Tuesday, December 9, 2008


OKSIDENTALISME:
Kajian Balik Terhadap Barat dalam Studi Islam

Oleh: Sunlie Thomas Alexander

BENARKAH Oksidentalisme adalah sebuah wacana keilmuan yang netral, sebagaimana yang diinginkan Hassan Hanafi ketika mengembangkan disiplin ilmu ini sebagai jawaban Timur (baca: Islam) atas sikap keilmuan Barat yang dianggap arogan?

Dalam definisinya, Oksidentalisme adalah sebuah bidang kajian yang hendak menjadikan Barat sebagai obyek kajian dan Timur (baca: Islam) sebagai subyek pengkajinya; yang dalam tataran akademis dimaksudkan sebagai pemikiran alternatif dalam rangka membaca Barat. Ia adalah sebuah disiplin yang berkembang sebagai respon pasca merebaknya studi Orientalisme yang dinilai memandang Islam secara sepihak dan sebelah mata, bahkan berbau imperialistik.

Salah satu pemikir Muslim yang memiliki ambisi besar untuk menjadikan Oksidentalisme sebagai sebuah disiplin ilmu mandiri dalam memahami dan membaca Barat ini adalah Hassan Hanafi. Ia menulis buku yang cukup tebal berjudul “Muqaddimah fiI’lm al-Istighrab (Pengantar Menuju Oksidentalisme)”. Yang di mana dalam buku tersebut, ia mencoba mengingatkan bahwa sikap umat Islam terhadap Barat merupakan salah satu masalah yang cukup rumit. Dan karena itu, dibutuhkan sebuah disiplin ilmu tersendiri; katakanlah sebuah wacana dekonstrukstif terhadap hegemoni Barat.

Dalam Oksidentalismenya, Hassan Hanafi menawarkan ajakan untuk membaca Barat secara holistik dan komprehensif, tak hanya sekadar melihat Barat dalam satu dasawarsa belakangan ini. Tetapi sebuah pembacaan yang harus berangkat dari abad pertama hingga sekarang. Karena seperti halnya peradaban lain, menurutnya Barat memiliki kelebihan dan kekurangan, keistimewaan dan kelemahan, yang tak bisa dibaca dalam sikap radikalistik dan ekstrim.

Buku “Pengantar Menuju Oksidentalisme” (yang di Indonesia diterbitkan oleh Paramadina dengan judul “Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Barat”) ini merupakan agenda kedua dari tiga agenda Hanafi yang disebutnya sebagai proyek "al-Turats wa Tajdid" ("Tradisi dan Pembaruan"). Dua proyek yang lain adalah "Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama" dan "Sikap Kita Terhadap Realitas" (Teori Interpretasi).

Hanafi berkeyakinan bahwa pada kenyataannya, Orientalisme serupa dengan imperialisme, seperti kepopuleran imperalisme kultural yang digelar Barat melalui media informasi dengan mempropagandakan Barat sebagai pusat "kebudayaan kosmopolit". Dan bahkan, Orientalisme dijadikan kedok belaka untuk melancarkan ekspansi kolonialisme Barat terhadap dunia Timur (Islam).

Karena itu, baginya adalah sebuah kewajaran jika umat Islam mencurigai image Orientalisme itu sarat dengan muatan ideologis. Hal ini disebabkan oleh watak disiplin ilmu tersebut yang memang imperialistis dan kolonialistis. Sebagai contoh—sebagaimana yang diungkapkan Komarudin Hidayat dalam Kata Pengantar untuk buku “Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Barat” terbitan Paramadina—Orientalisme contohnya pernah dijadikan alat ideologis kolonialisme Barat melalui tangan Snouck Hurgronje untuk menyiasati Aceh.

Pertanyaannya, apakah dengan proyek Oksidentalismenya, Hassan Hanafi menyimpan ambisi untuk merebut kekuasaan Orientalisme?

Jawabannya mungkin tidak. Karena, berbeda dengan wacana kebangkitan Islam yang diusung oleh kalangan “Neo-Revivalis” yang lebih mengedepankan apologi ideologis dan simbol-simbol keagamaan, Hanafi—sekali lagi—lebih mengedepankan proyek “al-Turats wa Tajdid” (Tradisi dan Pembaruan) pemikiran dalam Islam untuk mengisi wacana kebangkitan Islam itu. Bagi Hanafi, kebangkitan Islam merupakan suatu kebangkitan rasionalisme untuk menghidupkan kembali (revitalisasi) tradisi klasik Islam, melalui perlawanan wacana terhadap dominasi kebudayaan Barat dan menganalisa kembali realitas di dunia Islam sendiri.

Dengan kata lain, Oksidentalisme hanya ingin menuntut pembebasan diri dari cengkeraman kolonialisme Orientalis. Menurutnya, "ego Oksidentalisme lebih bersih, obyektif, dan netral dibandingkan dengan ego Orientalisme". Oksidentalisme hanyalah sekadar menuntut keseimbangan dalam kebudayaan, dalam kekuatan, yang selama ini memposisikan Barat sebagai pusat yang dominan.

