KOTA, SEJARAH, NOSTALGIA
Sunlie Thomas Alexander, Periset Parikesit Institute, Yogyakarta
SETIAP kota tentu mempunyai riwayatnya. Yang getir, penuh haru-biru, heroik, maupun samar seperti kabar angin sesayup sampai. Ketika melihat foto lama sebuah kota misalnya, tentu beragam “perasaan” bisa hadir. Sebagian kita yang memiliki ikatan emosional dengan kota tersebut bakal terbuai nostalgia: kenangan manis, pun ingatan sedih. Namun bagi yang tak punya tautan batin, selembar potret masa silam mungkin saja tetap menggelitik.
Selalu ada daya puitis yang melambungkan imaji kita dari sepotong kesilaman itu. Di mana seolah kita diajak kembali menjenguk ruang yang tak lagi ada, atau membezoek sebuah tempat lain yang pernah dikenal.
Hal itulah yang agaknya saya alami ketika membaca biodata Nio Joe Lan dalam “Sam Kok: Puncak-puncak ‘Kisah Tiga Negara” (KPG, 2004). Yang mana dalam teks “lahir pada 1904 di Paalmerah, Batavia, dan meninggal di Jakarta pada 1973” itu, saya merasa menemukan sesuatu yang lucu sekaligus melankolis menggugah. Ada semacam ketegangan mesra, atau kemesraan yang tegang, tertangkap di sana. Berkelindan di antara jejak masa lalu dan wajah hari ini, juga bayang-bayang masa depan.
Tentu saja siapa pun mafhum, Batavia dan Jakarta adalah satu kota yang sama. Tetapi membaca biodata Nio Joe Lan, kita seolah sedang mendedah dua kota. Seakan Batavia memang sebuah kota lain, dan Jakarta adalah kota yang berbeda pula. Padahal antara dua nama tersebut, kita tahu, yang terbentang hanya jarak kurun waktu. Sebuah perangkap sang kala.
***
DALAM sejarah, kota-kota memang kerap berganti nama. Konstantin Nopel jadi Istanbul, Saigon jadi Ho Chi Minh City, St Peterburg menjelma Leningrad lalu mengenakan lagi nama kunonya, Peking bertukar cara penulisan dalam aksara latin menjadi Beijing, dan Ujung Pandang dikembalikan jadi Makassar. Tapi selalu ada yang tertinggal. Jejak sejarah yang tak pernah jadi jenazah. “Biarpun Paris berubah, tapi tak setitik pun melankoliku pergi,” ungkap Baudelaire lewat salah satu sajaknya dalam “Les Fleurs du mal”.
Di sini, saya pun terkenang pada Sitor Situmorang dalam sebaris puisinya “Paris-Janvier” yang berbunyi “di udara dingin mengaum sejarah.” Sejarah jadi sesuatu garang, bikin gentar seperti auman singa. Ia seperti terus menerus mengintai para penghuninya, para pendatang baru, atau sekadar seorang pelancong yang singgah. Membuat para turis terpukau-takjub pada masa lampaunya yang eksotik dan agung. Inilah wajah sebagian besar kota-kota di Eropa. Jejak gedung-gedung tua; kastil, katedral, museum, juga patung, jalan dan jembatan seolah berhasrat kekal. Kota-kota di Eropa memang memiliki sejarah begitu hibuk, yang sepertinya tak lengang oleh waktu, tak malu bersanding mesra dengan modernitas dan luwes menyongsong perkembangan.
Dalam hal ini, kita melihat bagaimana masa lalu diberi penghargaan tinggi dan sejarah dianggap sesuatu yang bernilai. Bisa jadi karena kesilaman itu dimaknai sebagai simbol kewibawaan sebuah kota, bahkan sebuah negara-bangsa. Sejarah dipandang sebagai fondasi peradaban, hancurnya fondasi berarti runtuhnya peradaban. Karena itu, gedung-gedung tua di Eropa—yang diberi fasilitas modern dan berganti fungsi—harus tetap terjaga sebagai bagian dari keagungan budaya, juga kejayaan politik-ekonomi. Orang-orang Perancis menjaga lanskap sejarah Paris demikian rupa dengan mengembangkan kota supermodern di tepi kota tua yang menjadi pusat mode dunia itu.
Tetapi orang Jepang telah mengajari dunia, bagaimana sepotong kesedihan, sebuah luka mendalam, tak melulu kejayaan, juga mesti dirawat. Monumen Hiroshima sengaja dijadikan tugu peringatan kemanusiaan (tragedi). Pada puing gedung menghitam yang dibiarkan tetap tegak itu kita dapat melihat sebuah Hiroshima yang lain. Hiroshima lama yang hangus oleh bom atom. Monumen itu menjadi jejak kekalahan, mungkin juga jejak kesalahan Jepang dalam sejarah.
Bagi sebagian kita orang Indonesia, mungkin sebagian penduduk negeri Dunia Ketiga, barangkali sulit memahami betapa sebuah jalan kecil di Eropa bisa tetap terpelihara baik nyaris seperti berabad-abad silam. Atau di sejumlah kota negara Timur Tengah, masa lalu seakan lebih luhur dari masa kini yang muram. Di mana modernitas begitu tegang, terutama bagi kelompok-kelompok Islamis yang frustasi pada nasionalisme, kapitalisme dan sosialisme sehingga merindukan bangkitnya Khilafah Islamiyah.
***
SEBAGAI ruang kebudayaan yang dilahirkan melalui proses politik, kota-kota modern seyogyanya adalah konsekuensi logis dari kapitalisme yang ekspresif secara sosial dan fisik, yang dihidupkan dengan kuasa modal. Jadwal ditetapkan, rencana disusun dalam optimisme, usaha tanah dan bangunan terus dikembangkan. Dengan begitu, ia pun menjadi semacam antitesis dari pedesaan, konsentrasi publik yang dianggap lamban, asri, santun dan bersahaja. Maka dalam sajak Rendra “Rick dari Corona” contohnya, kita menemukan bagaimana wajah megapolitan New York digambarkan “keras dan angkuh, dingin dan teguh”. Gambaran jahat, licik, brutal, ambisius, tamak, penuh kompetisi muncul sebagai stereotipe perkotaan.
Kota adalah mimpi kesuksesan dan dunia gemerlap. Di sini, modernitas pun diwakili kehidupan kaum urban. Ditandai lanskap para pencari kerja yang saban tahun terus membanjiri kota-kota besar pusat perdagangan-industri. Dengan demikian, kota menjadi identik dengan kepadatan dan hiruk pikuk. Sesuatu yang jadi potret lumrah kota besar sejak awal abad 20, sebuah problematis jaman modern. Kota pun menjadi latar yang mencatat migrasi besar-besaran umat manusia, kedatangan dan kepergian; ia menjadi sebuah stasiun transit dan ruang peralihan sekaligus sebuah jendela yang terbuka pada segenap khazanah kebudayaan dari ragam penjuru. Urbanitas adalah sebuah gaya kebudayaan baru dengan persoalan paling kompleks, yang menformat dan diformat oleh kota yang menghidupi dan dihidupinya.
Jika hari ini kita melihat wajah Jakarta yang semrawut, macet dan berdebu, yang selalu terendam banjir setiap musim hujan tiba sehingga para penduduknya—kaum urban yang malang—mesti mengungsi, siapa yang salah atau harus disalahkan?
Selama masa jabatannya 1966-1977, Gubernur DKI Ali Sadikin telah mencoba mengubah Jakarta jadi metropolitan baru. Di bawah pimpinannya, Jakarta mengalami banyak perubahan dengan proyek-proyek pembangunan seperti Taman Ismail Marzuki, Kebun Binatang Ragunan, Proyek Senen, Taman Impian Jaya Ancol, Taman Ria Monas, Taman Ria Remaja, Kota Satelit Pluit, dan sebagainya. Seiring itu, berbagai aspek budaya Betawi dihidupkan kembali. Bang Ali juga menyelenggarakan PRJ sebagai sarana hiburan dan promosi dagang industri barang-jasa. Ia memperbaiki sarana transportasi di Jakarta dengan mendatangkan banyak bus kota dan menata trayeknya, serta membangun halte. Sebuah kota modern yang nyaman jadi impian Bang Ali. Meskipun kebijakannya itu begitu kontroversial, karena menggunakan pajak dari hiburan malam, lokalisasi pelacuran, dan judi untuk biaya pembangunan.
Dalam sejarah Eropa, Roma dalam mimpi Lucius Nero adalah sebuah dunia yang lebih baik, sebuah tatanan baru yang teratur, rapi dan damai. Ketika merasa gagal mengatur segala kebrengsekan kota itu, ia pun mengambil sebuah langkah spektakuler yang mengerikan, sesuatu yang tak masuk akal dan tercatat dalam lembaran hitam sejarah: ia membakar pusat dunia itu demi kota impiannya!
Namun toh, sebagaimana ujar-ujar termashyur “Roma tidaklah (mungkin) didirikan dalam waktu semalam”, riwayat kota-kota umumnya tumbuh dari sejarah panjang yang tak terlepas dari peranan warganya. Kendati sejarah sebuah kota bisa berawal dari apa saja: tempat persinggahan, daerah pelarian, kawasan pertambangan, tempat peristirahatan kereta, bandar, pasar. Tak terlepas dari perang, penaklukan, intrik politik, dan hijrah.
Dari film “Gangs of New York” (bersetting tahun 1863) sebagai contoh, kita tahu, megapolitan yang dijuluki ‘The Big Apple’ itu dibesarkan oleh para gangster brutal. Sebuah sejarah kelam pasca pemburuan emas Amerika yang sarat rasisme dan perseteruan antar gang, juga sejarah imigrasi Irlandia di tengah perjuangan penghapusan perbudakan oleh Abraham Lincoln.
Tetapi pada abad 20; di atas rawa-rawa, bekas persawahan, atau rimba belantara ada banyak kota-kota yang berdiri sekejap tanpa hiruk-pikuk masa silam di Dunia Ketiga, layaknya disulap. Dalam novel “One Hundred Year of Solitude” karya Gabriel Garcia Marquez, kita melihat bagaimana sebuah kota didirikan di pinggiran rawa. Semuanya seolah belum bernama, sampai modernitas (ala Eropa) datang menyapa lewat simbol es batu yang dibawa orang-orang gipsi, disusul pastor, politikus, dan tentara. Gereja, kantor pemerintahan, kantor pos, barak pun dibangun. Tetapi semua ketertiban itu agaknya diragukan apakah memang dibutuhkan oleh penduduk kota baru Macondo, karena di satu sisi justru membuat ketentraman Macondo mulai terguncang. Sebagai karya sastra postkolonial, tentu kita mafhum “Seratus Tahun Kesunyian” merupakan reaksi Amerika Latin atas Dunia Barat Modern.
Adakah terbengkalainya beragam situs bersejarah peninggalan kolonial Belanda di berbagai kota di Indonesia dilandasi sikap sama? Yang terwujud lebih ekstrem lagi berupa “kebencian dan dendam” pada segala yang berbau kolonial, sehingga bukan cuma bahasa Belanda yang harus disingkirkan dari pendidikan nasional kita. Apakah yang keliru dari kota-kota kita?
Pada akhir 1990-an Pemerintah Kota Semarang memang merevitalisasi kawasan Kota Lama dengan memperbaiki dan membenahi jalan, drainase dan membuat polder untuk mengendalikan rob (rembesan air laut ke daratan). Namun tetap saja kawasan Oude staadt itu terasa sebagai artefak yang beku, lantaran kehidupan tak pernah menggeliat sewajarnya dalam kelanggengan. Sehingga yang terhampar tetaplah imaji “40.000 mill dari kenangan” yang dihadirkan Cecep Syamsul Hari dalam sebuah sajaknya yang melankoli.
Sebuah kota memang tak sekadar peta: tapal batas atau urusan administratif, tata arsitektur dan siasat interior. Cerita kota adalah cerita mobilitas manusia, cerita pertumbuhan. Di ruang plural inilah, interaksi manusia berlangsung demikian intens; di mana yang privat dan yang publik mesti terus-menerus bersitegang. Ia menjadi wajah peradaban, harapan akan kemajuan dan masa depan. Atau dengan kata lain: ekspresi modernitas. Di sini, ia menjadi wilayah yang tak pernah selesai, selalu ramai dalam proses dialektika.
Tetapi di kota-kota negeri ini, apakah memang ada yang keliru dengan sejarah?
Bayangkanlah Yogyakarta sepuluh tahun ke depan. Jika hari ini saja, kita melihat bagaimana tata kotanya tak pernah siap menghadapi pertumbuhan. Jalanan mulai kerap macet oleh kendaraan bermotor, sehingga kenyamanannya sebagai kota sepeda pun perlahan tergusur. Bagaimana Jakarta sepuluh tahun lagi, jika penggunaan sumur bor dan pengendalian sampah tak pernah ditangani secara bijak, jika Bus Way yang dimaksudkan untuk mengatasi kepadatan justru mendapat cacian dari sopir taksi dan bus umun karena dianggap merampas jalur mereka.
Ah, entahlah. Saya hanya tiba-tiba teringat pada kesan Hemingway tentang Paris yang begitu mendalam dalam memoarnya “Moveable Feast”: If you are lucky enough to have lived in Paris as a young man, then wherever you go for the rest of your life, it stays with you, for Paris is a moveable feast.
Mari kita bernostalgia!***