Friday, April 18, 2008

esai

AHMAD WAHIB:
MENCARI ISLAM KONTEKSTUAL

(Sebuah Catatan Kecil)
Sunlie Thomas Alexander*

LUMEN GENTIUM, 16 (Konsili Vatikan II): Yesus tinggal di antara mereka yang datang kepadaNya tanpa mengenalnya; di antara mereka, yang setelah semula mengenalNya, telah kehilangan Dia bukan karena kesalahan mereka sendiri; di antara mereka yang mencariNya dengan ketulusan hati, walaupun berasal dari konteks budaya dan agama yang berbeda”.

SAYA pertama kali mendengar nama Ahmad Wahib saat masih duduk di bangku SMP. Ia hadir samar-samar sebagai seorang tokoh muda Islam yang nyeleneh dan konon simpati pada orang Katolik. Hingga suatu hari saya membaca sebuah esai kecil—tentu saja saya tak ingat lagi tulisan siapa—di Mingguan HIDUP, sebuah majalah intern umat Katolik yang diterbitkan oleh Keuskupan Agung Jakarta. Kebetulan di rumah, sejak saya masih SD, kakek saya memang berlangganan majalah tersebut. Dari esai kecil itulah, saya sedikit mengenal lebih jauh sosok Wahib: biografinya yang terkesan agak heroik dengan kematian yang tragis di usia muda, pemikirannya yang meresahkan sekian banyak orang Islam, dan tentu saja buku hariannya yang menghebohkan itu, ”Pergolakan Pemikiran Islam” (LP3ES, 1981).
Mungkin warisan darah pemberontak dari seorang ayah yang memutuskan menjadi agnostis, ditambah kondisi usia labil yang sedang berada dalam proses pencarian, saya dengan segera tertarik pada tokoh kontroversial ini. Bagi saya remaja, ia—sebagaimana sejumlah tokoh yang saya gandrungi saat itu (Chairil Anwar, Bruce Lee, dan Muhammad Ali)—sungguh berpotensi menjadi seorang figur yang penuh inspiratif. Meskipun sejalan dengan waktu, pengaruhnya terhadap saya tidaklah sebesar tokoh-tokoh yang lain.