Dengan proyek Oksidentalisme, Hanafi berniat mengakhiri dan sekaligus meruntuhkan mitos Barat yang dianggap sebagai satu-satunya representasi (kekuatan) dunia, di mana selama ini telah menghipnotis Timur (baca: Islam) dengan pemahaman semu bahwa Barat adalah pusat kekuatan dunia, pusat ilmu pengetahuan, pusat gaya hidup, pusat ekonomi, pusat peradaban, dan karenanya menjadi sandaran peradaban lain. Dalam "Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat", Hanafi menyerukan kepada umat Islam untuk menyikapi secara kritis (bukan ofensif atau defensif) hegemoni kultural, politik, dan ekonomi Barat yang terkemas di balik kajian Orientalisme.

Ia mengemukakan, pemahaman versi Barat tersebut mengakibatkan pusat-pusat peradaban non-Barat menjadi dependen dan terikat kepada peradaban Barat (Eurosentrisme). Di mana peradaban Barat terlanjur dipandang sebagai "produk akhir dari eksperimentasi manusia". Atau meminjam istilah Hegel, "seluruh peradaban menjadi terasing di luar dirinya dan terikat dengan hal lain yang bukan dirinya".

Maka tak mengherankan bila selama peradaban Barat (Eropa) menjadi sentral, sentris, dan non-Barat menjadi ekstremis, pola relasi antarperadaban pun menjadi monolitik, dan bahkan dominatif. Di sinilah, menurut Hanafi, tugas Oksidentalisme untuk merontokkan, dan jika perlu menghapus sama sekali dikotomi sentrisme versus ekstrimisme; superior versus inferior. Untuk kemudian, dibangun sebuah pandangan yang egalitarianistis antara Timur dan Barat.

Menurut Hanafi, dalam Orientalisme selama hampir empat abad (Orientalisme dimulai abad ke-17, sementara Oksidentalisme baru lahir akhir abad ke-20), posisi Barat sebagai subyek pengkaji Timur telah menimbulkan stereotipe-stereotipe psikologis yang luar biasa parah, terutama rasa superioritas Barat karena mereka selalu mensubyekkan diri sebagai pengamat tersebut. Sebaliknya Timur yang dijadikan obyek kajian, dan bahkan sasaran penjajahan pun merasa inferior. Karena itu, jika hubungan superior-inferior ini dipelihara terus, tidak saja berakibat pada ketidakharmonisan Barat-Timur selama berabad-abad, tetapi juga memperkeruh komplikasi sejarah dalam konflik peradaban.

Meskipun inti dari proyek Oksidentalisme Hassan Hanafi adalah merekomendasikan agar ekspansi kolonialisme Barat yang tanpa batas harus segera dihentikan—di mana perang kebudayaan mesti cepat-cepat diakhiri, lalu kebudayaan dan peradaban Barat dikembalikan ke wilayah geografis dan historisnya; menghapus rasa inferior dunia Islam yang “vis a vis” dengan superior dunia Barat—tetapi pada sisi lain "mengakhiri Orientalisme" ini juga menjadi penting dalam pengertian mengubah status Timur dari sekadar obyek, menjadi subyek. Bahkan lebih dari itu, Oksidentalisme juga dapat mengubah peradaban Barat dari kajian-obyek menjadi obyek-kajian; melacak sejarah, sumber, lingkungan, awal, akhir, kemunculan, perkembangan, struktur, dan keterbentukan peradabannya.

Dalam pandangan Komaruddin Hidayat, secara historis gagasan Oksidentalisme memang merupakan sebuah keharusan epistemologis yang diperhadapkan pada Orientalisme, menjadi sebuah pendekatan dan konsep yang berguna membuka selubung ketidakjujuran Barat dalam melihat Islam. Karena posisi Barat sebagai pengkaji Timur yang telah menimbulkan stereotipe dan kompleksitas tertentu memang harus diluruskan untuk mencapai kejujuran sejarah dan sebuah titik berimbang—sebuah "harmoni kebudayaan-peradaban" antara al-ana (Timur/ dunia Islam) dengan al-akhar (the other, Barat).

Dan harmoni tersebut perlu dilestarikan, terutama dari sudut pandang ontologisnya, seperti yang dilukiskan dengan cukup indah oleh Hanafi, "membebaskan ego dari kekuasaan the other pada tingkat peradaban, agar ego dapat memposisikan dirinya sendiri secara bebas." "Saya tidak teralienasi" karena itu "saya ada"; atau "saya bukan orang lain" dan karenanya "saya ada".

Gara-gara Edward W. Said
NAMUN benarkah Orientalisme hanyalah sekadar proyek Barat untuk membakukan dan mereduksi dunia Timur (dan Islam) demi kepentingan imperialisme dan kolonialismenya belaka, tanpa ada kajian-kajian yang dilandasi kejujuran dan idealisme ilmu pengetahuan? Atau jangan-jangan pandangan kita terhadap Orientalisme selama ini telah terkungkung pandangan Edward W. Said?

Orientalisme sebagaimana yang digambarkan Edward Said memang selalu menunjukkan konfrontasi yang mendalam dan konstan, berproyeksi pendedahan inferioritas dan superioritas serta mempunyai batasan imajinasi geografis yang terbelah antara Barat dan Timur. Dalam pandangannya, Edward Said melihat Orientalisme selalu menunjukkan proposisi politis—atau meminjam terminologinya Komaruddin Hidayat—sebagai sebuah kajian akademis yang terselubung dengan kepentingan ideologis.

