut biru kemerah-merahan. Terkadang, bilur-bilur itu membentuk gradasi warna yang menarik. Dari warna tint ke warna hue. Terhampar menakjubkan menyerupai pulau-pulau di lautan luas bila dilihat dari ketinggian ribuan kaki dari jendela pesawat yang ia tumpangi.
Selalu ia menjadi bergairah. Terbakar tatkala membayangkan bilur-bilur itu. Seperti setiap kali ia melihat perempuan semampai berkulit kuning langsat, ia selalu teringat pada ibunya. Tepatnya ibu keduanya.
“Hati-hati Nak, sakit!” perempuan itu meringis seperti kepedasan tergigit cabe, ketika tangannya menggoreskan kapas basah berisi obat Thiat Ta Yok Chin ke punggung kuning langsat yang terpentang. Memoles satu demi satu bilur-bilur ungu di punggung yang semakin tak mulus itu. Tak jarang perempuan itu memekik bila tangannya menekan terlampau kuat. Terutama pada jalur-jalur bilur yang membengkak atau terkoyak merah. Itu pertanda ia harus mengurangi tenaga, memoleskan kapas lebih lembut.
Di matanya, perempuan yang sedang telungkup itu menggemaskan bagaikan boneka-boneka manekin di butik ayahnya yang sering ia telanjangi. Hal tersebut memang kerap ia lakukan jika pulang paling terakhir ketika semua karyawan sudah pulang, lantaran ia harus memeriksa buku keuangan. Manekin-manekin cantik itu ia kupas pakaiannya dan ia baringkan berjejer di lantai butik. Lalu sambil menikmati secangkir kopi hangat ia akan mempelototi manekin-manekin bugil itu selama berjam-jam. Dengan begitu, ia orgasme berulang kali. Tetapi manekin dengan bilur-bilur ungu di punggung itu terlampau menggairahkan. Tak jarang manekin itu menggeliat-geliat hebat apabila jari-jemarinya yang telaten menyusup terlalu jauh ke bawah. Mengikuti bilur yang memanjang ke balik kain yang melorot memperlihatkan sebaris lekuk di antara dua buah bokong besar yang terbalut celana dalam satin. Dan itu membuat darahnya berdesir panas.
Hujan masih berjatuhan. Namun tinggal berupa gerimis. Semakin tipis.
* * *
PEREMPUAN itu selalu menangis setelah ayahnya pergi. Dan sudah kebiasaan, jari-jarinya akan segera menyusut air bening yang meleleh dari sudut mata perempuan itu. Diperhatikannya sepasang mata yang tak begitu sipit itu lekat-lekat. Mata yang suka mengerjap-ngerjap. Begitu indah. Kemudian sepasang alisnya yang melengkung seperti pelangi. Tipis tapi cukup tegas. Hidungnya yang bangir, lalu sebentuk bibir yang mungil namun penuh. Juga sebuah tahi lalat kecil di bawah bibir itu. Ia selalu membanding-bandingkan wajah itu dengan wajah Dewi Kwan Iem dalam lukisan di sin thoi1. Keduanya memang memiliki pipi yang sama ranum, sedikit kemerah-merahan. Pada saat-saat seperti itu, wajah yang bersandar di bahunya tersebut akan terlihat bagaikan wajah kanak-kanak yang begitu polos. Lalu punggung itu, dengan bilur-bilur ungu yang begitu menakjubkan kembali terbuka. Lebih indah dari tatto bergambar apa pun. Untuk beberapa saat lamanya ia akan terpaku, menikmati bilur-bilur ungu yang mempesona itu. Merayapi sekujur punggung yang telungkup dengan sepenuh gairah…
Suatu pagi, setelah memoleskan kapas basah ke bilur-bilur ungu yang begitu banyak sehingga nyaris menutupi sekujur punggung kuning langsat itu ia temukan sepasang mata ibunya telah menjelma menjadi sepasang mata kanak-kanak. Menatapnya seperti seorang anak kecil yang merengek meminta jajanan.
--Mata itu mengundang. Penuh hasrat. Mengerjap.
“Temani ibu di sini, Nak.” Suara lirih perempuan itu membuatnya tak jadi beranjak membersihkan tangan dari obat Thiat Ta Yok Chin yang tajam menyengat. Ia hanya duduk di tepi ranjang berseprei merah dengan motif bunga-bunga chrysanthemun itu memandangi ibu keduanya yang tergolek dengan rambut tersanggul tinggi. Sementara hujan menggila di luar jendela. Dan ia terkejut ketika tiba-tiba suara lirih itu berubah menjadi suara ringkikan kuda.
Ia tak cukup siap ibunya akan berubah menjadi seekor kuda betina di hadapannya. Seekor kuda zebra yang liar. Tahu-tahu kuda itu sudah membawanya menjelajahi padang-padang sabana, melewati jeram dan tebing-tebing berbahaya. Sungguh, baru sekali itu ia begitu gembira. Ia tak menyangka akan mengalami petualangan yang begitu mendebarkan. Ia bayangkan dirinya menjadi seorang koboi seperti ayahnya atau koboi dalam film-film western. Ia memacu kuda itu melewati perkampungan-perkampungan Indian, kota-kota dengan deretan bar, dan tanah-tanah pertanian yang terbentang keemasan oleh gandum menguning. Itulah pengalaman pertamanya menunggang kuda. Tetapi ternyata ia bukanlah seorang koboi. Ia juga seekor kuda. Kuda jantan yang sama liar. Ia lupa, mereka sama-sama bershio kuda. Terpaut dua belas tahun.
--“Mata Ibu indah. Benar katanya, kayak bintang kejora.”
--“Jangan ikut sinting seperti dia!”
* * *
SEJAK itu ia menyukai segala hal yang berbau kuda. Film-film yang ada kuda, poster-poster, lukisan, berbagai ukiran, gambar-gambar kuda di majalah, juga mainan-mainan dan patung-patung kuda. Beragam jenis kuda, sampai kuda-kuda yang tak lazim: pegasus, unicorn dan centaurus. Tapi yang paling ia sukai adalah patung zebra. Kuda itu di matanya begitu indah karena memiliki garis-garis hitam yang melintang di sekujur badan. Ia memiliki puluhan koleksi patung kuda zebra itu. Dari yang terbuat dari timah, perunggu, kayu, tanah liat, sampai plastik.
Kemudian ia juga mempelajari sifat-sifat kuda. Ia hampir menghafal tahun-tahun kuda dalam kelender Imlek. Ia mengingat hari-hari kelahiran kuda-kuda di sekitarnya: ulang tahun ibu kandungnya almarhum, ibu keduanya, dan perempuan-perempuan bershio kuda yang pernah dekat dengannya. Dari tanggal, hari, dan bulan kelahiran itu, ia belajar memahami karakter kuda-kuda itu. Mendiang ibu kandungnya adalah seekor kuda Libra, kuda sirkus yang selalu menurut pada perintah ayahnya. Sedangkan ibu keduanya seekor kuda Aquarius. Kuda pacuan yang selalu tergantung pada ayahnya. Kedua ekor kuda itu sama-sama kuda yang tak berdaya. Ia sendiri merasa cukup bangga terlahir sebagai seekor kuda Aries; kuda yang kuat, pemberani dan bersemangat. Apalagi ia lahir di hari Jum’at. Hari yang berunsur api. Jadi ia kuda api. Kuda merah Dewa Kwan Ti yang dengan gagah perkasa menerobos benteng pertahanan musuh di bawah hujan ribuan anak panah. Namun sesungguhnya, ia tak pernah ingin menjadi seekor kuda pejantan. Ia ingin jadi koboi atau pendekar-pendekar dalam cerita silat klasik yang menunggang kuda sembrani. Itulah sebabnya ia benci pada ayahnya.
Ayahnya selalu membakar tiga batang hio di depan altar Dewi Kwan Iem sebelum mengeluarkan pecut kuda itu. Pecut yang begitu bagus dan ingin sekali ia miliki. Tetapi ayahnya marah, memakinya habis-habisan dan menamparnya. Ia tidak melawan tapi ada bara yang memercik di kedua matanya. Terasa begitu panas. Ia tinggalkan ayahnya yang sedang berlutut di depan sin thoi dengan geraham terkatup rapat.
Malam itu, sambil terlentang dengan mata nyalang, ia kembali mendengarkan suara-suara pecut itu melecut. Tar! Tar! Tar! Lalu terdengar suara derap kuda dipacu. Kuda itu meringkik-ringkik keras menerima lecutan ayahnya di punggung; membawa ayahnya melintasi padang-padang sabana. Ia merasa begitu iri pada ayahnya. Karena ayahnya adalah seorang koboi sejati. Ia membayangkan betapa indahnya padang-padang yang dilewati ayahnya itu. Malam itu, dan malam-malam lainnya, ia tak pernah dapat tidur bila suara pecut yang begitu merdu itu terdengar. Dia terus menyimak suara-suara lecutannya dan ringkik kuda dengan penuh gairah. Lalu ia mendengar suara ayahnya mendesah tertahan. Seperti menahan sesuatu yang hendak meletus.
--“Akh…!! Matamu seperti kerlip bintang kejora, Sayang…”
Dulu sekali, ia suka diam-diam mengintip setiap kali ayahnya memainkan pecut itu di atas punggung seekor kuda yang lain dari pintu kamar yang sedikit terkuak. Kuda itu tentu saja adalah jelmaan ibu pertamanya. Kuda itu memekik-mekik keras, kadang meraung dan mengeluarkan suara melolong tinggi. Tapi ayahnya terus melecutkan pecut ke punggung kuda itu dan memacunya dengan kencang. Ia ternganga dan mencoba membanding-bandingkan adegan dari sela daun pintu itu dengan film-film western yang pernah ditontonnya.
* * *
KINI ia memiliki pecut itu. Ia membawa pecut itu ke mana pun ia pergi. Ke luar negeri sekali pun, pecut itu selalu tersimpan dalam kopernya. Ia menggunakannya di kamar-kamar hotel berbintang lima, villa-villa di atas bukit dan tepi pantai. Setiap malam purnama lima belas Imlek, ia selalu mengasapi pecut itu dengan tiga batang hio seperti yang dulu selalu dilakukan ayahnya. Ia mengingat setiap ekor kuda betina yang pernah dilecutinya dengan pecut itu. Kuda-kuda yang meringkik-ringkik keras dengan sekujur punggung penuh bilur-bilur ungu. Ah, betapa indahnya melihat punggung-punggung mulus itu berubah warna oleh ujung pecutnya. Matanya selalu terbelalak takjub menyaksikan darah-darah yang bergumpal, kulit-kulit mulus yang lecet menjadi garis-garis keunguan. Tapi tidak seperti ayahnya, ia tak pernah dapat menjinakkan seekor pun dari kuda-kuda itu. Karena itu, ia menyimpan dendam pada ayahnya.
Dendam itu semakin membara bila ia terkenang pada seekor kuda betina yang mengkhianatinya. Kuda itu meninggalkannya pada suatu subuh ketika hujan turun rintik-rintik dengan membawa serta seekor anak kuda pejantan. Saat itu ia sedang tertidur lelap setelah semalaman menunggangi kuda itu melintasi padang-padang sabana, membuat lebih banyak bilur-bilur ungu pada punggungnya dengan pecut. Seharusnya ia tidak memilih kuda penarik kereta itu. Kuda Taurus egoisnya tinggi, tidak penurut. Meski kuda betina itu begitu sempurna anatominya.
* * *
IA memberi tanda dengan jentikan jari pada seorang pelayan cantik berkulit kuning langsat. Gadis muda berkepang kuda itu bergegas menghampiri mejanya dengan sebuah notes kecil. Sambil memperhatikan gadis itu mencatat di samping meja, ia kembali mencoba membayangkan punggung mulus si gadis terpentang lebar telungkup di atas ranjang. Tetapi lagi-lagi yang hadir malah sebentuk punggung yang lain. Punggung yang tak pernah dapat dilupakannya itu. Punggung yang paling menggairahkan yang pernah dilihatnya. Punggung dengan bilur-bilur ungu yang abadi.
Ia meninggalkan cafetaria hotel itu sambil mengutuk. Musik masih membawakan repotoar ‘Night in Tunisia’2. Angin malam yang dingin dan berembun segera menerpa wajahnya begitu kakinya berpijak di trotoar. Di bawah temaram lampu-lampu jalan, sosok perempuan-perempuan berkulit kuning langsat terus berkelebat, menggodanya dengan punggung-punggung. Tetapi ia hanya merindukan punggung kuda betina itu. Kuda yang pertama kali membawanya menjelajahi padang-padang sabana. Ia rindu sekali pada pagi-pagi yang paling mendebarkan itu, setelah ayahnya berangkat ke butik. Masih lekat dalam benaknya, lekuk-lekuk anatomi kuda zebra itu yang demikian sempurna. Leher dan kuduknya yang putih jenjang, bentuk tungkai kakinya yang panjang, pinggulnya yang lebar dan padat, ringkikannya yang merdu, dan petualangan-petualangan hebat yang mereka lalui.
Ia ingin sekali melecutkan pecut ke punggung kuda betina itu. Sekali saja. Tapi sungguh, hal itu belum pernah ia lakukan.
Hujan mulai berebahan lagi. Tapi ia terus melangkah, membiarkan seluruh tubuhnya larut bersama butir-butir air yang menderas. Menderas. Seperti kenangan yang kembali.
--Ah, kuda betina yang bermata bintang kejora…**