Spirit Konsili Vatikan II
Saya tidak tahu, sejauh mana pengaruh semangat Konsili Vatikan II terhadap pemikiran-pemikiran Ahmad Wahib. Perlu kajian lebih lanjut untuk hal ini. Tetapi saya pikir, sedikit-banyaknya ’pandangan yang dirumuskan oleh Gereja Katolik Roma atas posisi Gereja (dan iman Katolik) di tengah kemajemukan umat beragama lainnya di dunia’ tersebut, cukup menjadi inspirasi bagi beberapa pemikiran Wahib. Paling tidak, seperti pengakuan aktivis HMI ini dalam buku hariannya ”Pergolakan Pemikiran Islam”, bertanggal 6 Oktober 1969: ”…Memang aku dahaga. Dahaga akan segala pengaruh. Karena itu kubuka bajuku, kusajikan tubuhku yang telanjang agar setiap bagian dari tubuhku berkesempatan memandang alam luas dan memperoleh bombardemen dari segala penjuru. Permainan yang tak akan pernah selesai ini sangat mengasyikkan”.
Spirit Konsili Vatikan II yang kemudian menjadi sikap resmi Gereja Katolik Roma dalam membangun hubungannya dengan agama-agama lain, termasuk mengembangkan dialog antariman ini, di antaranya barangkali cukup terlihat pada pemikiran Wahib tentang sekularisasi dan pluralisme agama.
Konsili yang dilaksanakan pada tahun 1969 itu sendiri merupakan sebuah sikap yang lahir ketika Gereja Roma menemukan kondisi sosial-budaya dan politik dunia pasca-kolonial yang telah jauh berbeda; di mana persinggungan umat manusia dari latarbelakang kebudayaan dan agama yang beragam telah berlangsung begitu intens dan kompleks seiring dengan perkembangan zaman, ditambah lagi kenyataan bahwa Barat tak lagi merupakan sentral perkembangan iman Katolik tetapi Gereja justru berkembang denga pesat di Dunia Ketiga.
Maka dalam sejarah pun, akhirnya kita menemukan kekristenan yang secara berangsur-angsur berubah menjadi sebuah agama yang sarat dengan keterbukaan dari sebuah agama yang memiliki tradisi panjang intoleran dengan tendensi yang jelas pada totalitarianisme; sementara di sisi lain Islam sebagai sebuah agama dengan watak keterbukaan justru perlahan terdorong menuju praktek-praktek yang intoleran dan totaliter, bagai dijangkiti sebuah penyakit konservatif yang akut.
Dan inilah salah satu hal yang menggelisahkan seorang Ahmad Wahib. Sebagaimana ia sempat mencatat bahwa, ”Dalam gereja mereka, Tuhan adalah pengasih dan sumber segala kasih. Sedang di masjid atau langgar-langgar, dalam ucapan dai-dai kita, Tuhan tidak lebih mulia dari hantu yang menakutkan dengan neraka di tangan kanannya dan pecut di tangan kirinya”. Tuhan yang menyapa manusia dengan hukum, bukan dengan cinta kasih.
Tentu saja kita harus memaklumi potret suram dunia Islam di zaman ini, ketika fanatisme kian tumbuh subur dan merebak di berbagai belahan bumi. Di mana, di tanah air misalnya, kelompok-kelompok fundamentalis-literel bermunculan sebagai wajah galak yang lahir akibat konsekuensi dari sebuah komunitas yang merasa termarjinalkan (oleh hegemoni Barat) dalam berbagai aspek kehidupan sosial-budaya-politik global, dan karenanya cemas menerima titik balik peradaban: mereka yang gembar-gembor meneriakkan formalisasi syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bagi saya, di sini ada kemiripan antara sosok Ahmad Wahib dengan Ingmar Bergman, yaitu seseorang yang memahami ”Tuhan sebagai beban”. Seseorang yang dalam hidupnya di mana Yang Maha Kuasa diwakili sosok angker sang ayah yang keras, yang kerapkali mengurung Ingmar kecil di ruang gelap.
Maka, kita pun menyaksikan pergulatan yang tidak mudah itu dalam film karya sutradara terkenal putra seorang pendeta Lutheran Swedia ini, ”Fanny och Alexander” (1983). Di mana Tuhan yang hadir di sana boleh dikatakan ibarat tiran, dan kemudian menjelma menjadi kesangsian sebagaimana yang divisualisasikannya lewat filmnya yang lain: Der Sjunde Inseglet (versi Inggris, The Seventh Seal, 1957): sebuah film yang bercerita tentang seorang ksatria bernama Antonius Block, yang pulang dari Perang Salib ke negerinya yang sedang diserang wabah dalam keadaan letih, murung, iman terguncang-guncang dan merasa dibayang-bayangi Sang Maut yang serupa topeng putih.
Block pun berada di ambang murtad; ketika tak ada ”pengetahuan” yang dapat menjamin adanya Tuhan sebenarnya dan menanggungkan Tuhan sebagai obsesi. Karena itulah, di depan seorang perempuan yang dihukum bakar karena dituduh sebagai penyihir penyebar sampar, Block hanya tertarik pada persoalan adakah pada saat kematiannya wanita itu melihat Tuhan. Sang ksatria bergeming membawa air untuk si terhukum. Justru Jöns—pembantu setianya yang mengiringinya dari Yerusalem—yang tak beriman, yang punya belas kasihan.
Kisah di atas mungkin tidak berarti banyak bagi kita yang menerima warisan agama begitu saja lantaran terlahir dari sebuah keluarga ”adem-ayam”, tempat agama (dan iman) menjadi sesuatu yang begitu mapan di hati dan pikiran. Tanpa gemuruh ombak.
Tetapi toh, hal ini tidaklah berlaku bagi seorang Wahib, yang dalam masa hidupnya yang singkat dipenuhi dengan beragam kegelisahan atas "persoalan-persoalan pinggiran" yang—oleh sebagian umat Islam—dianggap telah selesai dan tidak layak diwacanakan kembali itu. Begitulah setidaknya dapat kita baca dalam catatan permenungannya yang dijemput nyala api pro-kontra cukup sengit tersebut. Di mana persoalan-persoalan yang diolah Wahib mendaraskan pemikiran-pemikirannya dan (bisa dikatakan) memposisikan dirinya sebagai—meminjam Greg Barton misalnya: "an almost desperate seeker of truth”.
Bagi Bergman, memang tidak mudah melepaskan “beban”-nya tersebut, ia harus meruntuhkan “superstruktur keagamaannya yang berat ke atas” untuk menemukan kelegaan. Sedangkan Wahib dalam pergumulannya, kita tahu, memilih mengambil sikap "berkelahi dengan-Nya", sebagaimana kisah Yakub dalam Kitab Kejadian; di mana pada akhirnya pergumulan tersebut tak lain semata-mata untuk memperteguh keimanannya kepada Tuhan. Bukan sebuah serangan membabi buta atas iman.
Atau dalam kata-kata Wahib sendiri dalam tulisan bertanggal 6 Maret 1970: "gerakan pembaruan adalah suatu gerakan yang selalu dalam keadaan gelisah, tidak puas, senantiasa mencari dan bertanya tentang yang lebih benar dari yang sudah benar, yang lebih baik dari yang sudah baik... Peninjauan kembali terus-menerus pada pikiran-pikiran yang sudah ada karenanya merupakan suatu keharusan".
Dalam hal ini, apa yang ditekankan Wahib barangkali bisa dikatakan sebagai ajakan kepada para pembaru Islam saat itu untuk menjadi apa yang pernah dibahasakan Julia Kristeva sebagai "subyek-dalam-proses". Atau meminjam penyair-esais Goenawan Mohamad, "bukan saja dalam arti subjek yang belum rampung, tetapi juga subjek yang berada dalam keadaan diadili".
Karena itu, ”Pergolakan Pemikiran Islam”, barangkali adalah teks terbuka yang menuntut penafsiran dalam rangkaian ulang tafsir terus-menerus. Yang menuntut kita untuk mencoba menyemarakkannya kembali dengan menambal sulam retakan-retakan gugusan gagasannya yang masih dalam proses itu. Merayakan seruannya tanpa henti melalui—apa yang disebut Mikhail Bakhtin—"praksis eksotopi".