Analisis wacana kolonialisme ini dirintis sebagai sub-disiplin akademik oleh Edward Said lewat karya monumentalnya “Orientalism”, yang terbit pertama kali pada tahun 1978. Said memang bukan tokoh pertama yang mempelopori studi kolonialisme, tapi dialah yang menganalisa kolonialisme lewat operasi diskursif yang terjadi di sana. Ia juga yang berhasil menunjukkan hubungan langsung antara bahasa dan bentuk-bentuk pengetahuan yang telah terjadi sepanjang sejarah imperialisme dan kolonialisme. Said berkeyakinan bahwa konsep-konsep dan representasi yang digunakan dalam teks-teks novel, catatan perjalanan, memoar, dapat dianalisa untuk memahami ideologi kolonialisme yang berbeda-beda.

Bagi Said, Orientalisme merupakan konstruksi historis terhadap masyarakat dan budaya Timur sebagai "sesuatu yang asing", yang seringkali bahkan dilihat sebagai sejenis alien atau obyek yang indah dan eksotik. Meskipun tidak disamakan dengan rasisme yang kasar dan brutal, ia dipahami sebagai wacana yang memperlihatkan sense perbedaan yang fundamental antara "kami orang Barat" dan "mereka orang Timur", atau dengan kata lain: sebuah penguasaan yang sifatnya hegemonis.

Said melihat studi Orientalisme dan kolonialisme menaruh perhatian pada eksplorasi problem subyektivitas dan otentisitas di antara kelompok-kelompok sosial dan kebudayaan yang dikucilkan dari wacana kekuasaan. Di mana wacana Orientalisme ini menurutnya tertanam secara historis dalam proses sosial yang kompleks dan praktik-praktik politik masyarakat Barat untuk mendominasi dan memegang otoritas atas masyarakat dan kebudayaan Timur. Yang dalam tingkatan paling praktis, juga mewujud pada tulisan-tulisan akademis yang bertujuan untuk menunjukkan analisis obyektif dari masyarakat Timur kepada masyarakat Barat. Said mencoba menunjukkan bagaimana wacana, nilai-nilai dan pola-pola pengetahuan Orientalisme telah secara jelas mengkonstruksi fakta-fakta.

Dengan mengadopsi metode yang digunakan oleh Michel Foucault, ia berasumsi bahwa Orientalisme itu dibangun lewat konstruksi diskursif. Hal ini mempunyai tiga implikasi teoritis dalam karya Edward Said, yaitu: pertama, Said menunjukkan bahwa ideologi beroperasi tak saja lewat bentuk kesadaran tapi juga lewat barang praktis material. Kedua, ada jalinan-jalinan yang rumit dan kompleks antara politik dan ilmu pengetahuan. Bahwa pengetahuan Barat, langsung atau tak langsung adalah bentuk wacana kolonialisme. Ketiga, dan ini yang paling kontroversial, bahwa Orientalisme itu bersifat "self-generating" atau dikembangbiakkan oleh dirinya sendiri.

Poin penting di sini adalah bahwa pengetahuan dari Barat, teks-teksnya tak hanya menciptakan pengetahuan tapi juga berisi deskripsi dari apa yang tampak dan apa yang senyatanya terjadi.

Karena itulah, gagasan-gagasan Said, terutama yang tertuang dalam dua buku penting, “Orientalism” dan “Culture and Imperialism”, menimbulkan badai perdebatan yang alot di kalangan para pemikir dan sarjana. Pada tahun 1995, tujuh belas tahun setelah terbitnya buku “Orientalism”, dalam edisi murah buku itu oleh Penerbit Penguin, Said mengakui dengan terus-terang bahwa buku tersebut ditulis sebagai cerminan dari-dalam kata-kata ia sendiri: "extremely concrete history of personal loss and national disintegration".

Maka tak heran, dalam latar belakang "sejarah pribadi" seperti ini, fokus studi Said dalam bukunya itu adalah pada karya-karya Orientalis Inggris, Perancis, dan Amerika, tiga negara besar yang menimbulkan masalah bukan saja bagi Palestina, tetapi juga bagi dunia Islam. Ia kurang memberikan perhatian yang cukup bagi para Orientalis Jerman dan Rusia, apalagi Orientalis Jepang yang datang belakangan (seperti Toshihiko Izutsu dan Sachiko Murata).

Tentu saja, pokok perdebatan itu adalah tesis utama Said dalam “Orientalism”, di mana telaah para Orientalis Barat atas dunia Arab dan Islam dianggap sebagai pekerjaan yang tidak “sepi ing pamrih”, dan karena itu bisa dimasukkan dalam "ilmu politis", bukan ilmu murni. Orientalisme bagi Said merupakan sebuah ilmu dengan kepentingan untuk "menguasai" bangsa-bangsa di luar Barat. Pena para Orientalis seolah-olah sama kedudukannya dengan para serdadu, pedagang, dan pegawai pemerintah kolonial yang datang untuk menyerbu dan menjarah bangsa lain.