Pulau Bangka, 25 September 2004


CATATAN:
1. altar pemujaan dewa yang terletak di dalam rumah.
2. sebuah komposisi karya Dizzi Cillespie.

Saturday, September 22, 2007

puisi 2



USAI PERCINTAAN
—terkenang puspita sari

di kota ini, tak ada cinta
matahari merajam kangen kita

di minggu pagi yang gamang,
sudah lama aku tak lagi menggauli
tubuh tuhan yang birahi
dalam litani dan redup tabernakel
yang meminta kurban hati

riwayatku retak bersama puisi puisi
di halaman koran yang muram
tapi di sana,
mungkin tempat tuhan bergembira
dan lebih birahi bersenggama
dengan siapa pun yang mencari sunyinya
yang abadi!

karena itu, kutulis lagi tentangmu,
kisah percintaan kita yang sedih
: dan merasa ejakulasi terlalu dini

di kota ini, tak ada cinta
matahari merajam kangen kita
tapi tercium juga aroma kelaminmu;
samar samar sampai pada puisi
yang begitu sulit jadi

lalu kita sama menangis
karena rindu dan birahi,
ngungun meraba tubuh tuhan yang remuk
pada percumbuan terakhir
sebelum matahari mengeringkan mani
sebelum angin pagi membawa lari
aroma kelaminmu yang nyeri!

Yogyakarta, Agustus 2007


SEBUAH RUANGAN
: in memoriam,
thong sit jung (1917-1997)

sebuah ruangan
merawat kenanganmu
dalam haru
seperti bandul jam di pojoknya
yang urung berdentang itu

seekor cecak
merayap di dinding kayu kelabu,
menghilang ke balik lusuh kalender
yang senantiasa bisu

angka angka abadi
atau mati
kita mungkin tak sempat tahu

aku hanya menebak
kalau di luar, hari telah malam
dari ampas kopimu:
masa kanakku yang sarat ragu!

seperti apakah waktu?
bakal menyimpan sisa
percakapan kita
atau menjelma hantu
yang bangkit dari abu

barangkali, di ruangan itu pun
tak ada lagi yang kita kenali
selain masa lalu
dan melulu ditakdirkan
berwajah sendu

rumah berdinding rapuh,
kenangan batu,
masa kecil yang ragu
adakah yang lebih bengal
daripada rindu?

ah, betapa pilu, betapa pilu…
segalanya yang mengabu
juga dari keluh!