Sebuah proses pencarian Islam
Sekali lagi, saya tidak tahu sejauh mana pengaruh semangat Konsili Vatikan II atas pemikiran-pemikiran Ahmad Wahib yang oleh golongon konservatif-literel dianggap telah ”keluar dari Islam” itu. Yang jelas, seperti yang kita tahu dari buku hariannya, selama di Yogyakarta misalnya, ia tinggal di asrama mahasiswa calon pastor (frater) Realino, bergaul akrab dengan orang-orang Katolik, bahkan memiliki dua orang ”bapa angkat” yang pastor, yaitu Romo H.J. Stolk, SJ dan Romo Willem.
Karena itu, tidak mengherankan bila dalam buku hariannya misalnya, ia menulis: ”Aku tidak tahu, apakah Tuhan sampai hati memasukkan dua orang bapakku itu ke dalam api neraka”.
Tentu saja kita mafhum, ini sebuah pandangan Teologi Inklusif yang kemudian dikembangkan oleh Nurcholish Madjid—seorang pembaru Islam lain di Indonesia yang notabene dikenal dekat dengan Wahib—sebagai sebuah pemikiran teologi yang bangunan epistemologisnya diawali dengan tafsiran al Islam sebagai sikap pasrah ke hadirat Tuhan yang menjadi karakteristik pokok semua agama yang benar, sebuah world view al Quran bahwa semua agama yang benar adalah al Islam, yakni sikap berpasrah diri ke hadirat Tuhan. Tuhan yang transenden, yang mengatasi ruang dan waktu, kekuasan dan pemahaman manusia. Bukan Tuhan yang ingin direduksi dalam pemahaman formal-literel, di mana ia diberlakukan bak berhala. Dan karena itu menentang esensi doa, sebab—mengutip Goenawan Mohamad dalam sebuah ”Catatan Pinggir”-nya di majalah TEMPO—”dalam doa, kita tahu kita hanya debu”.
Ini adalah sebuah sikap yang juga menjadi landasan pemikiran Konsili Vatikan II; setelah dunia Kristen mencoba belajar dari sejarah gelapnya sendiri yang panjang dan berlumuran darah: praktek Inquisisi, perang Katolik-Protestan, Perang Salib, permusuhan terhadap filsafat dan sains, dan banyak lagi, sehinggga menghasilkan sebuah pandangan baru tentang dunia non-Kristen, di mana pandangan tak ada keselamatan di luar Gereja (Nulla Salus Extra Ecclessiam) dan orang beragama lain adalah kafir dipertanyakan kembali secara kritis dan humanis.
Bagi saya, Islam dalam pemikiran Wahib adalah sebuah agama yang problematis dan menyimpan sejuta tanda tanya. Ia dengan ekstrem menyoalkan dan mempertanyakan Islam yang oleh kalangan lain dianggap sebagai solusi, agama yang sempurna. Dalam pembacaan saya yang terbatas terhadap pemikiran Wahib, agaknya ada dua hal yang menurutnya menjadi problematika Islam. Pertama, problem yang berasal dari sumber primer Islam sendiri. Yaitu beberapa ajaran Islam, yang oleh Wahib tanpa segan-segan dikatakan jelek, tidak lebih baik dari sejumlah ajaran segelintir manusia. Tentu saja ini adalah sebuah pemikiran yang sangat berani. Karena mengatakan Islam memuat ajaran jelek sama saja dengan menantang doktrin keagamaan yang telah dianggap final. Yang baginya justru sebaliknya: bahwa ajaran Islam tidak final, namun perlu ditinjau kembali. Dan karena itu diperlukan akal bebas untuk memahami al-Quran dan Sunnah sehingga hakikat Islam dapat ditemukan. Berislam tidak cukup hanya dengan pemahaman harfiah, akan tetapi butuh pembacaan kritis terhadap monopoli tafsir terhadap Islam.
Sedangkan masalah kedua yang dimiliki Islam, menurut Wahib berasal dari luar, yaitu vakumnya tradisi filsafat dalam Islam. Kevakuman ini baginya telah menyebabkan lahirnya keislaman yang statis. Di mana sikap kita yang tidak berjarak pada doktrin keagamaan telah memunculkan “pemerkosaan” terhadap teks-teks keagamaan, yang pada gilirannya mencetak Muslim emosional.