Padahal, seperti kita tahu, telaah Said sendiri dalam buku itu juga bukan "telaah murni", sebab ada motif-motif yang berasal dari pengalaman hidup pribadinya sebagai eksil Palestina di negeri Barat, seperti ditunjukkan dalam pengakuannya tersebut.

Maka, telaah Said—sebagaimana yang dikritik Bernard Lewis—juga mengandung biasnya sendiri; bahkan mengandung obsesi yang berlebihan. Itulah sebabnya, Said agak abai untuk melihat karya-karya Orientalis Jerman, Rusia, dan Austria, dan hanya mencecar karya-karya Orientalis Inggris, Perancis, dan Amerika. Lewis mengkritik, bahwa penggunaan istilah "Orientalisme" oleh Said itu sendiri telah "salah jalur" karena dilepaskan dari sejarah pertumbuhan disiplin yang disebut Orientalisme itu. Akibatnya, selepas kritik Said itu, istilah Orientalisme pun menjadi semacam olok-olok; ia identik dengan kegiatan intelektual yang membantu kaum kolonialis Barat untuk menjajah tanah-tanah di dunia Timur. Orientalisme telah menjadi, dalam kata Lewis, "the perversion of language", kelainan bahasa.

Sebab itu, salah satu perdebatan yang kemudian muncul setelah terbitnya “Orientalism” Said adalah: ”Apakah mungkin seseorang "mengetahui" dan menelaah kebudayaan lain? Jika usaha untuk menelaah budaya lain bisa terpeleset ke dalam bahaya "kolonialisme intelektual", dan bahwa pengetahuan tentang suatu budaya hanya bisa dicapai dengan baik oleh orang-orang dari dalam lingkungan kebudayaan itu sendiri. Bukankah ini suatu tahap pelan-pelan menuju ke arah "solipsisme budaya"?

Bukankah pula apabila telaah orang lain mengenai dunia itu akan selalu rentan menjadi "penjajahan", dialog antarbudaya pun menjadi mustahil? Padahal—seperti dikatakan Luthfi Assykaunie dalam sebuah esainya “Al Qur’an dan Orientalisme” di website “Islamlib.com”, ada terlalu banyak manfaat yang bisa diambil Islam dari khazanah Orientalisme. Studi mereka tentang Qur’an, Hadis, dan sejarah Nabi merupakan bekal yang sangat berharga bagi Islam untuk mengungkapkan misteri masa-masa awal sejarah Islam. Dengan metodologi dan standar akademis yang ketat, para ahli Islam dari Barat itu telah menggali hal-hal yang kerap diabaikan kaum Muslim. Tidaklah sedikit dari antara para Orientalis yang idealis dan jujur, yang kajiannya kemudian memberikan sumbangsih amat penting bagi dunia ilmu pengetahuan.

Karena itu, menurut Luthfi, berkat studi mereka yang sangat padat dan kaya dengan rujukan sumber-sumber Islam klasik dan penguasaan mereka akan bahasa Arab dan peradaban Mediterania-lah, kita jadi terbantu dalam mengeksplorasi hal-hal yang selama ini tercecer dalam tumpukan kitab-kitab klasik. Dengan bantuan para Orientalis, kita dapat melihat secara lebih komprehensif lagi sejarah pembentukan Al Qur’an.

Maka Luthfi pun berpandangan bahwa manfaat yang diwariskan tradisi keilmiahan Orientalisme jauh lebih besar ketimbang mafsadah-nya. Edward Said, menurutnya, tak pernah memberikan sumbangan apa-apa bagi kajian keislaman; tetapi hanya meluapkan kemarahan kepada apa yang ia sebut sebagai “konspirasi Orientalisme” atau “konspirasi Barat.”—sebuah cara yang tak baik dalam menilai produk kesarjanaan. Hal yang senada juga diungkapkan secara lugas oleh seorang Orientalis modern, William Montgomery Watt dalam bukunya “Titik Temu Islam dan Kristen: Persepsi dan Salah Persepsi”, bahwa poin utama Orientalisme modern yang dibuat Said telah memainkan peranan utama dalam menciptakan stereotipe "Oriental" yang menjadi basis kebijakan kolonialis. Sehingga tak heran jika pada dekade-dekade berikutnya sebagian umat Islam menuduh kaum Orientalis Barat berkolusi dengan para kolonialis dalam mencoba memperlemah atau menghancurkan Islam.

Pandangan seperti inilah yang juga menghinggapi (baca: menghantui) banyak intelektual Islam, termasuk Hassan Hanafi. Meskipun Hanafi membacanya dari sudut pandang yang jauh lebih kritis dan dalam porsi yang berbeda dengan Said.

Oksidentalisme: sebuah kajian membalas dendam?
SEKALI lagi, sebagai pemikir modernis, gagasan Hanafi lebih terfokus pada perlunya pembaruan rekonstruksi Islam yang ia kemas dalam konsep besar “Turats wa Tajdid” (Tradisi dan Pembaruan), dan “Al Yasar Al Islami” (Kiri Islam) yang ia cetuskan pada 1981. Konsep itu merupakan kepanjangan dari gagasan “Al Urwatul Wutsqo”-nya Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh.

