Saturday, December 22, 2007

cerpen baru


SEBUAH CERITA LAIN TENTANG LADA*
Cerpen: Sunlie Thomas Alexander

Untuk Syekh Ahmad Sobri1
AKU memang tak pernah tahu kenapa kau ceritakan padaku tentang lada, ketika aku memintamu berkisah tentang kopi, tepatnya kisah tentang sebuah keluarga dan tiga cangkir kopi di Turki yang sering kau ceritakan itu untuk terakhir kalinya pada malam itu, Loh2.
Kenapa kau harus ceritakan padaku tentang seorang anak lelaki dua belas tahun yang sedang menakik-nakik kayu membuat gasing di ladang untuk menembus kekalahannya dengan kawan sepermainan, padahal bisa saja kau ceritakan lebih banyak lagi kisah tentang kopi yang begitu menarik setiap kali aku menghidangkan padamu secangkir kopi di malam hari. Dari cerita-cerita di kedai La Rotende di Rusia sampai ke CafĂ© du Dume di Perancis. Dari kisah seorang penggembala domba di Ethiopia hingga kisah sebuah keluarga dan tiga cangkir kopi di Turki pada pertengahan abad kelima belas itu. Bukankah secangkir kopi—seperti katamu suatu ketika—memiliki riwayat begitu panjang yang telah mengubah dunia? Revolusi Perancis pun dimulai dari kedai kopi, tukasmu kalem.
Namun akhirnya kusimak juga kisahmu malam itu dengan agak malas-malasan. Dan tanpa mempedulikan wajahku yang mungkin tampak sedikit masam, kau terus bercerita bagaimana sang ayah kemudian muncul dari belakang pondok ladang sambil memikul junjung—batang kayu untuk merambat tanaman lada—dan memanggil anak lelaki dua belas tahun itu lalu mengajaknya memetik lada dengan janji upah dua puluh lima rupiah perkaleng mentega.
Seperti biasanya, juga tak ada yang istimewa dalam ceritamu kali ini, Loh. Tapi entahlah, sebagaimana cerita-ceritamu yang lain tentang kopi, lambat laun aku kembali merasakan ada denyut-denyut yang aneh di dadaku. Denyut yang mencemaskan sekaligus mendatangkan perasaan tenteram. Kenapa seperti ini, Loh? Barangkali kau pun tidak bisa menjawabnya.
Mendengar ceritamu yang mengalir dengan lancar, seolah-olah dapat aku rasakan debar di dada anak lelaki dua belas tahun itu saat menyibak helai demi helai daun lada mencari juntaian buah lada masak yang kadang-kadang tersembunyi. Seakan-akan pula aku dapat mencium wanginya aroma tanaman lada dan bau humus, atau menangkap suara merdu burung-burung srintid yang sesekali terdengar di antara pepohonan.
Demikian juga tatkala kau ceritakan bagaimana terpukaunya anak lelaki dua belas tahun itu saat melihat keringat berkilauan yang memercik dari tubuh kekar ayahnya setiap kali sang ayah mengangkat dan menghunjamkan batang-batang junjung ke tanah hingga menimbulkan bunyi yang keras, bluubb! bluuub! Aku seakan merasa benar-benar ikut terpukau meskipun tidak sungguh-sungguh paham.
Ah, tiba-tiba saja aku merasa ceritamu itu begitu menggairahkan. Membuat tubuhku yang penat terasa segar kembali seperti halnya anak lelaki dua belas tahun itu dan ayahnya ketika mereka akhirnya memutuskan mandi di sebuah danau kecil bekas galian penambangan timah usai merendam butir-butir lada yang baru dipetik. Air danau yang dingin itu serasa meresap ke dalam pori-pori kulitku, membuatku sedikit menggigil. Terlebih kemudian membayangkan ayah-anak itu harus menempuh jarak dua puluhan kilometer pulang ke rumah dengan berboncengan vespa butut selepas sholat magrib di Kampung Riau. Betapa udara malam yang dingin merasuk sampai ke tulang sumsumku.
Karena itu mereka mengunyah lada, katamu. Aku terpana menatapmu. Benarkah itu, Loh? Mereka mengunyah lada? Aku tidak tahu bagaimana rasanya mengunyah lada. Pasti pedas sekali di mulut, Loh.
Ya, pedas dan panas, lebih pedas dari cabe kalau tidak terbiasa karena rasa pedas dan panasnya itu akan bertahan sampai lama lalu menjalar ke sekujur badan bersama aliran darah, katamu sambil tersenyum. Tapi karena itu tubuh jadi terasa hangat, kadang-kadang sedikit berkeringat.
Penduduk pulau kecil itu memang punya kebiasaan mengunyah lada untuk menghalau dingin, lanjutmu. Biasanya mereka akan memasukkan tiga butir lada ke mulut tatkala hendak keluar rumah malam hari, lebih-lebih pada malam-malam bulan mati ketika burung-burung Kuwek yang selalu terbang terbalik keluar dari sarangnya dan berkoak-koak nyaring mengabarkan kematian. Mereka percaya kalau lada juga berkhasiat menjadi penangkal yang baik untuk hal-hal gaib, katamu lagi-lagi tersenyum.
Aku kian takjub walaupun semakin tidak mengerti.
“Kau mau coba mengunyah lada?” tanyamu tiba-tiba, sekali ini sambil menghirup kopi yang kusediakan. Aku tidak menggeleng tapi juga tidak mengangguk, aku hanya tersipu mendengar tawaranmu.
Ah, bagaimana kalau selain cengkeh, kayu manis, kapulaga dan adas manis, sesekali aku campurkan juga lada ke kopimu, Loh?


Untuk Hamidah3
AH, aku juga tidak mengerti, Midah, kenapa aku menceritakan tentang lada padamu ketika kau memintaku bercerita tentang kopi…
Aku rasa, lada pun memiliki riwayat tak kalah panjang yang ikut berandil mengubah dunia seperti halnya kopi. Sebagaimana yang pernah kubaca di buku-buku sejarah, lada adalah salah satu jenis rempah-rempah yang menarik para penjelajah dari Eropa untuk menempuh pelayaran separoh dunia, Midah. Pada tahun 1519, Magellan misalnya, sudah mendapat perintah rahasia dari pemerintah Spanyol untuk mencari informasi tentang lada.
Atau mungkin kau sudah pernah mendengar bagaimana dulu Belanda memaksa para petani di Banten menanam lada, sekali pun hal itu tidaklah menguntungkan bagi rakyat sehingga kemudian menimbulkan pemberontakan?
Tapi aku tidak ingin membahas sejarah lada denganmu, Midah. Mungkin di lain waktu. Aku hanya ingin mengisahkan lagi sebuah cerita lain tentang lada padamu...
Cerita ini mengenai seorang ayah dengan tiga orang anak gadisnya di sebuah kampung kecil bernama Delas di ujung selatan pulau kecil itu. Kampung kecil yang ramai dengan mayoritas penduduknya petani lada.
Kau tahu Midah, sudah lama sekali menjadi tradisi di kampung itu, kalau setiap panen tiba—apalagi panen raya yang gemilang—mereka akan menikahkan anak bujang-gadisnya dengan pesta pernikahan yang gegap gempita. Pesta bisa saja berlangsung selama tiga hari tiga malam. Seolah-olah menjadi dosa bagi mereka kalau sebuah penikahan yang sakral tidaklah dirayakan dengan meriah.
Biasanya, setelah upacara adat yang melelahkan dan dipenuhi mitos, pesta resepsi yang mengundang seluruh warga kampung itu pun diadakan dengan aneka hidangan mewah. Dan sebagai hiburan, tuan rumah yang punya hajatan seolah memiliki kewajiban memanggil band dari kota atau minimal organ tunggal. Didirikanlah panggung besar di halaman rumah dan warga kampung—terutama muda-mudi—akan berjoget semalam suntuk hingga menjelang subuh. Kau bisa membayangkan betapa besar biayanya bukan, Midah?
Karena itulah, setiap musim panen senantiasa diiringi dengan musim kawin. Sehingga wajar saja apabila selepas panen, kampung kecil itu akan menjadi begitu ramai oleh pesta penikahan. Kadangkala bisa mencapai berpuluh-puluh pasang pengantin, susul-menyusul. Seringkali pula, pasangan-pasangan muda itu dinikahkan secara massal di masjid besar kampung oleh seorang kyai.
Tapi bagaimana dengan yang tak punya ladang atau panennya gagal? Apakah itu alamat buruk si anak bujang bakal menggigit jari melihat pujaan hatinya disambar orang?
Ayah tiga anak gadis itu sudah menikahkan dua orang anak gadisnya selepas panen raya selama dua tahun berturut-turut. Yang paling tua, Fatimah diambil jadi menantu oleh Mang Amri—Ah, siapa pun tahu dia jurangan pupuk dan penadah lada. Sehingga bisa ditebak bagaimana meriah pesta penikahannya. Fathonah, anak nomor dua pun tak kalah semarak pestanya, lantaran sang pacar meskipun bukan anak orang berada, diam-diam menyimpan berton-ton lada di rumah hasil sisihannya pada setiap panen selama bertahun-tahun.
Dan kini tinggallah si bungsu yang manis, Fadhila. Anak yang paling disayanginya, paling cantik dan begitu mirip dengan almarhumah isterinya. Tentu saja si ayah berharap anak gadisnya yang pendiam itu akan memperoleh seorang suami yang baik dan hidup bahagia serba berkecukupan seperti kakak-kakaknya. Tentu pula, hal itu sebetulnya bukanlah perkara yang sulit mengingat si puteri bungsu begitu banyak yang naksir.
Tapi siapa nyana Fadhila, gadis yang sesungguhnya baru beranjak puber itu hatinya telah tertambat pada Zaid, teman sepermainannya semenjak kecil. Mula-mula si ayah memang tidak bercuriga pada kedekatan anak gadisnya dengan Zaid, anak yatim yang telah lama ikut membantunya menggarap ladang itu. Bukankah keduanya telah menjalin keakraban sebelum akil-baliq? Sejak mereka masihlah dua bocah polos yang bertelanjang bulat mandi hujan di ladang atau bermain petak umpet di sela-sela tanaman lada yang rimbun. Sampai suatu siang, dia melihat sendiri kedua anak remaja itu bermesraan di sela rumpun lada!
Begitulah, Midah. Ketika akhirnya si ayah menyadari kenyataan tersebut, cinta si bungsu tampaknya sudah tersangkut erat pada si pembantu. Demikian pula sebaliknya. Seiring dengan waktu, cinta itu pun tumbuh semakin subur di ladang yang gembur serupa tanaman-tanaman lada. Hijau segar dan rimbun. Hmm, mungkin lantaran memang selalu telaten dipupuk. Tentu, tentu inilah persoalannya...
Setelah kedua kakaknya menikah, lambat laun si bungsu mulai merasa risau. Apalagi belakangan, beberapa kali sempat terdengar olehnya namanya disebut-sebut dalam pembicaraan sang ayah dengan orang-orang yang bertamu. Dan tamu yang paling kerap bertandang tak lain adalah Mang Saad. Bukankah pula sudah lama ia tahu kalau Amir anak Mang Saad suka padanya? Ya, si bungsu paham benar apa artinya itu: ia mulai serius dilirik orang!
“Tapi bagaimana aku berani melamarmu, Dhila? Kau tahu, aku bahkan tak sanggup bikin pesta,” si pembantu tampak berputus asa, bersungut-sungut. Namun keningnya berkerut tatkala dilihatnya kekasihnya tersenyum-senyum.
“Bawa aku lari,” kata si bungsu. Si pembantu terbelalak.
“Kau berani atau tidak? Kalau tidak, biarkan saja aku dipinang si Amir!”
“Bukan tidak berani, tapi kita mau lari ke mana? Kita tak punya uang, lalu bagaimana pula dengan biaya hidup kita nantinya sebelum aku dapat kerja?” lelaki muda itu mengusap dahinya yang berkeringat. Gadis itu lagi-lagi tersenyum. Ia tahu ayahnya cukup menyimpan lada di gudang belakang rumah. Tidak banyak memang, tapi ada beberapa karung besar. Sisa panen tahun-tahun lalu yang sengaja dipisahkan. Ia bersijinjit lalu mendekatkan mulut ke telinga lelaki yang dicintainya. Lelaki muda itu kembali terbelalak, wajahnya berubah pucat.
“Aku tidak mau, Dhila. Aku tidak berani,” lelaki muda itu menggeleng, “Terlalu banyak hutang budiku pada ayahmu!”
***
“APAKAH mereka akhirnya jadi mencuri lada?”
Ah, kau penasaran dengan ujung cerita ini, Midah? Kulihat kau hanya mengangguk kecil. Tapi aku tidak segera meneruskan. Untuk beberapa saat lamanya aku hanya memperhatikan kopi di cangkirku yang tinggal seperempat, sebelum kemudian meraihnya lalu mendekatkan mulut cangkir ke bibirku dan menyeruput cairan pekat yang wangi itu perlahan. Seperti biasa, terasa agak pahit di lidah. Oh aku memang tak pernah menyukai kopi yang manis, karena itu harus berterima kasih padamu yang mengerti betul takaran kesukaanku ini. Sejenak aku menatapmu.
Ya, mereka akhirnya memang mencuri lada simpanan si ayah, Midah. Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya mereka mengeluarkan berkarung-karung besar lada itu dari gudang penyimpanannya sebelum melenyapkan diri dari kampung.
“Si ayah pasti marah sekali,“ gumammu, seperti pada diri sendiri. Aku tersenyum. Tentu, Midah, tentu saja si ayah marah. Meskipun pada awalnya masih bisa menguasai diri. Ia baru meledak ketika membuka gudang penyimpan ladanya dan menemukan gudang itu telah kosong melompong, “Anak-anak kurang ajar!! Padahal lada-lada itu sengaja aku simpan untuk pesta pernikahan kalian nanti!”
Tubuh lelaki separoh baya itu sampai bergetar. Terbayang olehnya bagaimana ia menolak pinangan kawannya Saad dengan perasaan malu.
Aku melihat wajahmu agak terperangah. Kedua matamu menatapku sedikit terbelalak. Aku meraih lagi cangkir di atas meja. Lama kita sama terdiam, hanya sesekali saling melirik. Apa yang terjadi selanjutnya, Loh? Ke mana kedua pasangan muda itu melarikan diri? Apakah mereka hidup layak? Seperti biasa, selalu saja kau gemar mengajukan pertanyaan yang bertubi-tubi. Tapi… Aku menarik nafas panjang, membuangnya pelan-pelan.
Sampai tiga entah empat kali kau mengajukan pertanyaan, aku tak kunjung juga melanjutkan ceritaku. Aku hanya menunduk sembari mempermainkan sendok kecil di dalam cangkir, lalu pelan-pelan menghirup kopiku lagi—yang entahlah kali ini rasanya lebih pahit. Lewat ekor mata, aku melihat wajahmu kembali merengut kesal.
Kemudian kulihat kau melemparkan pandangan ke luar rumah melalui pintu yang masih terbuka lebar. Aku mengikuti pandanganmu. Sekeliling pekarangan tampak begitu gelap dan senyap. Pepohonan berbentuk bayang-bayang hitam. Memang sudah dua minggu bolam lampu di teras yang putus belum sempat kuganti. Ah, apakah malam ini malam bulan mati, Midah? Angin yang berhembus masuk mulai terasa dingin dan bertambah kencang.
Hmm, aku jadi merasa ingin sekali mengunyah lada. Ya, mengunyah tiga butir lada hingga mulut kepedasan seperti membara, Midah. Hingga rasa panasnya menjalar ke sekujur badan lewat aliran darah, kemudian meruap keluar bersama keringat. Meruap seperti kenangan! Ai, terbuat dari apakah kenangan?
Aku kembali menatapmu. Wajahmu yang cantik tampak semakin masam. Membuatku jadi bimbang.
Ah, haruskah aku kisahkan padamu kehidupan si bungsu dan si pembantu selanjutnya setelah mencuri lada di gudang penyimpanan sang ayah dan lari dari kampung? Haruskah aku ceritakan bagaimana kemudian mereka menikah di bawah tangan di sebuah kota kecil dan dikarunia seorang anak lelaki? Anak semata wayang yang selalu dibawa ke ladang dan lebih kerap disapa dengan panggilan Loh…
Ah, jangan merengut seperti itu, Midah. Apakah kau masih kepingin mendengar ceritaku yang lain lagi tentang lada?
Kuharap kau mau membuatkan lagi untukku secangkir kopi, Sayang…***




Solo-Yogyakarta, Nopember 2007

Catatan
* Sungguh, cerita ini diilhami sebuah cerpen Syekh Ahmad Sobri yang berjudul “Secangkir Kopi Terakhir Butir-butir Lada Yang Pertama” yang saya baca di sebuah suratkabar lokal kurang-lebih empat tahun silam. Saya membaca lagi cerpen ini di Jurnal PENDAR edisi khusus 2006 saat launching “Rumah Sastra” di Jebres, Solo beberapa waktu lalu.
1. Syekh Ahmad Sobri dilahirkan di Muara Enim, Sumatera Selatan, 1978. Dibesarkan di sejumlah tempat di Pulau Bangka. Sempat melanjutkan studi di UNS Solo.
2. Loh adalah nama anak lelaki dua belas tahun dalam cerpen “Secangkir Kopi Terakhir Butir-butir Lada Yang Pertama”. Dalam cerita ini, saya sengaja menggunakan nama Loh sebagai panggilan untuk diri Syekh Ahmad Sobri yang saya tuju, sebagaimana saya sempat menafsirkan tokoh Loh sebagai sang pengarang sendiri ketika membaca cerpen tersebut.
3. Hamidah adalah tokoh lain yang hadir sebagai orang yang diceritakan kisah-kisah tentang kopi dan lada dalam cerpen di atas.