Mengurai sejarah Nabi, menuju Islam Kontekstual
Ah, membaca Wahib, kita pun jadi teringat pada Polemik Sastra Kontekstual 1980-an, di mana para intelektual kita kembali mempermasalahkan orientasi nilai bangsa yang hendak dilepas apabila ingin masuk ke dalam modernitas: Barat atau Timur? Persoalan mana yang sebenarnya telah diperdebatkan sejak paruh 1930-an. Dalam kasus ini, para pengusung sastra konstektual menolak sastra universal yang dipandang berdasarkan tolak ukur sastra dunia; sastra yang tak terikat waktu dan ruang. Karena bagi kaum kontekstualis, sastra unversal tidak ada, kecuali sebagai kedok ideologis sastrawan yang hendak bergabung dengan kelas dominan. Yang ada hanyalah sastra kontekstual, yaitu sastra dengan muatan kesadaran kelas yang terikat pada golongan pembaca tertentu.
Wahib, menurut saya juga seorang penganjur konstektualisme, tentu saja dalam bentuknya yang juga berbeda. Karena—meminjam Nirwan Dewanto—setiap pembacaan atas teks keagamaan (Quran, Hadis) pada dasarnya adalah upaya menyingkap konteks yang melahirkan teks-teks tersebut, mencoba membongkar kuasa dan sejarah yang membuat tafsir hari ini membelenggu kita sebagai pembaca. Yang dalam hal ini, saya kira, kita akan menemukan sebentuk studi filologi yang membuat teks penuh dengan paradoks, yang mampu menggerakkan nalar dan kreativitas. Karena itulah, menurut Wahib, Islam telah dan harus diterjemahkan kepada konteks budaya setempat secara produktif, penuh analitis dan kreatif dengan sikap sebagai seorang manusia yang merdeka.
Maka ia pun mencoba menafikan Al-Qur’an dan Hadis sebagai dasar Islam. Di mana menurutnya sumber-sumber pokok untuk mengetahui Islam atau katakanlah bahan-bahan dasar ajaran Islam, bukanlah Qur’an dan Hadis melainkan Sejarah Muhammad. Bunyi Qur’an dan Hadis adalah sebagian dari sumber sejarah dari sejarah Muhammad yang berupa kata-kata yang dikeluarkan Muhammad itu sendiri. Sumber sejarah yang lain dari Sejarah Muhammad ialah: struktur masyarakat, pola pemerintahannya, hubungan luar negerinya, adat istiadatnya, iklimnya, pribadi Muhammad, pribadi sahabat-sahabatnya dan lain-lainnya.
Di sinilah, Wahib mencoba memahami teologi yang antrophosentris sekaligus teleologis, yang mengajarkan tentang manusia, sejarah dengan tujuannya. Di mana sekularisasi dilihatnya sebagai suatu realitas sosiologis tak terelakkan dan proses sejarah yang terus berkesinambung. Maka pembaharuan baginya haruslah bertolak dari manusia itu sendiri (masyarakat). Masyarakat harus menjadi mitra dialog utama dalam setiap pembaharuan Islam yang ditujukan bagi mereka.
Pada sisi lain, Ahmad Wahib memang memandang Islam sebagai agama merupakan sesuatu yang statis, abadi dan universal, yaitu Islam dalam artian sebagai Islam das Sollen atau Islam yang seharusnya, yang pada taraf ini ia adalah Islam yang sempurna, Islam yang ”shalih likulli al-zaman wa al-makan”, Islam yang memadai di mana dan kapan pun. Tetapi kesempurnaan Islam yang dimaksud Ahmad Wahib ini adalah Islam yang menjadi sumber moral yang mampu menggugah dan menerangi jiwa manusia. Bukan Islam barang jadi siap pakai, bukan pula Islam yang secara detail mengatur tingkah laku dan mengatur hukum-hukum kehidupan. Ia hanyalah titik tolak bagi munculnya berbagai perilaku dan hukum yang terbentuk menurut historical setting suatu masyarakat pada waktu dan tempat tertentu.
Karenanya, Islam semacam ini lebih kepada suatu model ideal, yang aplikasi terhadapnya harus disesuaikan dengan kehidupan manusia yang meruang dan mewaktu. Maka, menjalankan Islam sebagaimana masa lampau hendak dikaji ulang, kemodernan (baca: kontemporer) dalam menjalankan agama harus terus-menerus dipertimbangkan kembali. Dari sini nilai-nilai dan sistem Islam yang lama dianggap usang dan perlu diperbaharui. Agama dianggap tidak bermakna apa-apa jika pemahaman atasnya tidak diberangkatkan pada yang kontekstual (menyejarah). Bahkan pada taraf tertentu agama dibedakan dari praktik pergulatan antar manusia (sekularisasi).
Dengan dasar pemahaman seperti inilah, Wahib meyangsikan bahwa manusia akan menemukan Islam sebenar-benar Islam, atau Islam menurut pembuatnya sendiri, menurut Allah. Lantaran bagaimana pun kita adalah makhluk profan, yang meruang dan mewaktu, sedangkan Tuhan dan kalam-Nya adalah suatu hal yang transendental. Dengan demikian dalam dunia, manusia hanya mampu mendekati Tuhan dan mendekati Islam yang sejati itu, bukan meraihnya. Bentuk finalitas Islam dalam al Quran dan Hadis bukanlah Islam itu sendiri, sebab al Quran dan Hadis secara material merupakan hal yang profan juga, hasil sintesa problem kemasyarakatan dan respon umat dalam ruang dan waktu tertentu—meskipun dalam al Quran dan Hadis termuat nilai-nilai tertinggi (ultimate values) yang immortal sepanjang zaman dan berlaku di segala tempat. Tentunya, apa yang kita anut selama ini bukanlah Islam dalam pengertian Islam menurut Tuhan, melainkan Islam yang menyejarah, Islam versi kita.
Tetapi apa yang transenden dan yang ideal tersebut tentu saja harus terus-menerus didekati, dan dipikirkan cara mendekatinya. Memikirkan dan berusaha terus-menerus untuk mendekati yang transenden ini seyogyanya adalah tugas kemanusiaan sesuai fitrah kita. Namun karena batas yang tak diketahui, maka akal pun dituntut untuk berpikir sebebas-bebasnya dalam menafsirkan apa yang ideal dan transenden itu, untuk memungkinkan kontektualisasinya di dunia profan. Di sinilah, pada medan penafsiran, kita memperoleh bagian kita.
Dari pemikiran Ahmad Wahib ini, tampak jelas kalau ia hendak melakukan penegasan bahwa ada perbedaan antara agama dan konseptualisasi terhadap agama, ada perbedaan antara Islam dan pemikiran-pemikiran terhadapnya. Tetapi kesadaran seperti inilah yang kerapkali tak dimiliki oleh kebanyakan kaum Muslimin, sehingga mereka cenderung menganggap bahwa apa yang mereka pahami, itulah pemahaman menurut Tuhan.
Padahal kita tahu, kalau Wahyu turun berdasarkan historical setting. Dalam proses pencarian ”seorang anak Quraisy” yang cemas, takut sekaligus penuh kerinduan, kasmaran... Hal mana yang bagi kita di zaman ini, dapat juga berarti bahwa setiap pribadi, sesuai dengan keunikannya-lah yang sesungguhnya berhak menentukan dan menafsirkan ketentuan-ketentuan Tuhan bagi dirinya sendiri, di mana Aqidah, syari’ah, dan moralitas menjadi private concern.

aku telah nemukan jejak
aku telah mencapai jalan
tapi belum sampai tuhan

berapa banyak abad lewat
berapa banyak arloji pergi
berapa banyak isyarat dapat
berapa banyak jejak menapak
agar sampai padaMu?