Menurutnya, penggunaan nama 'kiri' sangat penting karena dalam citra akademik, kata tersebut berkonotasi perlawanan dan kritisisme. Menurutnya, Kiri Islam adalah hasil nyata dari Revolusi Islam Iran yang merupakan salah satu respon Islam terhadap Barat.

Hanafi berpendapat Kiri Islam merupakan resultan dari gerakan-gerakan kaum Muslimin di Afghanistan, Melayu, Filipina, Pakistan, dan Revolusi Aljazair untuk memunculkan Islam sebagai khazanah nasional. Umat Islam di negeri-negeri tersebut ingin memelihara otentisitas dan kreativitas dalam memperjuangkan kepentingan mereka, serta menggerakkan umat Islam di tempat lain. Esensi Kiri Islam adalah pencurahan segala potensi untuk menghadapi puncak problematika jaman ini, berupa: imperialisme, zionisme, dan kapitalisme yang merupakan ancaman eksternal, serta kemiskinan, ketertindasan dan keterbelakangan sebagai ancaman internal.

Di mana menurut Hanafi, untuk proyek besar seperti itu, tak bisa mengandalkan kebaikan orang lain, tetapi yang bisa menolong adalah kaum Muslim sendiri. Untuk dapat mengubah kondisi tersebut, yang mendesak dilakukan umat Islam adalah rekonstruksi (i'adah bina/ pembangunan kembali) pemikiran Islam. Selama ini, menurutnya, telah terjadi stagnasi pemikiran. Dan itulah yang menjadi penyebab utama kemunduran umat Islam. Rekonstruksi dilakukan hanya dengan meletakkan warisan dan tradisi klasik dalam standar modernisme. Jika sudah tidak cocok, tradisi tersebut harus diubah. Atau, harus ada penafsiran ulang terhadap sumber-sumber asal di mana tradisi tersebut terbentuk.

Maka ia pun menekankan pentingnya analisis atas realitas dunia Islam dengan mengkritik metode tradisional yang bertumpu pada teks (nash) dan mengusulkan suatu metode tertentu, agar realitas dunia Islam dapat berbicara bagi dirinya sendiri. Dengan upaya ini, Hanafi yakin umat Islam akan mampu menghadapi tantangan berat, seperti bagaimana memecahkan masalah kesenjangan sosial, ketidakadilan, kebodohan, pengekangan kebebasan berekspresi, dan ketertindasan rakyat. Dunia Islam, menurutnya ditandai oleh disparitas kaya-miskin dan penindasan kebebasan. Kondisi tersebut haruslah diubah, karena yang terjadi selama ini adalah hidupnya “al-turath” (tradisi) yang merupakan akumulasi penafsiran yang diberikan berbagai generasi dalam menjawab tantangan jamannya, yang justru menguatkan ketidakadilan tersebut. Tradisi semacam inilah yang ia sebut sebagai 'Kanan Islam'.

Dengan Oksidentalisme, ia ingin menciptakan pendekatan baru terhadap kajian dan studi Barat dan kebaratan. Seperti yang ditulisnya, tujuan Oksidentalisme adalah membunuh Eurosentrisme dan mengembalikan budaya Barat kepada batasannya yang normal, karena sejak era kolonialisme dan kemudian dilanjutkan oleh kekuatan dan penguasaan agen-agen berita di dunia internasional, budaya Barat telah merebak ke setiap pelosok negeri-negeri non-Barat. Jadi, signifikansi Oksidentalisme, sekali lagi, adalah untuk menghapuskan mitos budaya universal yang dicetuskan Barat.

Oksidentalisme bagi Hanafi adalah alternatif untuk kaum Muslim modern dalam memandang Barat dengan perspektif baru. Baginya: jika selama ini, umat Islam telah menjadi obyek kajian lewat wacana Orientalisme yang diciptakan Barat, sudah seharusnya kini umat Islam membangun ilmu dengan berlandaskan epistemologi baru lewat diskursus Oksidentalisme.

Oksidentalisme sebagai logika alternatif dalam Studi Islam
MENJELASKAN Oksidentalisme memang bukanlah harus berarti menjelaskan polarisasi dengan Orientalisme. Logika “vis a vis” ditolak oleh Hassan Hanafi karena baginya Oksidentalisme berbeda dengan cara pandang Orientalisme. Kalau Orientalisme secara sengaja mengambil posisi keberpihakan, selalu terjadi alienasi antara “ego” dan “the other”, pembelahan antara superioritas dan inferioritas; Oksidentalisme berusaha keluar dari areal hegomonik tersebut.

Ilmu sosial alternatif yang digagas Hanafi dengan istilah Oksidentalisme ini mempunyai tugas yang lebih penting, yaitu mengembalikan emosi non-Barat kepada tempat asalnya, meleburkan keterasingan, mengaitkan kembali dengan akar lamanya dan bersikap kritis terhadap peradaban Barat yang dianggap semua orang sebagai sumber ilmu pengetahuan, padahal dalam prakteknya Barat adalah agresor bagi peradaban lain. Di sini, ilmu pengetahuan bagi Hanafi merupakan hasil deduksi dari informasi atau konklusi dari penelaahan suatu pemikiran dengan menggunakan pemikiran itu sendiri atau dengan mengembalikannya kepada realitas di mana pemikiran itu berada.