Yogyakarta, 2007


RIWAYAT PELADANG
SEBAGAI ANAK DAGANG
: buding

telah kau ukir riwayatmu
di tanah tembuni,
mimpi yang tumbuh seperti teluh
sementara orang orang mengepungmu
dengan mantra paling pilu
berserulah yang lantang, gebrak kudamu
menjemput ingatan yang diluputkan setan gagu
ke ladang, di ladang yang jauh...

celakalah kuda yang tak setia!
yang nyasar ke makam makam penuh tulah
bakal angslup tubuhmu dititah guna-guna

tapi gairahmu bergolak oleh nyanyian ibu,
nyanyian rindu di musim panen yang biru
maka kau pun menarik lagi kekang dan berpacu
berpacu! berpacu! ke muasal rindu,
ceruk mata ibu,
rongga waktu bagai goa batu!

bersama burung burung, kau bertapa
di rumpun-rumpun lada, doamu menjalar
di sekujur tubuh tanah moyang yang gembur
sabar menolak segala getir; rasa takut yang berhilir

berhilirlah ke ujung bumi, anakku!
hingga anyir seluruh tubuhmu, riwayatmu
hingga nyinyir cuaca di kampungmu
hingga gigil seluruh mambang yang diam di batu

ai, begitulah selalu ibumu, perempuan peladang itu
menembang; seduhan kopi bagi kepulanganmu
yang paling malang
pada sebuah malam yang paling absurd
tanpa kerdip bintang bintang

tapi karenanya, kau tak pernah sabaran
menunggu lada lada ranum di ladang,
menyelesaikan tapa hingga rampung
agar kampung selalu terberkati
oleh tangan malaikat tuhan

kudamu akan kembali berpacu, berpacu!
ke kampung kampung asing
yang dilupakan para peladang
ke kampung kampung pesing
yang dikencingi para pecundang
hingga suara tembang ibu yang penuh rindu
juga linu, lagi lagi menggodamu pulang
(kutafsir sebagai tandang!)

maka kau kuburkan hikayat bapak
di makam yang serapah
sembari menyangsikan
berkah malaikat tuhan,
kau busungkan dada ke arah rumah
yang tersembunyi di balik bukit bukit terjal
—dan waktu mengerang!

cukuplah ibu, kau nujumku berhilir
dengan kuda mabok yang tak kenal arah
sebab tubuhku kini seperti lilin,
bakal meleleh oleh durhaka
: tangismu lelah menginjak sanggurdi

sungguh kau ingin diam di ladang,
menjelang kopi di atas batu
hingga panen tiba dengan haru
atau kenapa tidak, ibu?
aku sempurna saja jadi anak dagang
yang lupa hari lebaran dan jalan pulang
dengan begitu, aku akan memetik juga
panen yang gemilang...
tanpa nyanyianmu di ladang
yang mengambang!

telah kau pahat riwayatmu yang gamang
di tanah ari ari
mimpi yang bangkit seperti mambang

Yogyakarta, Mei-September 2007

Foto: Bekas penambangan timah di Pulau Bangka

Saturday, September 15, 2007

cerpen 3


HUJAN! HUJAN!
Sunlie Thomas Alexander

“WAH, hujan turun lagi,” desah Yona mengulurkan tangannya keluar pagar besi pembatas balkon kamar hotel. Wajahnya tampak berseri-seri, sedikit merona merah. Cantik sekali. Gerimis bertetesan bagaikan helai-helai benang putih, kemudian membesar. Semakin deras. Seperti anak kecil, ia berjingkrak kegirangan lalu menadah air hujan dari cucuran atap dengan kedua belah telapak tangannya. Aku hanya memperhatikan saja tingkahnya dengan geli. Ia menoleh padaku sambil tertawa lebar, lalu menyapukan kedua belah tangannya yang basah ke wajah. Aku buru-buru menghindar ketika ia hendak mencipratkan air ke wajahku, “Yona, jangan!”
Ia tertawa cekikikan melihat pakaianku basah terkena cipratan air hujannya. Aku pura-pura merengut, “Kau seperti anak kecil saja!”
Yona mencibir. Matanya semakin berbinar-binar, begitu riang. Ia menyatukan kesepuluh jari tangannya dan merapatkannya di dada seperti orang berdoa. Atau mungkin ia berdoa benaran? Wajahnya sedikit tengadah, dengan mata terbuka nyalang ke langit yang kabur oleh larik-larik hujan.
Apa yang kau doakan, Sayang? Memohon hujan berkepanjangan atau tak kunjung berhenti? Tentunya kau tahu, hujan tak akan turun untuk sepanjang waktu1. Sebagaimana halnya kata pepatah lama yang suka kau kutip dengan sedih itu: “Tak ada pesta yang tak selesai!”
Yona memang menyukai hujan, sama halnya ia menyukai laut. Entahlah, selalu saja cerita tentang masa remaja yang manis (sekaligus menyedihkan) itu tumbuh dari mulutnya setiap kali ia mengemukakan alasan kenapa ia demikian suka pada hujan, juga laut.
Dan aku harus mahfum kalau sudah begini, setiap kali hujan turun saat kami sedang bersama seperti saat ini. Rela membiarkannya bersenang-senang sendiri, sementara aku kadang menahan keki karena merasa sedikit terabaikan.
“Dulu Iwan suka mengajakku berhujan!” teriaknya dengan wajah bersemu di tepi pantai itu. Dengan girangnya ia melompat-lompat di atas pasir. Ia menggeleng-geleng ketika kuajak menepi ke salah satu warung yang berjejeran di sepanjang pantai ketika hujan semakin membesar.
“Kau harus belajar menikmati enaknya mandi hujan!” serunya tak mau berhenti melonjak. Kurasa sejumlah mata memandang kami dengan geli.
“Tapi pakaian kita sudah basah kuyup. Ayolah!” aku menarik-narik tangannya, memaksanya menurut. Tapi ia menepis tanganku.
“Kita kan bisa bersalin? Atau kalau mau berteduh, pergi sana sendiri! Aku masih mau di sini,” ia ngotot. Dengan kesal aku pun berlari meninggalkannya ke salah satu warung terdekat. Aku benar-benar menggigil kedinginan.
Dari jauh, kulihat ia merentangkan kedua tangannya lebar-lebar ke samping. Menyatukan dirinya dengan hujan. Begitu cantik dan manis. Ia sungguh mirip seorang peri yang turun dari langit, bakal membuat setiap lelaki terpukau takjub atau jatuh cinta. Tapi kau tahu, lelaki... Ah!
Di tepi pantai itulah, aku mengenal Yona lebih dekat, mengenal rasa sakitnya, luka di dalam matanya yang indah. Kami bertemu di sebuah milis. Setelah beberapa waktu lamanya kemudian kami bersepakat membuat janji kopi darat. Aku menyukai wajahnya yang sedikit polos kekanak-kanakan, lesung pipit di kedua belah pipinya, kemanjaannya, juga kecerdasannya dalam memilih pakaian. Aku memang suka merasa konyol dalam memilih pakaian. Setiap kali belanja ke butik atau mall, aku selalu saja menjadi peragu yang sempurna.
“Tubuh Mbak akan lebih seksi kalau berani memakai pakaian ketat. Yang warna-warna cerah saja Mbak, biar kulit Mbak yang kuning langsat lebih menonjol,” komentarnya cerewet ketika kuajak belanja ke mall. Dan aku bagaikan kerbau dicocok hidungnya, hanya menurut saja, menerima pakaian-pakaian yang ia sodorkan. Meskipun terus terang sedikit risih juga ketika mencobanya di muka cermin dalam kamar pas. Ah, aku sudah beranak tiga, Yona!
“Pinggul Mbak keren!” desisnya norak sambil memelukku dari belakang, membuatku menggeliat geli.
“Dia pasti menyesal melihat penampilan Mbak sekarang...,” lanjutnya dengan tangan menyelinap ke perutku. Aku menepis tangannya dan melotot.
Yona masih mengulurkan kedua belah tangannya menadah cucuran air hujan dari atap. Entahlah, kenangan manis semacam apa yang sedang melintas lagi di dalam benaknya kali ini. Membuat wajahnya bersemu merah sedemikian rupa. Sebetulnya, ingin sekali aku menegurnya, agar tidak terus-terusan terbuai oleh kenangan itu, masa lalu yang hanya akan semakin menyiksanya, menambah luka di hatinya. Agar kesedihan tidak kembali menyergapnya setiap kali hujan berhenti. Kau tahu, di kala hujan mereda, selalu saja wajahnya seketika akan menjadi kusut pucat dan tubuhnya gemetaran. Hal mana yang selalu membuatku ikut bersedih. Tetapi aku tak pernah tega mengusiknya, membuyarkan kenangan manisnya...
“Mbak tidak akan meninggalkanku kan?” kerap kali ia akan menatapku seperti seorang anak kecil ketika hujan tinggal rintik-rintik. Aku hanya bisa tersenyum dan menyeka wajahnya dengan sapu tangan, “Tidak Yona, tidak akan...”
“Ah, dia dulu juga bilang begitu padaku!” ia menggigit bibir. Aku meraih kepalanya, merengkuhnya ke dalam pelukan dan membelai-belai rambutnya yang tergerai hitam legam. Ia menangis sesenggukan.
***
LARIK-larik hujan seperti tirai putih di pintu kamar pengantin setelah pesta yang melelahkan itu. Dan jantungku berdebar kencang ketika lelaki itu muncul di ambang pintu, menyibak tirai sambil tersenyum. Kedua tangan dan kakiku terasa dingin ketika dia duduk di sampingku di tepi ranjang. Tangannya mengusap punggungku dengan mesra, tapi justru membuatku gemetar. Antara takut dan malu, aku sedikit beringsut.
“Kenapa Lia?” Mas Eko menatapku sambil tersenyum lebar, tapi di mataku entahlah lebih mirip seringai liar. Tiba-tiba saja dia sudah mendorong tubuhku hingga terjerembab ke atas kasur. Tubuhnya begitu berat tatkala menindih tubuhku. Ingin sekali aku berteriak dan meronta tapi tentunya hal itu tidak kulakukan. Dia menciumku. Kemudian, kau tahu, aku menangis.
Seharusnya kami adalah keluarga kecil yang berbahagia. Ya, seharusnya. Meskipun aku selalu saja merasa diriku tak utuh lagi sejak malam pertama yang menakutkan itu. Ah, kami dikarunia tiga bidadari kecil yang cantik, cerdas dan periang...
Namun, “Mas harap kau bisa mengerti, Lia. Almarhum suaminya adalah teman baik Mas di kampung. Kasihan kedua anaknya masih kecil-kecil. Mas berjanji akan berusaha bersikap adil. Percayalah, Mas sangat mencintaimu, “ Mas Eko mengenggam tanganku dan menatapku tak berkerdip. Aku menunduk, tak sanggup menentang tatapannya yang teduh. Ah, barangkali aku memang terlampau lemah, tak pernah bisa membalas tatapan matanya. Tapi jantungku bagai bergemuruh. Darahku selaksa mendidih. Meskipun mati-matian kuredam, air mataku mengalir turun juga. Aku mengelak ketika tangannya mencoba mengangkat wajahku.
Perempuan muda itu akhirnya memang datang, tanpa aku berdaya menolak. Bahkan aku harus ikhlas duduk mendampinginya saat akad nikah, dengan memasang senyum yang manis. Harus kuakui dia begitu cantik, muda menggairahkan, walau sudah beranak dua. Kasihan, kata Mas Eko? Perempuan itu masih bisa mendapatkan selusin perjaka tanpa Mas Eko harus berepot-repot bermaksud menganyominya!
Apalagi kemudian kutahu, dari bisik-bisik dan gunjing, kalau perempuan itu sebenarnya pacar lama Mas Eko di kampung. Aku nyaris tak bisa mengendalikan diri melihat berbagai macam pandangan ibu-ibu yang tertuju padaku saat resepsi pernikahan itu. Ada yang tampak kagum, iba, sinis...
“Saya salut lho sama Mbak Lia, Jeng. Tidak semua perempuan bisa ikhlas dimadu,” aku terhenyak di pintu dapur ketika tanpa sengaja menguping kata-kata Bu Sri yang sedang sibuk mengatur hidangan bersama ibu-ibu lainnya itu.
“Emang Jeng yakin dia ikhlas? Saya malah yakin Mbak Lia sebetulnya sangat tertekan. Coba saja Jeng perhatikan baik-baik, dia agak kurusan dan pucat kan akhir-akhir ini? Ssstt, saya pernah lihat matanya berkaca-kaca lho?” aku tidak tahu lagi siapa yang menimpali kata-kata Bu Sri itu, air mataku keburu tumpah. Bergegas aku berbalik langkah dan lari ke kamar.
Aku memang tidak pernah sungguh-sungguh yakin kalau aku mencintai Mas Eko. Kami berkenalan ketika aku masuk pers mahasiswa. Saat itu aku semester empat dan Mas Eko adalah kakak kelas satu jurusan setingkat di atasku. Dia pimpinan redaksi tabloid kampus. Mungkin tak ada yang istimewa dari Mas Eko bagiku pada awalnya. Malah aku cenderung tidak mengubrisnya. Tapi dia gencar mendekatiku, begitu ngotot dan pantang mundur walau berkali-kali kutolak setiap kali dia menawari mengantarku pulang, membantuku mengerjakan makalah, sampai mengajak jalan-jalan.
Entahlah kenapa, akhirnya hatiku bisa luruh juga, padahal saat itu aku sedang dekat dengan Deni, anak Tehnik Pertambangan. Mungkin karena Mas Eko sosok laki-laki yang penyabar mirip almarhum bapakku, simpati, dan tutur katanya selalu halus meneduhkan. Ah, aku merindukan Bapak...
***
JANGAN menangis, Yona. Jangan menangis lagi. Hapus air matamu, kau tak pantas menangis untuk lelaki itu. Untuk lelaki mana pun! Kau boleh bermandi hujan atau mandi di laut sepuasmu, tapi jangan menangis lagi.
Ia menyusut air matanya dan memandangku dengan tatapan yang begitu mengiris hati. Aku mencoba tersenyum, meraih tubuhnya ke dalam dekapan dan menepuk-nepuk bahunya. Kukecup keningnya dengan lembut.
“Aku tidak bisa melupakannya, Mbak Lia...,” ia mengeluh tertahan, “Dia tak pernah berhenti mengusikku!” ia kembali menangis, “Padahal aku sudah berusaha keras! Mati-matian mengenyahkannya!”
“Kau masih mencintainya, Yona,“ bisikku prihatin. Ia mengangkat wajah, memandangku lekat-lekat dan menggeleng, “A-apa yang harus kulakukan, Mbak?”
Aku terdiam, bimbang. Apakah aku memang harus tetap menjadi iblis penggoda dengan terus-terusan menghembuskan api kebencian ke hatinya? Tapi bayangan wajah kenes perempuan itu yang cekikikan di samping Mas Eko di meja makan kembali membuat darahku naik ke ubun-ubun. Juga bayangan wajah Weni, putri bungsuku yang menangis tersedu-sedu menunjukkan kepala boneka barbie kesayangannya yang lepas.
“Bobby, Ma, Bobby yang mencopotnya...,” aduan Weni cukup membuatku melotot. Bukan sekali itu saja anak gendut perempuan itu menganggu dan membuat Weni menangis. Dia bahkan berani mematahkan bonsaiku dan memetik bunga-bunga mawarku yang tengah mekar dan menghambur-hamburkannya di teras. Bagiku, anak itu bukan hanya nakal, tapi juga kurang ajar dan tak tahu sopan santun, karena itu harus diberi pelajaran! Maka suatu hari ketika aku sedang membaca dan dia mondar-mandir terus di depanku menarik mobil-mobilannya sambil menirukan suara klakson, aku tak bisa lagi menahan diri untuk tidak menempelengnya. Tentu saja dia menangis dan mengadu pada ibunya. Kami bertengkar hebat. Dan seperti yang sudah kuduga, Mas Eko memang membela perempuan itu, “Anak-anak nakal itu biasa, Lia!”
Kutatap sepasang mata Yona yang berkaca-kaca. Rasa sakit itu begitu jelas tampak di dalam kedua bola matanya yang bening bagus.
“Kau harus terus berusaha membencinya!” kataku tegas, “Yang harus kau ingat adalah perbuatan buruknya padamu, pengkhianatannya, bukan kenangan-kenangan yang manis!”
“Tapi Iwan sebetulnya baik, Mbak! Dia hanya tak bisa menentang keinginan orang tuanya...,” wajahnya begitu memelas.
“Kalau dia benar-benar mencintaimu, dia harus berani melawan orang tuanya. Mungkin membawamu kawin lari!” aku semakin terbakar. Yona terbelalak.
Tapi ia terlalu lemah, ia terlalu manja. Ia sentimentil. Lagi-lagi air matanya meleleh. Dan entah untuk yang sudah keberapa kali, kembali ia mengulang-ulang ceritanya itu. Bagaimana ia berkenalan dengan Iwan di tepi pantai dekat rumahnya. Bagaimana lelaki itu kemudian setiap sore selalu bertandang ke tepi pantai untuk menemuinya. Lalu kisah-kisah manis itu pun tumbuh kian subur di antara mereka. Bagaimana mereka berlari-larian di tengah hujan sepanjang pantai. Berciuman di sela-sela batu karang atau naik perahu memancing, mengejar umang-umang, mandi di laut. Hingga sekian waktu lamanya!
Hujan kini menyisakan rintik-rintik kecil, meskipun langit belum sepenuhnya bersih dari awan gelap. Bunyinya di atap genteng mengingatkan pada sebuah konser sedih. Dan aku mengamsalnya sebagai reportoar musim gugurnya Antonio Vivaldi2 yang pernah dimainkan Yona beberapa waktu silam dalam sebuah pertunjukan kolaborasinya. Ia lulusan sebuah akademi musik dengan mayor piano...
Sungguh aku tak tega melihat wajahnya yang begitu murung. Bibirnya yang pucat membuka dan mengatup seperti kehabisan nafas. Kedua matanya masih saja menatapku dengan memelas, seolah minta dikasihani. Tapi pelukannya ke pinggangku semakin kencang. Kubelai pipinya dengan lembut, mengelus-elusnya. Tetap saja demikian cantik dan manis walau tak berdaya. Tiba-tiba darahku kembali berdesir panas, sesuatu yang selalu sulit kutahan itu kembali bergolak dalam tubuhku. Aku membalas pelukannya dengan tak kalah kencang. Dan tahu-tahu aku sudah meraup mulutnya, melumat bibir mungil yang pucat itu. Dengan penuh gelora!
Ah, gerimis kian menipis, semakin tipis...

Gaten, Yogyakarta, April 2007




Catatan:
1. Kata-kata ini pernah diucapkan tokoh Eric Draven yang diperani almarhum Brandon Lee dalam film terakhirnya “The Crow”.
2. Salah satu karya komposisi Antonio Vivaldi yang terkenal adalah “Four Season”, terdiri dari empat bagian: Summer, Winter, Autumn, dan Spring.



esai

ANTARA SENSASI DAN DEKONSTRUKSI
(Tanggapan untuk Wilson Nadeak)
Oleh: Sunlie Thomas Alexander*

MEMBACA tulisan Wilson Nadeak di Kompas Minggu, 22 Oktober 2006 lalu yang berjudul “Sensasi, Asumsi, dan Sastra”, saya tidak habis pikir, mengapa seorang sastrawan yang dikenal telah lama malang-melintang di ranah sastra Indonesia bisa menulis dengan begitu naifnya dalam melontarkan kritikan atas novel best seller karya Dan Brown, The Da Vinci Code. Bukan saja tulisan pendek tersebut tidak menyentuh sama sekali sisi estetika dan perspektif sastra, tetapi juga terasa sebagai sebuah upaya “pembelaan iman” yang sia-sia.

Antara Sensasi dan Dekonstruksi
Saya rasa, seorang Wilson Nadeak tentunya mengerti tentang apa yang disebut dekonstruksi dalam kesenian, dalam hal ini sastra. Tetapi dalam tulisannya tersebut, Wilson seolah-olah menerjemahkan apa yang dilakukan oleh Dan Brown dalam novel The Da Vinci Code lebih sebagai sensasi belaka. Menurut Wilson, sensasi itu telah menjadi sebuah sarana untuk menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada dan dipercaya sebagai sesuatu yang hakiki. Meskipun benar, bahwa sejauh terkait dengan tema besar yang sudah lama dikenal umum sebagai sebuah keyakinan dan kepercayaan, sebuah “sensasi” akan selalu membuat orang tertarik, apalagi tokoh yang diteladani dari abad ke abad tersebut diberi “label” baru yang bertentangan sama sekali dengan ciri khas tokoh itu.
Tetapi persoalannya, Wilson seakan begitu keberatan kalau tokoh Yesus Kristus di tangan Dan Brown menjadi tidak lebih dari manusia biasa yang sarat dengan masalah kemanusiaan dengan segala kelemahannya. Dengan kata lain, membayangkan secara kreatif seorang tokoh Yesus harus diharamkan. Padahal dalam keempat Injil yang diakui oleh Gereja sendiri, Yesus sering digambarkan amat profan. Dia bisa menangis ketika temannya (Lazarus) meninggal, Dia bisa berbelas kasihan pada seorang Maria Magdalena yang membasuh kakinya dengan air mata, Dia juga bisa marah ketika orang-orang berdagang di bait Allah, dan yang lebih pokok lagi serta kerap dijadikan kontemplasi penting oleh umat Kristiani adalah sosok Yesus yang gemetar ketakutan di Taman Getsemani dan keluhan terakhirnya di kayu salib yang terkenal itu: “Eli, Eli, lama sabakhtani!”.
Saya tidak mengerti, apa yang membuat Wilson sampai pada kesimpulan bahwa Dan Brown hanya mencari sensasi atas diri seorang tokoh besar yang “disucikan”. Walaupun hal itu seharusnya sah-sah saja untuk alasan komersial sebuah karya sastra, paling tidak agar karya itu menarik orang untuk membaca. Dan bahwa hal itu memang dimaksudkan oleh Dan Brown, saya juga tidak berani memungkiri. Tetapi saya berani mengatakan, kalau seorang Brown, seperti juga sekian banyak penulis lainnya tatkala menulis dari perspektif dan frame of view yang berbeda atas seorang tokoh atau peristiwa dalam “sejarah” atau sumber lainnya tidak mungkin tanpa kepentingan estetis atas karya selain demi semata-mata sebuah sensasi atas dasar komersialisasi seperti yang seolah dituduhkan Wilson.
Apa yang ditempuh Brown atas tokoh Yesus Kristus dan tokoh-tokoh “suci” lainnya dalam The Da Vinci Code, harus dilihat tak lain hendak memberikan nilai berbeda atas “sejarah” dan kesaksian (baca: Injil), sebuah upaya dekonstruksi yang teramat wajar dalam karya sastra. Bahkan justru sebuah upaya dekonstruksi cenderung wajib dilakukan oleh sastrawan, agar karya sastra menjadi karya sastra, tidak terjebak menjadi jiplakan kitab suci, catatan sejarah, atau laporan antropologi. Inilah kebebasan dalam sastra, sekaligus kekuatannya. Bayangkan saja, apa menariknya jika seorang tokoh dengan peristiwa yang sudah kita kenal ditulis kembali dalam bentuk cerpen atau novel sebagaimana adanya tanpa memberikan sebuah penafsiran ulang? Manfaat apakah yang bakal kita petik darinya? Bukankah lebih baik jika kita membaca “sejarah” aslinya daripada membaca cerpen atau novel yang menyontek mentah-mentah “sejarah” tersebut? Tak perlu jauh-jauh, jika kita menyimak karya-karya sastra (berbahasa) Indonesia yang muncul di koran-koran dan majalah atau diterbitkan dalam bentuk buku, baik itu berupa novel, cerpen, maupun puisi, akan dengan mudah kita temukan sekian banyak karya yang mencoba melakukan dekonstruksi atas entah itu sosok tokoh, peristiwa, dongeng, maupun adat. Saya ambil contoh, cerpen “Perempuan Tanpa Ibu Jari Kaki” karya Intan Paramadhita (Kumcer “Perempuan Sihir”, Katakita, 2005) misalnya, dengan terang-benderang membalikkan dongeng klasik “Cinderella” yang tentunya kita semua sudah hafal di luar kepala jalan ceritanya. Tetapi karenanya cerpen Intan Paramadhita itu justru punya bobot lebih, lebih menarik lantaran ia bercerita dari sudut pandang yang berbeda dan tidak lazim, yaitu dari kacamata saudara tiri Cinderella yang “jahat”. Atau cerpen “Perkamen” karya Yanto de Lahote (pernah dimuat Koran Tempo di tahun 2004 (saya lupa tanggal persisnya)) yang mencoba mengangkat “pembelaan diri” seorang tokoh Yudas Iskariot atas dosanya menjual Yesus yang selama ini kita kutuk, sebelum Injil Yudas sendiri kemudian diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Pustaka Gramedia Utama. Juga sejumlah cerpen Dwi Cipta yang mencoba memberikan penafsiran kembali terhadap sejarah kolonial Hindia Belanda, dan Triyanto Triwikromo ketika mengangkat sosok Raden Saleh dalam sebuah cerpen yang saya lupa judulnya.
Namun bagi Wilson Nadeak dalam tulisannya, wilayah-wilayah sakral seperti yang diusik oleh Dan Brown dalam novel The Da Vinci Code merupakan wilayah tabu yang tak boleh dimasuki oleh kerja kreatif sastrawan/ penulis. Karenanya pikiran-pikiran dan imajinasi “liar” seperti itu harus dipangkas! Hal mana yang lalu mengingatkan kita pada kasus legendaris cerpen Ki Panji Kusmin, “Langit Tak Lagi Mendung”.
Secara terang, Wilson juga mengatakan kalau sastrawan sungguh tak pantas menjadi “si pengguncang iman”. Barangkali karena alasan bahwa karya sastra mesti “meluhurkan budi nurani”. Tetapi saya malah berpikiran sebaliknya. Karena bukankah sastrawan sesungguhnya tak memikul tugas suci sebagaimana para wali? Petaruhan sastra modern—untuk ini saya bersetuju dengan Nirwan Dewanto—lebih kepada petaruhan dengan bahasa dan perspektif. Saya tidak percaya pada sastra didaktik, sastra bukan khotbah moral dan keagamaan. Itu wilayah para rohaniawan. Justru sastrawan mesti berpotensi menjadi “iblis” yang menggoda “manusia baik-baik”, agar terus-menerus mempertanyakan diri, mempertanyakan kemapanan. Dan karena itu justru memperoleh “pencerahan yang kreatif”. Saya amat tertarik pada sebuah esai Damhuri Muhammad di Kompas Minggu, 22 Juni 2005, yang mengatakan bahwa jagat sastra adalah jagat cermin, “cermin hidup” (mir’ah al hayat) yang tidak pernah berdusta dalam memantulkan bayangan realitas kemanusiaan (secara) apa adanya, bayangan cantik rupa atau buruk rupa “wajah” zamannya. Bahwa sastrawan bukan nabi yang diutus untuk menyampaikan ajaran-ajaran moral (teks sastra bukan kitab suci yang mesti “ditaati” sebagai anutan moral), bukan filsuf yang terus menerus berkontemplasi untuk menemukan air mata kebenaran.

“Pembelaan Iman” Wilson Nadeak
Alih-alih memberikan kritikan yang esensial terhadap novel The Da Vinci Code, Wilson Nadeak dalam tulisannya tersebut malah terpelosok semakin dalam karena terkesan memberikan “pembelaan iman” yang ngotot atas “ketidakrelaannya” tokoh Yesus diobok-obok oleh Dan Brown. Misalnya saja, bagaimana dia dengan sedikit garang memberikan advokasi doktrinitas atas kisah kebangkitan Yesus. Bahwa “fitnah” serdadu Romawi yang disogok pimpinan agama Yahudi untuk menyangkal kebangkitan Yesus masih bergaung hingga sekarang. Bahwa tidak benar kalau status Yesus sebagai Tuhan baru disahkan pada Konsili Nicea atas perintah Konstantin Agung seperti yang diungkapkan oleh Dan Brown dalam novelnya. Hal ini sedikit konyol karena Wilson telah masuk terlampau jauh ke wilayah doktrinitas Gereja dan teologis. Bahkan Wilson dengan lantang mengungkapkan pembelaannya terhadap Gereja dan Alkitab, kalau tidaklah benar yang diungkapkan Brown bahwa keyakinan umat Kristiani didasarkan pada upaya pemimpin agama. Menurutnya, istilah mungkin dari pemimpin umat, tetapi wahyu (benar-benar) berasal dari Tuhan dan diterjemahkan ke dalam bahasa manusia yang secara konsisten dan utuh di lintasan milenium.
Saya tidak ingin ikut terjebak dalam polemik seputar wacana otentitas Alkitab yang sebetulnya kerap menjadi kontroversi itu, baik dalam lingkup umat Kristiani sendiri maupun lintas agama. Atau pun sekedar mengutip penafsiran-penafsiran teologis atas kebangkitan Yesus, bahwa kisah kebangkitan itu harus dibaca secara harfiah atau simbolik-metafora? Terlebih harus memperdebatkan “pembaptisan” Yesus sebagai Tuhan dalam Konsili Nicea atas perintah kaisar Kristen pertama, Konstantin Agung, yang kemudian menghasilkan “Pengakuan Iman Rasuli (Syahadat Para Rasul)” itu. Terlalu banyak hal yang dapat diperdebatkan seputar wacana-wacana ini. Misalnya saja, pernyataan Wilson bahwa “pengangkatan” Yesus sebagai Tuhan dalam Konsili Nicea seperti yang diungkapkan dalam novel The Da Vinci Code sungguh adalah kekeliruan karena jauh hari sebelumnya, pengakuan Yesus sebagai Tuhan sudah diterima oleh umat Kristiani. Wilson agaknya lupa, kalau Konsili Nicea diselenggarakan justru untuk menegaskan ketuhanan Yesus tersebut sebagai akibat banyaknya perbedaan faham di kalangan umat Kristiani atas status Yesus, baik sebagai Nabi, Mesias, atau Putera Allah. Juga pembagian persentasi antara kemanusiaan dan ketuhananNya.

The Da Vinci Code adalah Karya Fiksi
Barangkali di sini saya perlu mengingatkan, kalau sejauh apa pun sebuah karya sastra mengungkapkan fakta, ia tetaplah fiksi. Karena itulah, beberapa tahun silam, Seno Gumira Ajidarma sempat berpledoi: “Kalau pers dibungkam, sastra harus yang bicara!”. Dalam pengertian, ketika banyak fakta tidak bisa lagi diungkapkan oleh pers, maka sastra berpotensi mengambil alih “tugas” itu karena sifatnya sebagai fiksi yang secara logika dan hukum tak bisa digugat. Dan itu dibuktikannya lewat cerpen-cerpennya, terutama yang terhimpun dalam kumcer “Saksi Mata” (Bentang, 1994).
Tetapi Wilson Nadeak justru mengatakan bahwa The Da Vinci Code tidak bertolak dari kebenaran yang indah dan sebagai karya sastra yang historis tidak berhasil, kecuali sebagai sensasi yang spekulatif. Saya pikir pernyataan ini terlalu mengada-ada. Karena bagaimana dia berani “memaksa” kalau sebuah karya fiksi harus berangkat dari kebenaran? Tentu saja fiksi itu amat terbuka untuk spekulasi, menjadi sensasi atau tidak. Dan tentu saja sebagai asumsi sebuah karya fiksi, pengembangan teori Dan Brown boleh saja menyimpang dari tradisi dan tidak perlu dibuktikan melalui simbol-simbol yang dijungkirbalikan.
Belum lagi Wilson dengan mengutip ayat dalam Injil mengatakan bahwa orang yang menggunakan karya ini sebagai “bukti” kebenaran iman yang dianutnya adalah seperti orang yang mendirikan rumah di atas pasir, yang apabila badai bertiup akan segera runtuh. Saya pikir pembaca yang cerdas tidak akan menggunakan sebuah karya fiksi sebagai pondasi imannya. Lagipula, pada hakikatnya iman adalah sesuatu yang abstrak, ia berada di wilayah “dalam” yang sungguh personal dan selalu membutuhkan tafsir dan kontemplasi secara berkesinambungan. Iman Kristiani pun lebih kepada masalah hati nurani bukan fakta dan logika. Seperti kata Yesus kepada Santo Thomas yang tidak percaya pada kebangkitanNya sebelum melihat dengan mata kepala sendiri dan memasuk jari ke dalam lubang telapak tangan dan lambungNya:“Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya!”.
Maka alangkah naifnya sebagai seorang sastrawan, Wilson Nadeak begitu ngotot memberikan “pembelaan iman” atas sebuah karya fiksi, seperti halnya sekian puluh penulis buku sangkalan terhadap novel The Da Vinci Code yang latah itu—mereka yang takut kehilangan iman gara-gara sebuah novel fiksi. Betapa dashyat memang karya sastra!
Saya membayangkan Dan Brown sedang tertawa terbahak-bahak sambil menghitung royalti yang didapatnya dari novel The Da Vinci Code.***

* Cerpenis, studi Teologi dan Filsafat di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Catatan: Tulisan ini dikirim ke Kompas, tetapi tidak pernah dimuat. Kesimpulan penulis sampai saat ini, Kompas “tidak mau” memuatnya.

antologi komunal: The Regala 204 B


…Begitu pula dengan penulis lain dalam kumcer ini. Seperti Sunlie Thomas Alexander, ia dengan apik menceritakan kehidupan keluarga miskin dari sudut pandang anak perempuan yang ditinggal mati ayahnya. Dalam cerpen berjudul Dapur, Sunlie mampu menghadirkan kepahitan hidup sosok anak bernama Tie. Tie ditinggal pergi ayah dan ibunya. Ayahnya meninggal tertimbun tanah ketika sedang mencari nafkah dengan mengail sisa-sisa timah dari perusahaan tambang. Sementara ibu Tie meninggalkannya karena harus mencari uang untuk menyekolahkannya. Tie dan adiknya yang masih kecil hidup di antara para tetangga yang sering menggunjingkan pekerjaan ”nista” ibunya.

Cerita kaum terpinggirkan seperti Nela dan Tie inilah yang terangkum dalam kumcer The Regala 204 B. Seperti judul dalam catatan penerbit, ”Sastra Persembahan (untuk) Kaum Marjinal”, tampaknya kumcer ini berusaha mengangkat tema sastra marjinal.

Ahmad Munief, “Melawan dengan Sastra”
Tulisan ini dimuat di Majalah Berbahasa Indonesia di Hongkong


…Dari sekitar dua belas cerpen dalam antologi ini, yang paling representatif dalam mengangkat persoalan disparitas gender barangkali adalah cerpen “Dapur” karya cerpenis muda asal Bangka, Sunlie Thomas Alexander. Dapur merupakan sebuah ruang yang katakanlah nyaris menjadi sentra utama dari eksistensi kaum Hawa.

Secara dramatis dan narasi tutur yang khas dan lancar, Sunlie menggambarkan perjuangan kaum ibu di dapur, dan pada endingnya pembaca diajak paham bahwa peradaban “lelaki”, tradisi partriakal, tidak akan bisa hidup tanpa kontribusi besar kaum Hawa ini. Sebab itu, ini mengundang kita untuk sadar bahwa tradisi dan kebudayaan yang timpang, yang masih beredar di sekeliling kita perlu mendapat pelurusan yang terus-menerus entah dalam bentuk emansipasi, dedomestifikasi perempuan, dan lain sebagainya.

Ridwan Munawwar, “Resensi: Mutiara Kehidupan Kaum 'Ikan dalam Akuarium'”
Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 Oktober 2006


TENTANG SASTRA MARJINAL
Catatan untuk Peluncuran Kumcer Orang Pinggiran “The Regala 204B”
Oleh: Sunlie Thomas Alexander

“Seperti Naipaul, saya menggunakan ironi pembelaan-diri dalam melukiskan luka pada tokoh-tokoh fiksi saya.” (Bharatii Mukherjee)

TERUS terang, saya sendiri merasa gagap merumuskan apa definisi yang paling tepat untuk istilah “Sastra Marjinal”. Karya sastra yang ditulis oleh kaum pinggiran atau karya sastra yang mengusung kehidupan mereka—para outsider itu dengan segala kompleksitas persoalannya. Wiji Thukul adalah seorang penyair yang boleh dikatakan berasal dari lingkungan pinggiran yang menyerukan dengan lantang permasalahan (baca: keterpinggiran) ‘puak’-nya, tetapi banyak sastrawan yang tidak berasal dari lokalitas marjinal juga menulis persoalan seputar dunia kaum marjinal ini. Rendra misalnya, yang notabene bukan berasal dari lingkungan ini, banyak menulis tentang kehidupan para pelacur, bromocorah, dan kaum urban. Atau Budi Darma dalam sejumlah cerpennya, terutama dalam kumpulan cerpen “Seribu Kunang-kunang di Manhattan”.
Sesungguhnya ruang lingkup kaum pinggiran ini cukup luas, dia bisa meliputi kaum buruh, petani, urban, minoritas etnis dan agama, juga kaum imigran dan hibrid. Namun agaknya ada semacam asumsi umum yang melekatkan kemiskinan ekonomi sebagai persoalan pokok dunia mereka—hal yang agaknya merupakan pengaruh dari pandangan dialektika Marxisme yang menganggap semua aspek kehidupan bertumpu pada dasar ekonomi.

Menjelajahi Sastra Kaum Marjinal
Secara kasar, sastra marjinal barangkali dapat disimpulkan sebagai karya sastra yang berusaha “menyuarakan” mereka yang “tak bersuara”. Barangkali semacam estetika pembelaan terhadap ketersisihan manusia. Dan ini meliputi sastra (tentang) kaum buruh, urban, petani miskin, komunitas minoritas (diaspora), kaum eksil, dan sastra perlawanan.
Konon seniman realisme sosial Georg Lukasc, dengan ekstrem pernah menyatakan bahwa karya sastra yang sejati haruslah merupakan representasi dan cermin bagi totalitas dan keutuhan sosial yang porak-poranda akibat pemberhalaan komoditas dalam kapitalisme. Seni yang tidak mencermikan totalitas kenyataan sosial, misalnya gerakan seni modern dan avant-garde adalah seni bobrok dan palsu, produk reifikasi kapitalisme. Pemikiran Lukasc inilah yang sering disebut sebagai seni bertendensi atau seni berpihak (tendenszhunsst), atau l’art engagee (seni berisi) dalam kritik seni. Dalam sastra bertendensi, pengarang sebagai juru bicara ‘kelompok’ sejak awal telah dibekali dengan suatu niat dan ideologi tertentu. Dan karya sastra sering hanya menjadi alat semata, yang pada akhirnya difungsikan sebagai sarana untuk menyampaikan maksud.
Paham realisme sosial ini kemudian mendapatkan serangan balik cukup keras dari kaum seniman modernis dan pengusung avant-gardisme, lantaran sastra (seni) realisme sosial dinilai lebih menitikberatkan perhatian terhadap intensitas tujuan sehingga aspek-aspek lain yang lebih penting seperti kualitas estetika dan perspektif secara keseluruhan menjadi terabaikan. Realisme sosial secara terang menegaskan karya haruslah mengabdi pada kelas tertindas. Pikiran dianggap merupakan proyeksi kolektivitas secara langsung dan teks bersifat pasif. Dengan demikian karya sastra merupakan semata-mata alat yang mengabdi kepada kelas tertentu. Para pengusung seni realisme pada umumnya berpandangan kalau seni merupakan salah satu cara untuk mengantisipasi degradasi moral dan sastra tidaklah semata-mata masalah bahasa tetapi juga masalah isi, cita-cita, dan pesan.
Hal ini kerap membuat mereka lupa kalau hubungan sastra dengan masyarakat dan interaksi suatu karya dengan kebudayaan tempat sastra itu tumbuh, sebenarnya tidak pernah tergantung dari niat dan maksud pengarang. Bahkan kalau pengarangnya—mengutip Ignas Kleden—dengan sadar berusaha menghindari hubungan itu, tetap saja hubungan itu akan tampil ke permukaan, karena kemunculan hubungan sesungguhnya tidak tergantung niat pengarang untuk menyatakan atau menyembunyikannya, melainkan dimungkinkan oleh sifat simbolik dari representasi karya sastra itu sendiri.
Meskipun harus diakui kalau pengaruh-pengaruh sosial sering merupakan sebab musabab yang menghasilkan suatu karya sebagai akibatnya dan syahdan, sastra adalah refleksi dari struktur sosial di mana sang pengarang hidup, tetapi sastra pada hakikatnya lebih bermakna tekstual daripada referensial, karena setiap teks memiliki semacam otonomi sendiri, otonomi semantik, yang sanggup membebaskan teks dari maksud pengarang dan rujukan-rujukan kepada dunia referensial.
Menurut Ignas Kleden, seni sejati yang otentik, seperti yang diusung oleh Pudjangga Baru dan Angkatan ’45 dalam Sastra (berbahasa) Indonesia, dengan sendirinya akan menyumbang kepada perkembangan kemanusiaan dalam bidang apa pun, karena dia dianggap menggarap persoalan-persoalan manusia justru pada eksistensi dan esensinya.
Pada tahun 1960-an di Indonesia, kita tahu Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) menolak tegas otonomi kesenian, baik karena secara historis dan sosiologis, kesenian dianggap tidak pernah otonom dari masyarakat di mana seni itu hidup dan berkembang, maupun secara politik kepentingan kesenian dianggap mempunyai kedudukan subordinat terhadap kepentingan sosial umumnya dan kepentingan politik khususnya (Ignas Kleden: 2004:384). Hal ini sesuai dengan tuntutan seni realisme sosial yang dihasilkan pada konfrensi ke-17 Partai Komunis Rusia, 4 Februari 1932. Di RRC, sejak 1978 juga diperkenalkan kebijakan Jiefang Sixiang (Pembebasaan Pikiran) yang kemudian ditegaskan dalam Kongres Nasional IV Sastrawan dan Seniman Cina, Oktober-November 1979, yang menganggap karya seni haruslah menyatakan kebenaran (Shuo Shihua) tentang kondisi sosial-politik, dan berbicara untuk rakyat (Wei Min Ging Ming) sebagai kewajiban luhur. Jauh sebelumnya, Baolu Wenxue (Seni Pembeberan) telah dikemukakan oleh Mao Tze Tung dalam Simposium Sastra dan Seni di Yan’an tahun 1942 untuk menunjukkaan karya sastra yang menggambarkan sisi gelap masyarakat, yaitu berbagai penyimpangan dan kekeliruan yang terjadi pada jamannya.
Sedangkan Mazhab Frankfurt dengan tokohnya Adorno atau Walter Benjamin, mengkritik baik “L’art Pour L’art” maupun realisme sosial. Menurut Mazhab Frankfurt, kesenian tidak layak menjadi semcam hasil reduksi sosial-politik terhadap estetik. Seni berhubungan dengan masyarakat bukan by design tetapi by nature. Persoalan bukan mencipta seni yang sesuai dengan keperluan masyarakat tetapi mencari akar permasalahan masyarakat yang tersembunyi dalam seni dan mengungkapkannya secara eksplisit.

Sastra Marjinal Kaum Diaspora
Kaum Komunitas Minoritas (Diaspora) menurut saya adalah kaum pinggiran yang sering terluputkan dalam banyak pembincangan tentang sastra marjinal yang lebih menitikberatkan perhatian pada kaum buruh-tani-urban dan sastra perlawanan. Padahal eksistensi mereka amat berpengaruh bagi dunia sastra global. Sekian banyak nama sastrawan peraih hadiah Nobel adalah berasal dari lingkup komunitas ini. Mereka umumnya memang merupakan sastrawan yang berkarya dalam Sastra (berbahasa) Inggris, tetapi di Indonesia pun sebenarnya kita mengenal yang disebut sebagai Sastra Peranakan Cina dengan istilah Sastra Melayu Rendah-nya yang kerap dipandang sebelah mata. Mereka sesungguhnya bukan hanya tersisih oleh persoalan ras, agama, etnis, atau bahasa, tetapi juga seringkali terpinggirkan dalam khazanah karya. Retorika Pascakolonial telah membuat mereka terpinggirkan dalam lingkup pergaulan sastra bahasa yang mereka tulis. Pun para sastrawan India yang menulis dalam bahasa Inggris meskipun mereka berdiam di India, banyak disebut sebagai generasi hibrid, sebagai orang luar, orang asing dan dianggap warga dari negara lain akibat proses kreatif dan bahasa yang mereka pilih sebagai medium kreatif.
Dalam khazanah pergaulan sastra dunia, tokoh-tokoh seperti Jorge Luis Borges, Bharati Mukherjee, Caryl Phillips, Derek Walcott, Maxine Hong Kingston, Vikram Seth, Amy Tan, Jhumpa Lahiri, V.S. Naipaul, Salman Rushdie, Ben Okri, dan Kazuo Ishiguro—sekedar menyebut sejumlah nama, adalah para sastrawan dari lingkungan pinggiran bekas jajahan (pascakolonial) yakni lingkungan yang jauh namun bereaksi secara aktif terhadap sastra kanonik Eropa dan Amerika. Mereka melawan hegemoni kulit putih dalam kancah Sastra (berbahasa) Inggris. Mereka–meminjam Nirwan Dewanto—berhasil menunjukkan bagaimana lingkungan pinggiran membuat mereka tak terbebani oleh sebuah tradisi besar (apalagi “nasionalisme” kesenian). Mereka menjelajahi pelbagai lingkungan tradisi demi mengubah Amerika Utara dalam kebudayaan kulit putih. Harian USA Today pernah memuji sikap kreatif kepengarangan Caryl Phillips misalnya, sebagai imigran yang mendapat tekanan sosial berat, tetapi mampu menegaskan kembali identitas dirinya, termasuk bagaimana ia melihat lingkungan masyarakat dan negeri tempat ia berada. Sebuah perjuangan keras melawan marjinalisasi.

Penutup
Tidak ada kesimpulan yang dapat saya kemukakan di sini. Seperti yang telah saya katakan di atas, saya secara pribadi masih merasa amat gagap bila mesti merumuskan apa definisi yang paling tepat bagi istilah Sastra Marjinal. Karya sastra yang ditulis oleh orang-orang pinggiran-kah? Atau karya sastra tentang orang-orang pinggiran? Ini masih sesuatu ambigu.
Tetapi di sini, saya mencoba untuk tidak berpihak, baik kepada kaum seniman modern yang lebih menekankan nilai-nilai individualisme, orisinalitas, kebebasan, dan penilaian rendah terhadap seni kitsch (massal), maupun mereka—kaum seniman realisme sosial yang menganggap seni sebagai sarana manusia untuk sadar diri, yang hanya dapat dicapai dengan pemikiran historis. Sebagai penutup, saya hanya ingin mengutip Derrida, bahwa: “Semua kejelasan dan pemahaman terhadap dunia adalah cerita atau discourse, dan bukan kebenaran. Kita tidak pernah sampai kepada kebenaran realitas, kita hanya dapat menjangkau ‘wacana’, apa yang dapat kita bincangkan tentang realitas.” (STA)

* Tulisan ini merupakan makalah yang disampaikan pada acara Talkshow “Sastra Marjinal”—Peluncuran Buku Kumpulan Cerpen “The Regala 204B” di IAIN Walisongo, Semarang, 5 September 2006.