Paling tidak demikianlah Sutardji Calzoum Bachri, presiden penyair itu meneriakkan puisinya di atas mimbar setelah meneguk bir sebagai sebentuk proses pencarian dan kerinduannya pada Tuhan. Kata-kata itu meluncur deras dari mulutnya serupa zikir. Tentu saja, tak setiap dari kita bisa dan siap menerima bahwa ini adalah sebuah refleksi iman. Namun saya harus bersepakat dengan Goenawan Mohamad, kalau kegelisahan dan kerinduan—pun sebagaimana yang diamalkan oleh Sutardji—memang sulit untuk betah dengan peta yang tersedia. Amir Hamzah misalnya, melukiskan hubungannya dengan Tuhan sebagai ”bertukar tangkap dengan lepas”. Menurut saya, inilah ijtihad; penafsiran yang berbeda-beda atas pedoman sesuai dengan tuntunan hati nurani setiap pribadi manusia—seperti yang dimaksudkan oleh Ahmad Wahib!
Karena itu, saya harus memaklumi kalau bagi seorang Sutardji dan Amir Hamzah, agama bukanlah semacam ”tasik dengan riak yang tenang”. Tuhan, memang bisa dijinakkan dalam aqidah, rumusan hukum, suntikan doktrin, tetapi toh, ia sesungguhnya tak akan pernah bisa dikerangkeng untuk tidak menemui kekasihNya yang majenun! Lewat pelbagai ragam cara dan rupa. Tingkah pola dan gaya. Pro eccelessia et creatio!***

Gaten, Yogyakarta, Maret 2008




Friday, April 4, 2008

cerpen


Iblis
Sunlie Thomas Alexander


APAKAH waktu memang sudah membeku? Atau masih terus bertetesan seperti jam pasir? Apakah di luar sana dunia sudah berganti abad baru?

Ia mengintip dari kegelapan. Tak tampak apa-apa olehnya selain kepekatan yang menghampar. Malam seperti mengambang. Tapi ia tahu, di atas langit sana, bulan sedang penuh, tergantung seperti lentera. Dapat ia rasakan pancaran wibawanya, sebagaimana ia mengendus aroma busuk para makhluk liar dari alam tak kasat mata yang berabad-abad bersekutu dengannya. Juga para makhluk haus darah lain yang selalu berkeliaran di bawah terang purnama.

Ia mengusap wajah, bahu, dan kedua lengannya. Hm, masih saja mulus seperti dulu. Seperti malam itu, ketika tubuh sintal ini dipinjamnya di sebuah kedai kecil yang terletak di pinggiran kota. Kedai kecil yang hingar-bingar dengan musik, senantiasa ramai disinggahi lelaki-lelaki picisan berlagak koboi entah dari mana dan gadis-gadis belia yang tak pernah betah di rumah.

Malam yang celaka! Ia ingat benar bagaimana pemburu terkutuk yang membawa-bawa nama Tuhan itu menjebaknya dengan gambar Kunci Solomo. Ah, seharusnya ia tahu, malam itu ia tak perlu datang menanggapi panggilan di pertigaan jalan. Ia keliru kalau berpikir bahwa tubuh yang molek dan ranum ini bisa memperdaya si pemburu. Ia begitu yakin saat itu, entahlah. Padahal semestinya ia lebih waspada.

Diketuk-ketuknya dinding goa yang lembab. Tapi yang terdengar hanyalah gema berkepanjangan melewati gorong-gorong bercecabang di antara sesuara riak air di balik dinding. Terdengar berirama seperti sebuah lagu yang mengalun.

Begitulah. Barangkali ia memang terlalu meremehkan si pemburu. Tapi lantaran rasa angkuh atau dendam, ia justru begitu girang ketika menerima panggilan yang lamat-lamat dihantar angin malam itu. Ia berpikir itulah waktu yang tepat baginya untuk memusnahkan si pemburu setelah bertahun-tahun. Ya setelah bertahun-tahun ia dan kaumnya, peranakan cahaya yang lahir dari pancaran sang Bintang Fajar, merasa dipermalukan. Diperlakukan layaknya binatang buruan. Tapi lelaki separoh baya itu ternyata begitu licin, Kawan! Seperti ular tua di reranting pohon apel itu...

Tentu ia ingat kisah penciptaan. Waktu baru terbentuk, ruang baru terbentuk, juga udara, suara dan cahaya. Setelah menjadikan benda-benda, yang bernyawa dan tak bernyawa, Tuhan pun menjadikan manusia dari debu tanah yang kotor, menurut bayang-bayang-Nya sendiri yang dipantulkan cermin semesta. Hanya para malaikat yang bersenandung riuh, meniup nafiri purba. Sang Bintang Fajar menolak debu-debu kotor itu ditempatkan dalam kemuliaan Taman Eden, konon lantaran ia tahu keturunan sang manusia hanya akan membuat kerusuhan. Tuhan murka dan melemparkannya ke jurang maut, ke dasar kegelapan. Sang Bintang Fajar pun melesat jatuh seperti meteor, namun tersangkut di reranting pohon apel pertama di tepi taman itu lalu menjelma ular tua yang sangat berbisa.

Ia ngungun, masih menyimak suara riak air dari kegelapan. Satu-satunya suara paling setia yang menemaninya, seperti mengalir dari masa silam. Dari hulu waktu, dan bermuara entah di mana.

PASTI bakal mudah baginya mengalir keluar seperti air atau menguap seperti embun, jika saja sekeliling goa keparat ini tak ditaburi garam dan belerang, dua unsur alam yang entahlah, seolah memang ditakdirkan kosmos menjadi lawan segala kejahatan. Ya, kalau saja pada langit-langit goa di atas kepalanya tak ada gambar Kunci Solomo yang celaka. Ah, terkutuklah pengetahuan alkemi dan geometri yang telah membuat kekuatannya yang mengatasi ruang dan waktu laksana kabut tersapu hangat sinar matahari!

Ia menggerutu, kembali mengenang malam celaka di pertigaan jalan yang lengang itu, tak jauh dari kedai kecil. Ia muncul seperti bayangan di belakang si pemburu. Menyapanya dengan lembut. Pemburu terkutuk itu tampak agak kaget, mungkin tak menyangka ia akan muncul sebagai sesosok gadis belia yang begitu rupawan. Tapi hanya beberapa saat. Pemburu itu kemudian menatapnya tak berkedip, penuh kebencian. Ia tak gentar. Perlahan dihampirinya lelaki separoh baya itu dengan langkah ringan. Ia begitu yakin pemburu itu tak bakal menang. Bukankah saat itu tepat pukul tiga dinihari? Ketika jarum jam sedang berada pada posisi terbalik dengan waktu penyaliban Putra-Nya? Saat kekuatan gelap, kekuatan mereka yang sedingin ruang hampa tengah mencapai puncaknya...

Ia mondar-mandir di pelataran goa. Terkesiap ketika sesayup menangkap lagi suara lolongan sedih. Lolongan yang seolah-olah datang dari dasar kegelapan, dari sebuah tempat yang begitu jauh sekaligus seolah berasal dari dalam tubuhnya sendiri. Tentu ia segera mengenali suara lolongan pilu itu sebagai lolongan anjing kesayangannya. Anjing tanpa wujud yang ratusan tahun bersetia mengikutinya, menjemput jiwa-jiwa yang terjanjikan untuknya. Jiwa-jiwa yang tolol dan malang, yang berteriak-teriak tak mau mati ketika dijemput. Tapi mereka pulalah yang memanggilnya, mengadakan perjanjian dengannya pada malam-malam bulan mati di pertigaan jalan itu. Ia tidak ingat berapa jiwa yang telah diambilnya dari waktu ke waktu. Dari abad ke abad. Di berbagai tempat.

Bertahun-tahun ia memang selalu muncul ke pertigaan jalan yang lengang itu dalam beragam rupa. Memenuhi setiap panggilan. Membuat kesepakatan dengan orang-orang yang datang ke sana dan meletakkan selembar foto ke dalam kotak kayu berisi tulang-belulang binatang.

Ah, kota kecil itu hanyalah sebuah kota persinggahan. Begitu banyak orang yang bertandang dari berbagai penjuru dan pergi ke berbagai penjuru lain. Tentu, sekadar tinggal satu-dua malam kemudian meneruskan perjalanan entah ke mana. Tapi sebagian musafir itu mampir ke kedai untuk menghabiskan malam dengan beberapa botol bir atau secangkir kopi, menikmati musik dan bercengkrama dengan pelacur-pelacur belia. Begitulah pemilik kedai kecil itu menghidupi dirinya. Aha, ia lelaki kulit hitam, sudah tua tapi penuh humor. Ia terus mengenang.

Ia sendiri datang ke kedai kecil itu sebagai seorang pelaut separoh baya, tepatnya meminjam tubuh seorang pelaut lusuh yang telah lelah berlayar. Mereka senang mendengarkan bualannya dan membelikannya bir. Setiap malam ia selalu berceloteh kepada mereka, menuturkan beragam kisah petualangan sampai yang paling tak masuk akal. Para musafir itu tertawa terbahak-bahak, kadangkala terpukau takjub.

Tak lama kemudian mulailah beredar sebuah cerita: apabila kau datang ke pertigaan jalan lengang tak jauh dari kedai itu sekitar pukul tiga dinihari saat bulan mati dan menguburkan fotomu bersama tulang-belulang binatang dalam sebuah kotak kayu tepat di tengah-tengah pertigaan, maka akan muncullah seseorang--katakanlah seorang gadis atau pria muda yang rupawan atau bisa jadi seorang tua berwajah arif-bijaksana--yang bakal mengabulkan permintaanmu...

Tahun demi tahun pun berlalu.

KEMBALI ke malam yang celaka ketika ia masih menatap pemburu jahanam itu. Tepatnya, mereka saling menatap. Seolah saling mengukur kekuatan dan menebak pikiran masing-masing. Ia tersenyum tipis ketika menangkap kegelisahan di hati si pemburu. Ia mencoba membaca pikiran lelaki separoh baya itu, tapi si pemburu buru-buru menghalau usahanya dengan melafazkan doa-doa. Mungkin Bapa Kami atau Salam Maria, ia tak tahu. Dengan sabar, ia menunggu lelaki itu lengah.

"Apa kau datang kemari untuk mengadakan perjanjian denganku?" ia bertanya dengan suara kenes, "Atau hendak membunuhku?"

"Aku akan mengirimmu kembali ke neraka!" desis pemburu itu menatapnya tajam. Tapi nada suara lelaki itu terdengar bimbang. Ia menyeringai, menjilati bibirnya yang merah basah. Didengarnya detak jantung lelaki itu tak beraturan. Disibaknya rambut panjangnya dengan gerakan halus hingga lehernya yang putih jenjang terbuka menggoda.

"Dengarlah, aku tahu hasrat yang tersimpan di hatimu," ia berbisik lembut. Lelaki itu hanya diam. Udara demikian dingin.

"Aku bisa membawa anak-isterimu yang sudah mati hidup kembali," ia membujuk-rayu. "Kalau kau mau, kalian bisa berkumpul lagi..."

"Aku tidak akan tergoda, Pendusta!" rahang pemburu itu tampak mengeras.

"Aku tidak bohong. Kau tahu, aku bahkan bisa merasuki Sang Maut," ia mulai melangkah mendekati lelaki itu. Si pemburu tak bergerak, tapi tetap waspada. Ia tahu, di balik jaket kulitnya, pemburu itu menyimpan senjata api dengan peluru-peluru yang sudah direndam air suci. Tapi si pemburu tak bakal berani menembak tubuh gadis yang dikenakannya.

"Bagaimana?" ia mengulum senyum. Kedua mata pemburu itu membesar. Ia merasa hati pemburu itu sedikit goyah.

"Aku tetap akan memaksamu kembali ke neraka," si pemburu menggeram. Ia tertawa tergelak, hingga payudaranya yang tak sepenuhnya tersembunyi di balik gaun berleher rendah tampak berguncang. Jaraknya dengan lelaki itu kian kecil.

"Kau bisa saja melemparkanku ke neraka, tapi dengan mudah aku bisa keluar lagi," ia berkata, dan setiap langkah yang dibuatnya membuat pinggulnya bergoyang lembut, "Jadi pikirkanlah..."

"Tinggalkan tubuh gadis ini, atau...," pemburu itu tidak meneruskan kata-katanya.

Ia merasa kedua mata lelaki itu tertuju pada belahan dadanya yang membusung.

"Atau kau akan menyiramku dengan air suci? Menyemburku dengan garam? Atau kau tega menembak gadis cantik ini?" ia menyeringai. Merasa di atas angin. Kini ia telah berdiri begitu dekat di hadapan lelaki itu, jarak tubuh mereka tak lebih dari satu jengkal. Dapat dirasakannya deru nafas si pemburu yang tidak beraturan.

"Kalian manusia diciptakan untuk memilih," ia mengulum senyum nakal, "Dan aku memberimu pilihan."

Lelaki itu tidak menjawab, tapi menoleh ke jurusan lain lalu mendongak ke langit yang muram. Ia sudah tahu bakal mendengar pertanyaan itu. Ya, ia sudah tahu. Pertanyaan yang mungkin telah lama tersirat di hati si pemburu, yang melahirkan kebimbangan.

"Berapa lama kau beri aku waktu kalau aku terima tawaranmu?" suara si pemburu seperti tercekat. Aha! Ia tersenyum penuh kemenangan. "Sepuluh tahun, Sayang. Sepuluh tahun untukmu berkumpul dengan anak-isterimu. Cukupkah?"

Pemburu itu menatapnya dalam-dalam. Ia mengulurkan tangan. Dirabanya dada bidang lelaki itu dengan jari-jemarinya yang lentik, terasa benar degup jantung yang mengencang, terasa benar hati yang bimbang. Si pemburu tak berusaha menepis tangannya.

"Aku juga akan memberimu hadiah tubuh ranum ini," ia meliuk, hendak memeluk tubuh lelaki itu, tapi sekonyong-konyong tawa si pemburu pecah.

"Kau terjebak, Iblis!" si pemburu mencekal lengannya. Ia tersentak kaget, mencoba melepaskan tangannya tapi tenaga lelaki itu tiba-tiba begitu kuat. Ia terbelalak ketika memandang ke bawah. Di atas tanah, tepat di mana mereka berdiri, samar-samar tampak tergurat sebuah gambar bintang segi enam dengan dua lapis lingkaran di bagian tengah. Tentu, tentu ia segera mengenali perlambang yang tampak dibuat tergesa-gesa dengan sebatang ranting itu.

Sekujur tubuhnya lemas tiba-tiba.

APAKAH waktu bakal tetap mengeras seperti batu? Atau mulai meleleh lalu mengalir lagi serupa air, serupa darah. Atau, bukankah kadangkala pula waktu muncrat seperti semburan gas dari kedalaman tanah?

Lolongan anjing yang panjang memilukan itu masih terdengar. Kini semakin mencekam. Seperti mencabik-cabik perasaan siapa pun yang mendengarnya, membuat ciut nyali yang paling garang. Ia menyeringai kecil, merasa saatnya akan segera tiba. Tak lama lagi. Pemburu terkutuk itu mungkin sudah mati, tapi akan diburunya keturunan lelaki keparat itu biarpun tersebar di seluruh muka bumi.

Anjing setia itu terasa olehnya berada tak jauh darinya. Mungkin berkeliaran di sekitar goa. Atau mendekam di sebuah tempat menunggu saatnya tiba, sambil memberinya lolongan pilu setiap malam sebagai isyarat penanda. Mungkin anjing itu juga tak sabar lagi seperti dirinya. Sudah berapa lamakah binatang yang haus darah itu tak mencicipi darah segar korbannya?

Ia ingat pada jiwa terakhir yang ia ambil melalui anjing itu. Seorang pria santun bertampang tikus yang mabuk kasmaran pada seorang gadis pegawai toko bunga. Cintanya tak bersambut, dan pria itu bergegas menanggalkan iman yang dirawatnya susah payah dengan setiap minggu mengunjungi gereja, dan memanggilnya. Tentu, sekali lagi, cukup dengan selembar foto dan tulang-belulang binatang yang dimasukkan ke dalam kotak kayu lalu ditanam di pertigaan jalan itu. Seperti cinta dan benci yang menyatu. Dengan memelas, pria itu memohon pertolongannya untuk mendapatkan si gadis. Tak sulit baginya mengabulkan permintaan semacam itu. Sebulan kemudian pria tikus itu sudah mempersunting wanita pujaannya.

Ya, betapa ia akan selalu mengenang pertigaan jalan yang lengang itu, mengingat orang-orang malang yang bertandang di dinihari lalu menunggunya dengan harap-cemas di sana. Biasanya ia akan mengintai calon-calon korbannya terlebih dahulu sebelum muncul begitu saja seperti hembusan angin. Kau tahu, tentu ada kenikmatan tersendiri mengamati wajah-wajah gelisah tak sabaran para calon penghuni neraka itu. Menyaksikan mereka mondar-mandir dengan gugup, antara takut dan nekad.

BEGITULAH dulu. Sebelum waktu yang membeku di goa celaka ini mengurungnya. Ah, mungkin sebagian dari korbannya bukanlah orang-orang yang pantas masuk neraka. Mereka adalah orang-orang baik: pria-pria yang budiman, gadis-gadis yang lugu. Tapi Tuhan, Sang Maha Kuasa, kau tahu, kadangkala memang suka mengelak dari takdir yang dijatuhkan-Nya sendiri. Dan manusia justru sempurna karena kelemahannya menahan goda, namun beberapa di antaranya larut ke dalam uji-coba. Demikian ia kerap berwejangan, menghasut mereka.

Ya, ia mengingat betul sejumlah korban terakhirnya: seorang pemain blues yang tak kunjung diakui, seorang dokter muda yang dipecat dari rumah sakit karena membantu korban perkosaan menggugurkan kandungan, seorang remaja yang diusir orangtuanya dari rumah. Bahkan seorang padri. Betul, seorang pastor yang merasa diremehkan umat.

Ah, sebenarnya apalah beda seorang padri dan awam baginya? Bukankah seorang awam seperti pemburu terkutuk itu pun bisa membuat air suci dari keyakinan iman?

Diketuk-ketuknya dinding lembab goa yang merapuh. Anjing itu kembali melolong sedih di kejauhan. Agaknya waktu pelan-pelan memang mulai mencair, ia yakin. Ia mendongak ke langit-langit goa, melihat gambar Kunci Solomo di atas kepalanya yang tampak semakin pudar. Tubuhnya terasa kian segar, agaknya kekuatannya mulai kembali padanya. Tentunya taburan garam dan belerang di sekeliling goa celaka tempat ia disergap ini kian habis menguap. Ia akan segera keluar untuk membalas kekalahan. Dadanya berdebar, menunggu waktu sepenuhnya mencair lalu mengalir lagi.

Terakhir kali, masih sempat dikenangnya bagaimana pemburu terkutuk itu mengikat tangan-kakinya dengan tali yang basah terendam air suci lalu memasukkannya ke dalam sebuah karung dan membawanya kemari, sebelum tiba-tiba ia mendengar suara-suara bergemuruh. Ah, batu-batu berhamburan jatuh dari langit-langit goa yang runtuh! Suara lolongan anjing itu terdengar panjang melengking. Samar-samar, sekilas, dilihatnya bayangan bulan yang pucat pasi. Ketika angin kencang berhembus masuk ke dalam goa, serupa embun dirinya yang menguap perlahan-lahan... Ia tertawa hingga seluruh dinding goa bergetar keras dan batu-batu besar-kecil berjatuhan.

Ia tak tahu agaknya, kalau di luar sana ia akan segera berhadapan dengan pemburu-pemburu yang baru. Tapi sebagian di antaranya tak lagi membawa nama Tuhan. Apakah kau juga termasuk salah satu?

Malam begitu dingin. Langit seperti menggigil.***

Gaten, Yogyakarta, 2007-2008


Catatan
Bintang Solomo, bintang segi enam mirip Bintang Daud atau pentagram, yang konon dipercayai merupakan perangkap bagi iblis. Di dalam dua lapis lingkaran bagian tengahnya seringkali ada gambar kalajengking.

Bintang Fajar adalah sebutan untuk Lucifer (nama penghulu Iblis dalam tradisi lama Gereja). Kata "Lucifer" ini digunakan oleh Jerome di abad keempat ketika menerjemahkan Vulgata (Alkitab Latin) dari bahasa Ibrani. Heylel (Ibrani) adalah Bintang Timur alias planet Venus, sedangkan Ben Syakhar adalah Putra Fajar. Terjemahan bebas kitab Yesaya 14:12 dalam bahasa Latin itu berbunyi, "Wahai engkau jatuh dari langit Bintang Timur, Anak Fajar! Engkau dibuang ke bumi, di mana engkau mengalahkan bangsa-bangsa."