Karena itulah, kata Hanafi, sudah semestinya Timur tak lagi selalu meminjam pisau analisa “the other” seolah kebudayaan Timur itu buta dan butuh kebudayaan penuntun. Padahal keuntungan maksimal Timur dari hubungan dengan tradisi Barat hanyalah Oksidentalisme terbalik, yakti mengadopsi isme (paham) Barat yang sesuai dengan iklim, pilihan ideologis, dan kesadaran politik Timur, kemudian mencoba membaca ego dengan isme tersebut. Walaupun pada sisi yang sama juga tampak dengan jelas kelemahan hubungan terbalik Oksidentalisme seperti:
a. Mengambil tradisi Barat secara parsial dengan memilih salah satu madzhabnya, bukannya mengambil Barat secara utuh dengan mengabaikan proses dialektis antara partikularitas dan universalitas.
b. Mengeluarkan sebagian tradisi tersebut dari lingkungannya, padahal ia lahir sebagai reaksi atas madzhab lain, di mana di Barat, madzhab filsafat misalnya selalu saling menjelaskan.
c. Membaca tradisi Islam dengan kacamata madzhab Barat yang parsial; menafsirkan totalitas yang orisinal dengan parsialitas yang asing sehingga menghilangkan kekhasan tradisi yang dibaca.

Menurut Hassan Hanafi, sebuah kajian Oksidentalisme seharusnya:
1. Tidak mempelajari tradisi Barat an sich untuk memindahkan ilmu pengetahuan, tetapi mengambil sikap terhadap ilmu pengetahuan yang eksak sekalipun. Dengan demikian menganggap Barat sebagai ilmu perantara (ulum al-wasa’il), bukan ilmu tujuan. Tradisi Barat hanyalah bagian dari kebudayaan jaman yang dapat digunakan sebagai salah satu bentuk pengungkapan. Semacam perwujudan “formasi palsu” terhadap tradisi Barat.
2. Mempelajari tradisi Barat sebagai bagian dari analisa terhadap realitas kontemporer Timur dengan asumsi tradisi Barat telah menjadi salah satu peyangga kebudayaan kontemporer Timur.
3. Mengkaji tradisi Barat sebagai bagian dari kajian tentang tradisi lama Timur sebab pemikiran kontemporer Timur sejak lebih dari seratus tahun lalu menjadi titik temu antara dua peradaban, yaktu tradisi lama Timur yang direkonstruksi dan tradisi Barat yang merupakan kelanjutan tradisi Yunani kuno yang juga bagian dari kajian pemikiran Islam lama.
4. Mempelajari tradisi Barat sebagai bagian partisipasi dalam kajian kemanusiaan umum. Hal ini dimaksudkan untuk membantu Barat dalam memahami tradisi mereka sebagaimana yang mereka lakukan dalam Orientaslime.

Karena itulah, bagi Hassan Hanafi adalah perlu untuk menentukan sikap terhadap Barat. Untuk itu, solusi keilmuan terutama dalam bidang Islamic studies adalah mengembalikan gagasan-gagasan kontekstualisasi Islam sebagaimana yang ditawarkan almarhum Munawir Sjadzali, meracik kembali ide-ide pribumisasi Islam sebagaimana yang digagas almarhum Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid. Model gagasan ini merupakan kacamata dari hasil pengamatan Oksidentalisme dalam kasus Indonesia.

Dalam ruang lingkup studi Islam, Oksidentalisme adalah sejarah kesadaran Eropa dari aspek sumber, pembentukan, struktur dan masa depannya, maka ia sepadat mungkin akan memadukan analisa materi dengan deskripsi sejarah. Di sana juga akan muncul nama-nama tokoh, periodisasi masa, aliran-aliran seperti model kajian yang dilakukan Orientalisme yang menjadi korban kecenderungan historisisme.

Meskipun ia, sebagaimana juga Orientalisme secara epistemologis belum memiliki posisi yang jelas dalam disiplin keilmuan, di mana persoalan yang dikemukakan pun dalam beberapa bagian ada kalanya terasa tumpang tindih dan memasuki wilayah kajian ilmu lain, misalnya disiplin sejarah dan perbandingan agama serta filsafat.

Kemudian di lain sisi, dengan jujur Hanafi mengakui kalau Oksidentalisme walaupun mencerminkan keinginan ekstrimisme untuk mendapatkan kemerdekaan pemikiran, ilmu pengetahuan dan peradaban dari sentrisme, namun ia akan selalu berjalan di tempat. Sebab kita masih menggunakan metode dan bergumul dengan tema yang datang dari sentrisme. Karena itulah, apapun hasil kreativitas ekstrimisme, ia akan selalu terikat dengan jasa sentrisme.

Kritik terhadap Oksidentalisme
ADALAH Ahmad Syaikh dalam bukunya, “Min al-Istisyraq ila al-istighrab (Dari Orientalisme Menuju Oksidentalisme)” yang menyimpulkan bahwa Orientalisme maupun Oksidentalisme sesungguhnya merupakan disiplin kajian yang kering dan bertepuk sebelah tangan. Contohnya: tatkala muncul Orientalisme, orang-orang Islam pada umumnya tidak memberikan respon yang bersifat akademis dan dialogis. Orientalisme tidak direspon dengan Oksidentalisme.

Karena itu, apa yang terjadi belakangan ini adalah kenyataan terburuk yang pernah dihadapi studi Oksidentalisme. Oksidentalisme kini bahkan tak lagi sebagaimana yang pernah menjadi gagasan Hassan Hanafi, yakni sebagai sebuah jalan tengah dalam mengatasi hegemoni media pengetahuan Barat; namun ia telah menjelma sebagai kajian terhadap Barat yang bersifat parsial, bahkan politis. Anti-Barat lebih digunakan sebagai komoditas politik daripada sebagai sebuah disiplin keilmuan untuk membangun peradaban kemanusiaan yang luhur. Maka, reaksi yang muncul pun cenderung bersifat hitam-putih.

Padahal Oksidentalisme bagi Hanafi sesungguhnya bukanlah lawan dari Orientalisme, melainkan sebuah hubungan dialektis yang saling mengisi dan melakukan kritik antara satu terhadap yang lain sehingga terhindar dari relasi hegemonik dan dominatif Barat atas Timur. Ia—seperti yang ditegaskan Hanafi lagi—bukanlah alat imperialisme dan tidak berambisi kepada dominasi kursif dan hak kontrol atas “the other” (yang di Indonesia kata ini dipopulerkan Goenawan Mohamad dengan padanan “liyan”). Sebab Hanafi tidak bermaksud melakukan pembalikan total dalam pengertian menggantikan posisi yang pernah dimainkan oleh Orientalisme.

Maka agar Oksidentalisme tak semakin terperangkap menjadi sebuah studi kajian yang terkesan membalas dendam (terhadap Orientalisme), di sinilah dibutuhkan sebuah sikap Oksidentalistik yang konstruktif. Yaitu, memandang Barat secara moderat dan rasional tanpa menumpulkan sikap kritis. Sikap Oksidentalistik semacam ini pernah digagas oleh Ibnu Rush dalam kitabnya, “Fashl al-Maqal fi Taqrir ma bayn al-Syariah wa al-Hikmah min al-Ittishal”, bahwa kebenaran yang datang dari mereka yang berbeda keyakinan (baca: Barat) harus diterima. Sebaliknya, bila mereka membawa kekeliruan/ kesalahan, haruslah dimaafkan dan diperbaiki.

Karena hanya dengan sikap seperti inilah kesan bahwa Oksidentalisme sekadar reaksi belaka atas kedzaliman Orientalisme yang tercipta sejak kelahirannya tak kian mewabah.

Sebagai sebuah disiplin keilmuan baru yang bangunan epistemologinya belum kokoh (sehingga terkesan kuat terjadinya overlapping dengan disiplin keilmuan lain), sesungguhnya Oksidentalisme terlalu rapuh memikul tujuan dan tanggungjawab keilmuannya sendiri. Karena keinginan Hanafi agar umat Islam memiliki kesadaran untuk memandang Barat sebagai obyek kajian baru, sekaligus mengajari Barat bahwa Timur bisa menunjukkan Barat kepada relnya—di sini bagaimanapun rasa-rasanya telah tergelincir menjadi sebuah keangkuhan baru; yang alih-alih mengembangkan sebuah disiplin ilmu netral, justru memperkenalkan Orientalisme dalam bentuknya yang baru!

Bila demikian, yang terjadi kemudian hanyalah apa yang dicemaskan Hanafi sejak semula, yaitu sebagai konsumen, Timur (Islam) semakin terperangkap dalam ilusi bahwa ia dapat menyusul produsen (Barat) dan memperkecil jarak. Yang pada gilirannya terengah-engah mengejar sang produsen sehingga mengalami guncangan peradaban dan akhirnya menerima nasib sejarah sebagai ekstrimisme bagi sentrisme Barat.

Mungkin benar, banyak kreativitas Timur yang belum digali sebagai refleksi kemajuan atau kemunduran Timur. Tetapi, apakah Timur memang sungguh-sungguh mampu membaca dan merefleksi pemikiran serta menelanjangi dasar yang ada dalam dirinya kemudian mengaplikasikan gagasan tanpa campur tangan pemikiran yang lain (“the order of think”), sangatlah perlu untuk diragukan secara kritis mengingat inferioritas yang terlampau lama menjangkitinya.

Karenanya, harapan dan agenda Hanafi agar Timur (Islam) dapat mengangkat pengetahuannya sendiri dan mengeksplorasikannya keluar dunia Barat sehingga seluruh dunia tak memiliki batas geografi dan antropologi pengetahuan, sampai saat ini memang masihlah menjadi sebuah tanda tanya besar.

Adalah realitas di Timur, seperti yang diakui oleh Hanafi, banyak muncul karangan tetapi hanya sedikit yang menghasilkan ilmu. Hal ini menurut Hanafi dikarenakan kita masih terus saja mengutip dari Barat sejak kebangkitan modern karena angka produksi Barat yang lebih besar dibanding angka transferensi kita. Padahal ilmu pengetahuan bukanlah aksi mengumpulkan pengetahuan. Seharusnya yang kita lakukan adalah membacanya; menciptakan ilmu baru darinya; mengetahui proses kelahirannya; atau menciptakan teori dari suatu realitas agar membuahkan ilmu baru yang melengkapi ilmu lain—dengan mengkaji obyek, membuat redaksi, mengkritik pengetahuan yang dikutip, setelah dikembalikan kepada “akal” dan realitasnya untuk disempurnakan dan diakurasikan.

Ketidakmampuan Timur memenuhi tuntutan realitasnya untuk mengembalikan pemikiran madzhab Barat ke realitas ini pun akhirnya menjadi kelemahan dunia Timur: di satu sisi dalam memandang transferensi dari Barat secara berkepanjangan hingga melewati batas kewajaran—yang karena itu menghambat lahirnya inovasi; tetapi di sisi lain juga gagal mempertegas pengetahuan dalam rangka membebaskan diri dari sekadar alat tranformasi.

Dalam hal inilah agaknya perlu dicurigai: jangan-jangan keluhan akan sikap sok tahu Barat adalah kata lain untuk kurangnya pengetahuan kita tentang diri kita sendiri, jangan-jangan keluhan tentang sifat menggurui Barat adalah pengakuan terselubung tentang rendahnya explanatory power hasil kerja intelektual kita, dan jangan-jangan pula keluhan tentang kurangnya empati Barat adalah isyarat etnosentrisme kita sendiri.

Hassan Hanafi sendiri mengakui Barat adalah pendatang utama dan juga sumber pengetahuan ilmiah dalam kesadaran kita. Tetapi, dalam posisinya yang “vis a vis” dengan Timur (baca: Islam) yang tidak sebanding ini, bukanlah penolakan secara pasif total sebagai bagian dari pembelaan diri dan penjagaan identitas yang dikehendakinya dari dunia Timur, melainkan bagaimana kita mencoba menciptakan keseimbangan baru yang tak didasarkan kepada tujuan-tujuan eksploitatif dan manipulatif terhadap Barat.

Tetapi di sinilah, bagaimana pun tujuan Hassan Hanafi melakukan pembebasan diri Timur dari pengaruh pihak lain agar terdapat kesetaraan antara Barat dan Timur memang terasa utopia. Lantaran studi tentang Barat dengan cara pandang Timur (Islam) secara akademis dan metodologis yang sulit menafikan pengaruh intelektualitas Barat terhadap pembentukan kapasitas kepribadian dan intelektualitas Hanafi sendiri. Dengan kata lain, Timur kekurangan metode (dan rasionalitas) sehingga tak mampu menggali tradisinya.

Sementara dalam point of view, beberapa di antara kita—meminjam Nirwan Dewanto—sering merasa hidup dalam khazanah warisan moyang, “tradisi”, padahal kita hanya bertolak dari kesadaran, seringkali kesadaran semu, dan bukan dari pengetahuan tentangnya. Sebab bagaimana pun pengetahuan kita tentang “tradisi” seringkali hanya merupakan terusan dari apa yang sudah ditemukan oleh Barat. Setidak-tidaknya kita tak dapat menemukan (kembali) ”tradisi” tanpa jalan rintisan mereka.

Maka, pasca-kolonialisme, tanpa sadar Timur pun terus-menerus mengamalkan Orientalisme baru guna mengukuhkan “nasionalisme” atau sentimen “anti-Barat”-nya. Di sini, Orientalisme kerap diburu lewat pintu depan dan ada rasa bangga menyuruhnya pergi. Namun diam-diam ia dapat menyelinap masuk melalui pintu belakang, yang dalam Oksidentalisme-nya barangkali lebih familiar, tapi dengan daya rusak intelektual yang sama payahnya.***

Gaten, Yogyakarta, Oktober 2008

SUMBER REFERENSI:
1. Hanafi, Hassan. “Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Barat”. Jakarta: Penerbit Paramadina, 2000.

2. Misrawi, Zuhairi. “Revitalisasi Oksidentalisme”. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0603/10/opini/2498234.htm.

3. Juliastuti, Nuraini. “Kajian Kolonialisme”. Newsletter KUNCI No. 3, November 1999. http://kunci.or.id/esai/nws/03/kolonialisme.htm.

4. Abdalla, Ulil Abshal. “Edward Said dan Masalah Orientalisme”. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0310/05/seni/603000.htm.

5. http://www.fatimah.org/kisah/hasanhanafi.htm.

6. Shimogaki, Kazuo. “Kiri Islam: Antara Modernisme dan Posmodernisme”. Yogyakarta: LKiS, 2004.

7..Assykaunie, Luthfi. “Al Qur’an dan Orientalisme”. http://islamlib.com/id/artikel/alquran-dan-orientalisme/

8. Watt, William Montgomery. “Titik Temu Islam dan Kristen: Persepsi dan Salah Persepsi”. Jakarta: Penerbit Gaya Media Pratama, 1996.

9. Majalah Sabili No.01 Th. XVI, 24 Juli 2008/ 21 Rajab 1429.

10. Hanafi, Hassan. “Aku Bagian dari Fundamentalisme Islam”. Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2003.

11. Dewanto, Nirwan. “Problem Lokalitas”. Makalah, Kongres Cerpen Indonesia (KCI) IV, Pekanbaru, 26-30 November 2005.

* lukisan di atas adalah karya Acep Zamzam Noor

No comments: