Tuesday, January 5, 2010

Esei Pendek

KOTA, SEJARAH, NOSTALGIA

Sunlie Thomas Alexander, Periset Parikesit Institute, Yogyakarta



SETIAP kota tentu mempunyai riwayatnya. Yang getir, penuh haru-biru, heroik, maupun samar seperti kabar angin sesayup sampai. Ketika melihat foto lama sebuah kota misalnya, tentu beragam “perasaan” bisa hadir. Sebagian kita yang memiliki ikatan emosional dengan kota tersebut bakal terbuai nostalgia: kenangan manis, pun ingatan sedih. Namun bagi yang tak punya tautan batin, selembar potret masa silam mungkin saja tetap menggelitik.

Selalu ada daya puitis yang melambungkan imaji kita dari sepotong kesilaman itu. Di mana seolah kita diajak kembali menjenguk ruang yang tak lagi ada, atau membezoek sebuah tempat lain yang pernah dikenal.

Hal itulah yang agaknya saya alami ketika membaca biodata Nio Joe Lan dalam “Sam Kok: Puncak-puncak ‘Kisah Tiga Negara” (KPG, 2004). Yang mana dalam teks “lahir pada 1904 di Paalmerah, Batavia, dan meninggal di Jakarta pada 1973” itu, saya merasa menemukan sesuatu yang lucu sekaligus melankolis menggugah. Ada semacam ketegangan mesra, atau kemesraan yang tegang, tertangkap di sana. Berkelindan di antara jejak masa lalu dan wajah hari ini, juga bayang-bayang masa depan.

Tentu saja siapa pun mafhum, Batavia dan Jakarta adalah satu kota yang sama. Tetapi membaca biodata Nio Joe Lan, kita seolah sedang mendedah dua kota. Seakan Batavia memang sebuah kota lain, dan Jakarta adalah kota yang berbeda pula. Padahal antara dua nama tersebut, kita tahu, yang terbentang hanya jarak kurun waktu. Sebuah perangkap sang kala.

***

DALAM sejarah, kota-kota memang kerap berganti nama. Konstantin Nopel jadi Istanbul, Saigon jadi Ho Chi Minh City, St Peterburg menjelma Leningrad lalu mengenakan lagi nama kunonya, Peking bertukar cara penulisan dalam aksara latin menjadi Beijing, dan Ujung Pandang dikembalikan jadi Makassar. Tapi selalu ada yang tertinggal. Jejak sejarah yang tak pernah jadi jenazah. “Biarpun Paris berubah, tapi tak setitik pun melankoliku pergi,” ungkap Baudelaire lewat salah satu sajaknya dalam “Les Fleurs du mal”.

Di sini, saya pun terkenang pada Sitor Situmorang dalam sebaris puisinya “Paris-Janvier” yang berbunyi “di udara dingin mengaum sejarah.” Sejarah jadi sesuatu garang, bikin gentar seperti auman singa. Ia seperti terus menerus mengintai para penghuninya, para pendatang baru, atau sekadar seorang pelancong yang singgah. Membuat para turis terpukau-takjub pada masa lampaunya yang eksotik dan agung. Inilah wajah sebagian besar kota-kota di Eropa. Jejak gedung-gedung tua; kastil, katedral, museum, juga patung, jalan dan jembatan seolah berhasrat kekal. Kota-kota di Eropa memang memiliki sejarah begitu hibuk, yang sepertinya tak lengang oleh waktu, tak malu bersanding mesra dengan modernitas dan luwes menyongsong perkembangan.

Dalam hal ini, kita melihat bagaimana masa lalu diberi penghargaan tinggi dan sejarah dianggap sesuatu yang bernilai. Bisa jadi karena kesilaman itu dimaknai sebagai simbol kewibawaan sebuah kota, bahkan sebuah negara-bangsa. Sejarah dipandang sebagai fondasi peradaban, hancurnya fondasi berarti runtuhnya peradaban. Karena itu, gedung-gedung tua di Eropa—yang diberi fasilitas modern dan berganti fungsi—harus tetap terjaga sebagai bagian dari keagungan budaya, juga kejayaan politik-ekonomi. Orang-orang Perancis menjaga lanskap sejarah Paris demikian rupa dengan mengembangkan kota supermodern di tepi kota tua yang menjadi pusat mode dunia itu.

Tetapi orang Jepang telah mengajari dunia, bagaimana sepotong kesedihan, sebuah luka mendalam, tak melulu kejayaan, juga mesti dirawat. Monumen Hiroshima sengaja dijadikan tugu peringatan kemanusiaan (tragedi). Pada puing gedung menghitam yang dibiarkan tetap tegak itu kita dapat melihat sebuah Hiroshima yang lain. Hiroshima lama yang hangus oleh bom atom. Monumen itu menjadi jejak kekalahan, mungkin juga jejak kesalahan Jepang dalam sejarah.

Bagi sebagian kita orang Indonesia, mungkin sebagian penduduk negeri Dunia Ketiga, barangkali sulit memahami betapa sebuah jalan kecil di Eropa bisa tetap terpelihara baik nyaris seperti berabad-abad silam. Atau di sejumlah kota negara Timur Tengah, masa lalu seakan lebih luhur dari masa kini yang muram. Di mana modernitas begitu tegang, terutama bagi kelompok-kelompok Islamis yang frustasi pada nasionalisme, kapitalisme dan sosialisme sehingga merindukan bangkitnya Khilafah Islamiyah.

***

SEBAGAI ruang kebudayaan yang dilahirkan melalui proses politik, kota-kota modern seyogyanya adalah konsekuensi logis dari kapitalisme yang ekspresif secara sosial dan fisik, yang dihidupkan dengan kuasa modal. Jadwal ditetapkan, rencana disusun dalam optimisme, usaha tanah dan bangunan terus dikembangkan. Dengan begitu, ia pun menjadi semacam antitesis dari pedesaan, konsentrasi publik yang dianggap lamban, asri, santun dan bersahaja. Maka dalam sajak Rendra “Rick dari Corona” contohnya, kita menemukan bagaimana wajah megapolitan New York digambarkan “keras dan angkuh, dingin dan teguh”. Gambaran jahat, licik, brutal, ambisius, tamak, penuh kompetisi muncul sebagai stereotipe perkotaan.

Kota adalah mimpi kesuksesan dan dunia gemerlap. Di sini, modernitas pun diwakili kehidupan kaum urban. Ditandai lanskap para pencari kerja yang saban tahun terus membanjiri kota-kota besar pusat perdagangan-industri. Dengan demikian, kota menjadi identik dengan kepadatan dan hiruk pikuk. Sesuatu yang jadi potret lumrah kota besar sejak awal abad 20, sebuah problematis jaman modern. Kota pun menjadi latar yang mencatat migrasi besar-besaran umat manusia, kedatangan dan kepergian; ia menjadi sebuah stasiun transit dan ruang peralihan sekaligus sebuah jendela yang terbuka pada segenap khazanah kebudayaan dari ragam penjuru. Urbanitas adalah sebuah gaya kebudayaan baru dengan persoalan paling kompleks, yang menformat dan diformat oleh kota yang menghidupi dan dihidupinya.

Jika hari ini kita melihat wajah Jakarta yang semrawut, macet dan berdebu, yang selalu terendam banjir setiap musim hujan tiba sehingga para penduduknya—kaum urban yang malang—mesti mengungsi, siapa yang salah atau harus disalahkan?

Selama masa jabatannya 1966-1977, Gubernur DKI Ali Sadikin telah mencoba mengubah Jakarta jadi metropolitan baru. Di bawah pimpinannya, Jakarta mengalami banyak perubahan dengan proyek-proyek pembangunan seperti Taman Ismail Marzuki, Kebun Binatang Ragunan, Proyek Senen, Taman Impian Jaya Ancol, Taman Ria Monas, Taman Ria Remaja, Kota Satelit Pluit, dan sebagainya. Seiring itu, berbagai aspek budaya Betawi dihidupkan kembali. Bang Ali juga menyelenggarakan PRJ sebagai sarana hiburan dan promosi dagang industri barang-jasa. Ia memperbaiki sarana transportasi di Jakarta dengan mendatangkan banyak bus kota dan menata trayeknya, serta membangun halte. Sebuah kota modern yang nyaman jadi impian Bang Ali. Meskipun kebijakannya itu begitu kontroversial, karena menggunakan pajak dari hiburan malam, lokalisasi pelacuran, dan judi untuk biaya pembangunan.

Dalam sejarah Eropa, Roma dalam mimpi Lucius Nero adalah sebuah dunia yang lebih baik, sebuah tatanan baru yang teratur, rapi dan damai. Ketika merasa gagal mengatur segala kebrengsekan kota itu, ia pun mengambil sebuah langkah spektakuler yang mengerikan, sesuatu yang tak masuk akal dan tercatat dalam lembaran hitam sejarah: ia membakar pusat dunia itu demi kota impiannya!

Namun toh, sebagaimana ujar-ujar termashyur “Roma tidaklah (mungkin) didirikan dalam waktu semalam”, riwayat kota-kota umumnya tumbuh dari sejarah panjang yang tak terlepas dari peranan warganya. Kendati sejarah sebuah kota bisa berawal dari apa saja: tempat persinggahan, daerah pelarian, kawasan pertambangan, tempat peristirahatan kereta, bandar, pasar. Tak terlepas dari perang, penaklukan, intrik politik, dan hijrah.

Dari film “Gangs of New York” (bersetting tahun 1863) sebagai contoh, kita tahu, megapolitan yang dijuluki ‘The Big Apple’ itu dibesarkan oleh para gangster brutal. Sebuah sejarah kelam pasca pemburuan emas Amerika yang sarat rasisme dan perseteruan antar gang, juga sejarah imigrasi Irlandia di tengah perjuangan penghapusan perbudakan oleh Abraham Lincoln.

Tetapi pada abad 20; di atas rawa-rawa, bekas persawahan, atau rimba belantara ada banyak kota-kota yang berdiri sekejap tanpa hiruk-pikuk masa silam di Dunia Ketiga, layaknya disulap. Dalam novel “One Hundred Year of Solitude” karya Gabriel Garcia Marquez, kita melihat bagaimana sebuah kota didirikan di pinggiran rawa. Semuanya seolah belum bernama, sampai modernitas (ala Eropa) datang menyapa lewat simbol es batu yang dibawa orang-orang gipsi, disusul pastor, politikus, dan tentara. Gereja, kantor pemerintahan, kantor pos, barak pun dibangun. Tetapi semua ketertiban itu agaknya diragukan apakah memang dibutuhkan oleh penduduk kota baru Macondo, karena di satu sisi justru membuat ketentraman Macondo mulai terguncang. Sebagai karya sastra postkolonial, tentu kita mafhum “Seratus Tahun Kesunyian” merupakan reaksi Amerika Latin atas Dunia Barat Modern.

Adakah terbengkalainya beragam situs bersejarah peninggalan kolonial Belanda di berbagai kota di Indonesia dilandasi sikap sama? Yang terwujud lebih ekstrem lagi berupa “kebencian dan dendam” pada segala yang berbau kolonial, sehingga bukan cuma bahasa Belanda yang harus disingkirkan dari pendidikan nasional kita. Apakah yang keliru dari kota-kota kita?

Pada akhir 1990-an Pemerintah Kota Semarang memang merevitalisasi kawasan Kota Lama dengan memperbaiki dan membenahi jalan, drainase dan membuat polder untuk mengendalikan rob (rembesan air laut ke daratan). Namun tetap saja kawasan Oude staadt itu terasa sebagai artefak yang beku, lantaran kehidupan tak pernah menggeliat sewajarnya dalam kelanggengan. Sehingga yang terhampar tetaplah imaji “40.000 mill dari kenangan” yang dihadirkan Cecep Syamsul Hari dalam sebuah sajaknya yang melankoli.

Sebuah kota memang tak sekadar peta: tapal batas atau urusan administratif, tata arsitektur dan siasat interior. Cerita kota adalah cerita mobilitas manusia, cerita pertumbuhan. Di ruang plural inilah, interaksi manusia berlangsung demikian intens; di mana yang privat dan yang publik mesti terus-menerus bersitegang. Ia menjadi wajah peradaban, harapan akan kemajuan dan masa depan. Atau dengan kata lain: ekspresi modernitas. Di sini, ia menjadi wilayah yang tak pernah selesai, selalu ramai dalam proses dialektika.

Tetapi di kota-kota negeri ini, apakah memang ada yang keliru dengan sejarah?

Bayangkanlah Yogyakarta sepuluh tahun ke depan. Jika hari ini saja, kita melihat bagaimana tata kotanya tak pernah siap menghadapi pertumbuhan. Jalanan mulai kerap macet oleh kendaraan bermotor, sehingga kenyamanannya sebagai kota sepeda pun perlahan tergusur. Bagaimana Jakarta sepuluh tahun lagi, jika penggunaan sumur bor dan pengendalian sampah tak pernah ditangani secara bijak, jika Bus Way yang dimaksudkan untuk mengatasi kepadatan justru mendapat cacian dari sopir taksi dan bus umun karena dianggap merampas jalur mereka.

Ah, entahlah. Saya hanya tiba-tiba teringat pada kesan Hemingway tentang Paris yang begitu mendalam dalam memoarnya “Moveable Feast”: If you are lucky enough to have lived in Paris as a young man, then wherever you go for the rest of your life, it stays with you, for Paris is a moveable feast.

Mari kita bernostalgia!***


Dipublikasikan di Jawa Pos, Minggu, 22 Nopember 2009

cerpen terjemahanku

Kafe Bagus di St. Michel

Ernest Hemingway


KEMUDIAN cuaca memburuk. Itu bakal berlangsung pada suatu hari ketika musim gugur berlalu. Mau tak mau kita harus menutup jendela-jendela di malam hari untuk menghalau hujan dan dinginnya angin yang akan merontokkan dedaunan dari pohon-pohon di Contrescarpe. Daun-daun berserakan basah di tengah hujan dan angin membawa hujan ke arah bus hijau besar di terminal dan Kafe des Amateurs sudah penuh sesak dan jendela-jendela atasnya berkabut karena udara panas dan asap di dalam. Sungguh menyedihkan, keadaan kafe itu berlangsung demikian buruk di mana para pemabuk berdesak-desakan bersama dan aku harus menjauhinya karena tak tahan pada bau badan-badan kotor dan aroma asam orang-orang yang teler. Para lelaki dan perempuan yang kerap mengunjungi Amateurs duduk bertahan minum sepanjang waktu, atau selama mereka masih sanggup, kebanyakan dengan anggur yang mereka beli persetengah liter atau seliter. Banyak alkohol-alkohol pembuka diiklankan dengan nama-nama aneh, namun hanya sedikit orang yang kuat menenggaknya kecuali dicampurkan terlebih dulu dengan anggur-anggur mereka. Para pemabuk perempuan di sini disebut poivrottes yang artinya semacam permainan kartu wanita.


Kafe des Amateurs adalah lubang jamban dari ruas jalan Mouffetard, jalan pasar sempit yang penuh sesak dan menakjubkan, dari mana dengan mudah kita dapat mencapai Contrescarpe. Kakus-kakus jongkok di rumah-rumah apartemen tua, berada di sebelah tangga pada setiap lantai dengan dua pijakan semen berbentuk sepatu ditinggikan pada setiap tingkatan sehingga dengan demikian tak akan tergelincir, masuk ke jamban-jamban yang dikosongkan dengan pompa ke dalam kereta-kereta tangki yang ditarik kuda pada malam hari. Di musim panas, dengan terbukanya semua jendela, kita akan mendengar bunyi pompa dan bau yang amat menyengat. Kereta-kereta tangki dicat warna coklat dan kuning-jingga dan di bawah terang purnama bilamana mereka bekerja di jalan Cardinal Lemoine, silinder-silinder yang ditarik kuda tampak bagaikan lukisan Braque. Walaupun begitu, tak seorang pun meninggalkan Kafe des Amateur lebih dulu, dan poster menguning berisi ketentuan dan sanksi hukum terhadap khalayak yang mabuk layaknya dengungan lalat dan tak digubris karena para pelanggan tetaplah demikian dan dalam keadaan bau.


Segala kesedihan kota ini bertandang dengan tiba-tiba bersama hujan pertama musim dingin yang menggigilkan tulang, dan tak terlihat puncak gedung-gedung putih yang tinggi ketika kau berjalan lewat selain kegelapan jalanan basah dan pintu toko-toko kecil yang tertutup rapat, para penjual obat, toko alat tulis dan kios koran, dukun bayi—untuk orang-orang kelas duadan hotel tempat meninggalnya Verlaine di mana aku memiliki sebuah kamar di lantai atas tempat aku bekerja.


Perlu menaiki enam atau delapan tingkat untuk mencapai lantai atas dan itu sungguh sangat dingin dan aku tahu betapa mahalnya seikat ranting kecil, tiga pembungkus kawat pendek, potongan penjepit belahan sepanjang separuh pensil untuk mengepit ranting, dan lalu kayu keras separoh kering yang harus aku beli untuk membuat api agar dapat menghangatkan ruangan. Karena itu, di bawah derasnya hujan aku pergi ke seberang jalan agar dapat melihat bagian atap dan memeriksa apakah cerobong-cerobong berfungsi dengan baik dan apakah asapnya berhembus keluar. Ketiadaan asap membuatku berpikir bagaimana kalau cerobong-cerobong itu membeku dan tak bisa digunakan dan kamar mungkin bakal digumuli asap, dan bahan bakar terbuang sia-sia, dan uang juga melayang karenanya, dan aku berjalan di bawah guyuran hujan. Aku turun lewat Lycee Henri Quatre dan gereja kuno St Etiennedu-Mont dan peristirahatan du Pantheon dan menerobos pagar sebelah kanan lalu akhirnya keluar di sisi teduh Jalan Raya St. Michel dan berjalan turun melalui biara tua Cluny dan Jalan Raya St. Germain hingga tibalah aku di kafe bagus yang aku tahu di St. Michel.


Ini adalah sebuah kafe yang menyenangkan, hangat dan bersih dan ramah, dan aku menggantungkan jas hujan tuaku di rak mantel untuk mengeringkannya dan menaruh baju hangat dan topi buluku pada rak di atas bangku dan memesan segelas cafe au lait. Pelayan mengantarkannya dan aku mengeluarkan sebuah buku catatan dari saku mantel dan sebatang pensil dan mulai menulis. Aku menulis tentang apa yang terjadi di Michigan dan lantaran pada hari ini angin bertiup kencang dan begitu dingin, demikianlah pula hari dalam ceritaku. Aku sudah mengalami akhir musim gugur pada masa kanak-kanak, remaja dan dewasa, dan di suatu tempat kau dapat menulis mengenainya lebih baik daripada di tempat lain. Itulah yang disebut mencangkokkan dirimu, pikirku, dan ini bisa jadi sama dengan orang lain dengan ragam pengalaman masing-masing. Namun dalam cerita, anak-anak lelaki itu digambarkan sedang minum dan ini membuatku haus dan aku meminta segelas St. James. Rasanya sungguh nikmat di hari yang dingin ini dan aku terus melanjutkan menulis, merasa sangat nyaman dan merasa Martinique yang bagus menghangatkan seluruh tubuhku dan jiwaku.


Seorang gadis masuk ke dalam kafe dan duduk sendirian pada sebuah meja dekat jendela. Ia begitu cantik dengan seraut wajah yang segar bagaikan kepingan koin baru dicetak, dan rambutnya hitam seperti bulu gagak yang dipotong tajam secara diagonal melewati pipinya.


Aku melihatnya dan ia mengusikku dan membuatku sangat bergairah. Aku ingin bisa memasukkannya ke dalam cerita ini, atau di mana saja, tetapi ia telah menempatkan dirinya sedemikian rupa supaya ia dapat memperhatikan jalan dan pintu masuk dan aku tahu ia sedang menunggu seseorang. Maka aku terus menulis.

Cerita ini menulis dirinya sendiri dan aku kesulitan menahannya. Aku meminta St. James lagi dan aku mengamati si gadis dengan sesekali mengangkat pandang, atau ketika meruncingkan pensil menggunakan sebuah peraut pensil dengan serpihan rautan mengeriting di piring alas gelas minumanku.


Aku telah melihatmu, wahai Cantik, dan kau milikku sekarang, siapapun yang sedang kau tunggu dan sekiranya aku tak pernah melihatmu lagi, pikirku. Kau milikku dan seluruh Paris milikku dan aku milik buku catatan dan pensil ini.


Kemudian aku kembali menulis dan aku jauh masuk ke dalam cerita dan lenyap di dalamnya. Aku menulisnya kini dan ia tidak menulis dirinya sendiri dan aku tidak melihat maupun mengetahui apapun mengenai waktu maupun memikirkan di mana aku berada maupun memesan St. James lagi. Aku menjadi lelah karena St. James tanpa merasa berpikir demikian. Kemudian cerita selesai dan aku merasa lelah sekali. Aku membaca alinea yang terakhir dan kemudian mengangkat pandang dan mencari gadis itu dan ia telah pergi. Aku berharap ia bersama seorang lelaki yang baik, batinku. Namun aku merasa sedih.


Aku menutup cerita di buku catatan dan memasukkannya ke saku dalamku dan meminta selusin kerang kepada pelayan dan setengah gelas anggur putih yang mereka miliki. Selepas menulis sebuah cerita aku selalu merasa kosong dan terombang-ambing antara perasaan sedih dan bahagia, seolah-olah aku baru usai bercinta, dan aku yakin ini sebuah cerita yang sangat bagus meskipun aku tak betul-betul tahu sebagus apa sampai aku membacanya lagi di waktu mendatang.


Tatkala makan kerang dengan rasa lautnya yang kental dan dagingnya yang keras-liat yang kemudian dibasuh dengan anggur putih dingin, sehingga hanya menyisakan rasa laut dan serat daging yang lezat, dan ketika aku menghirup cairannya yang dingin dari masing-masing kulit cangkang dan menenggaknya bersama rasa anggur yang segar, barulah perasaan kosongku hilang dan mulai merasa senang dan membuat rencana-rencana.


Kini cuaca buruk bertandang, kami akan meninggalkan Paris untuk sementara ke suatu tempat di mana hujan ini bakal menjelma salju yang berluruhan di atas cemara dan menutupi jalan dan lereng-lereng bukit yang tinggi dan pada sebuah ketinggian di mana kami akan mendengar bunyinya berkeretak sewaktu kami berjalan pulang malam hari. Di bawah Les Avants ada sebuah villa kecil di mana penginapan itu begitu menakjubkan dan kami akan tidur bersama dengan jendela terbuka dan bintang-bintang bersinar terang. Ke sanalah kami akan pergi. Bepergian dengan kereta api kelas tiga tidaklah mahal. Penginapan biayanya juga jauh lebih murah dari yang kami keluarkan di Paris.


Aku akan menyerahkan kamar hotel di mana aku menulis dan itu adalah satu-satunya yang bisa disewa di jalan Cardinal Lemoine 74. Aku menulis laporan jurnalistik untuk Harian Toronto dan digaji untuk itu. Aku bisa menulis di manapun dalam kondisi apapun dan kami memiliki uang untuk melakukan perjalanan.


Barangkali jauh dari Paris aku bisa menulis tentang Paris, sebagaimana di Paris aku bisa menulis tentang Michigan. Aku tak terlalu lekas bisa memastikannya karena aku belum mengenal Paris dengan cukup baik. Tapi hal itu akan terpecahkan secepatnya. Bagaimana pun kami akan pergi jika istriku mau, dan aku pun menghabiskan kerang dan anggur dan membayar semuanya di kafe dan mengambil jalan terpendek yang menghubungkan Montaigne Ste. Genevieve dengan menerobos hujan—yang mana sekarang hanya cuaca lokal dan bukanlah sesuatu yang mengubah kehidupanmu—menuju rumah susun di atas bukit.


"Aku pikir ini menakjubkan, Tatie," tukas istriku. Raut wajahnya lemah-lembut dan matanya dan senyumnya tampak berbinar ketika mendengar keputusanku, seolah-olah ini merupakan hadiah yang mewah, "Kapan sebaiknya kita berangkat?"


"Kapan pun kau mau."
"Oh, aku ingin
segera. Tidakkah kau tahu?"
"Mungkin
cuaca akan bagus dan terang saat kita kembali. Akan sangat bagus ketika sudah cerah dan sejuk."
"Aku yakin
begitu,” katanya, "Bukannya kau baik memikirkan perjalanan, terlalu."***

Ernest Hemingway lahir di Oak Park, Illionis, 21 Juli 1899. Karyanya The Old Man and The Sea memperoleh Hadiah Pulitzer Prize (1953) dan Nobel Sastra (1954). Cerita ini diterjemahkan oleh Sunlie Thomas Alexander dari “A Good CafĂ© on the Place St. Michel” dalam “Ernest Hemingway: A Moveable Feast” (Charles Scribner’s Sons, New York, 1964)—sebuah memoar yang ditulis Hemingway tatkala berdiam di Paris pada tahun 1921 sebagai jurnalis untuk Toronto Star.


Cerpen ini dimuat SUARA MERDEKA, Minggu, 3 Januari 2009

Wednesday, April 15, 2009

dari Sorowajan Baru II





Dari Sorowajan Baru Yogyakarta





thanks to: Rif'an dan teman-teman Pendopo LKiS Sorowajan; Indrian Koto, Mutia Sukma, dan teman-teman Komunitas Rumah Poetika; Raudal Tanjung Banua dan Muh. Al Fayyadl selaku pembicara, serta Ahmad Kekal Hamdani sebagai moderator diskusi; Marya Yulita Sari yang telah berkenan membacakan cerpen, dan teman-teman Jurusan Teater ISI Yogyakarta; teman-teman UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta; teman-teman FBS UNY; teman-teman Pondok Pesantren Mahasiswa "Hasyim Asyari"; Tia Setiadi, Nur Wahida Idris, Bang Saut Situmorang; dan kalian tak tersebut satu persatu...

KOSMOLOGI SUNLIE

Esai Muhammad Al-Fayyadl*


Ini tahun, barangkali, adalah “tahun sastra Belitung”, tahun kejayaan (dan kebangkitan) sastra di gugus kepulauan terbesar di perairan Malaka itu. Betapa tidak, lihatlah Andrea Hirata dengan Laskar Pelangi-nya, yang membuatnya sontak terkenal dalam jagat baca-tulis Indonesia. Laskar Pelangi, yang belum lama ini diangkat ke layar sinema, dipuji oleh banyak pembacanya sebagai “karya paling inspiratif”, “menggugah perasaan”, “membangkitkan”. Penerbitnya bahkan menyebut buku ini, tanpa argumen yang perlu ditelaah lebih lanjut, sebagai “Indonesia’s most powerful book”, buku Indonesia yang paling bertenaga—sebuah hiperbola, tentunya.

Andai saja pembaca sastra adalah penyuka hiperbola dan megalomania, barangkali kita akan cukup membaca Laskar Pelangi dan terbius oleh spiritnya yang “optimistis”. Tetapi sastra bukan dunia yang seragam; dan keberagaman itu ditunjukkan dengan hadirnya Malam Buta Yin ini, karya Sunlie Thomas Alexander, yang ditulis juga dari Belitung (atau Belitong?), dengan latar dan spirit karya yang sama sekali berbeda.

Tentu saja Sunlie bukan Andrea, dan Sunlie tak hendak menjadi Andrea. Keduanya hadir berbeda, dengan titik tolak dan langgam yang berbeda. Jika prosa Andrea berupa serangkaian empat novel tebal yang disusun berantai, serupa kronik sejarah yang linear dan “programatis”, prosa-prosa Sunlie adalah cerita-cerita pendek yang sepertinya tak berpretensi menjadi “lengkap” dan “sudah”. Cerita-cerita itu ditulis dengan karakter dan pembawaan yang berbeda-beda, tanpa terbungkus satu alur yang sama. Cerita-cerita Sunlie memang tak sependek haiku atau minicerita Nukila Amal, yang jauh lebih eksperimental, tetapi cerita-cerita ini tetap tampil sebagaimana layaknya sebuah cerita yang berkisah. Cerita-cerita itu tetap tampil sebagai realisme yang wajar—tak seperti realisme Andrea yang “muluk” dan “melambung”.

Dan yang terpenting, keduanya—Andrea dan Sunlie—berangkat dari perspektif yang berbeda dalam memandang tradisi dan kekinian. Dalam prosa Andrea, kekinian adalah garis ujung yang didamba dengan penuh harap. Ia adalah dunia mimpi, tempat segala impian ditautkan. Sementara tradisi, hanyalah bagian dari masa lalu yang nostalgis, dan melupakannya menjadi keniscayaan jika orang ingin merasakan kekinian dan mengalami kemodernan. Hal ini berbeda dengan Sunlie: dunia dalam cerita-cerita Sunlie adalah kosmologi di mana kekinian justru menemukan maknanya dalam tradisi di masa lalu dan ingatan yang membayang di dalamnya.

* * *

Masa lalu itu pertama kali hadir bukan dalam artefak sejarah yang beku, dalam peninggalan purbakala di museum, tetapi di sebuah ruang pengap di loteng atas rumah tua, di mana “suara-suara menakutkan” kerap terdengar selepas tengah malam, “bergedebuk nyaring, mendesau, atau seperti derap kaki berlari”. Di situ seorang anak yang pernah tiap malam mendengar suara itu, dan ketakutan sendiri, mengenang seorang paman yang dicintainya, namun bergelagat aneh, menjadi majnun, dan hidup menyendiri berkarib dengan hantu-hantu. Sang paman telah bertahun-tahun hidup di atas loteng, menjauh dari pergaulan manusia. Semula, membaca cerita ini, kita tak akan tahu penyebabnya dan akan mengira bahwa ini hanyalah cerita hantu, sama seperti cerita-cerita horor lainnya. Namun baris demi baris, akhirnya kita mengerti kenapa sang paman begitu penyendiri. Ia di masa lalunya ternyata pernah terlibat konflik menyakitkan dengan sekelompok orang Melayu, yang pernah menghajarnya berkelahi karena ia, seorang Cina, tak layak mencintai gadis Melayu.

Konflik itu, sesuatu yang membekas dan traumatik. Dari ruang pengap di sebuah loteng, cerita ini membawa kita ke “ruang pengap” lain yang pernah terjadi di pojok sejarah di masa lalu, yang mengubah secara drastis kehidupan seseorang: ruang pengap ingatan. Ruang itu dibentuk dari ingatan tentang segregasi (sekaligus diskriminasi) yang memisahkan manusia karena latar puak dan identitasnya, Cina dan Melayu.

Meskipun menjejak sesuatu yang traumatik, namun cerita ini tidak terjatuh dalam sentimentalitas yang tak perlu (yang “mengharukan” seperti masa lalu dalam novel Andrea). Sunlie membawa kita ke sudut kenangannya yang lain sebagai anak-anak, ketika ia bersama pamannya sama-sama gemar mengoleksi poster film, sebuah hobi yang menyenangkan. Poster film, artis-artis cantik dalam poster-poster tersebut, Hollywood, “mobil tua Chevrolet pengiklan film dari bioskop”—adalah kenangan-kenangan kecil yang mempertemukan sang tokoh dan pamannya dalam suatu momen “kekinian”, momen kemodernan. Di sini, kekinian hadir sebagai penghibur bagi trauma masa lalu. Kekinian, atau yang lazim disebut “modernitas”, menjadi momen pelipur ketika masa lalu—yang sarat identitas primordial (“Cina”, “Melayu”)—tampak menyakitkan.

Jika Loteng, Poster Film, dan Secangkir Kopi menampilkan kenangan yang rumpang antara masa lalu yang menyakitkan dan yang menyenangkan, antara trauma perpisahan dan memori indah kebersamaan, dalam Khilin Batu, Jelaga Hio, dan Malam Buta Yin, kenangan itu berwujud legenda-legenda para leluhur yang hadir dalam kekinian sang tokoh. Legenda-legenda itu diwariskan dari mulut ke mulut, menjadi bagian dari sejarah lisan, dan tampak menjadi sesuatu yang meta-historis karena tak penting apakah ia benar atau sekadar kepercayaan.

Khilin Batu mengisahkan dua arca singa-naga yang menjaga rumah sang tokoh (“kau”) dan konon merupakan pemberian Dewa Erl Lang kepada leluhurnya. Sepasang arca bertubuh ganjil-bermuka mencekam ini, dipercaya, menjaga tuan rumah pemiliknya dari marabahaya dan lelembut jahat. Jelaga Hio menceritakan suasana di malam Pat Ngiat Chun Chiu, bulan kedelapan Imlek ketika dewa-dewa turun dari kahyangan ke bumi, dan umat merayakannya dengan sembah dan nyala dupa. Dan Malam Buta Yin mengangkat suasana mencekam di sebuah malam di bulan Chit Guwee, bulan ketujuh Imlek, di mana para lelembut dan roh jahat turun gentayangan ke muka bumi.

Sekadar mencoba menikmati legenda-legenda itu dari luar, kita akan menemukan betapa Sunlie memang tak ubahnya seorang etnografer ulung yang mahir membawakan dongeng-dongeng leluhurnya kepada kita sebagai pembaca modern. Dan, betapa kosmologi dalam prosa-prosanya mengandung anasir legenda yang sangat kuat, deskripsi yang cukup detail dan “fotografis”; dan betapa prosa-prosa itu dapat saja menjadi naskah antropologi, andai dapat digarap dengan lebih metodologis dan ilmiah.

Namun rupanya legenda-legenda itu bukan dimaksudkan untuk menceritakan fakta ilmiah, melainkan pengalaman manusia-manusia di baliknya; pengalaman-pengalaman perih yang juga traumatis. Khilin Batu mengungkap betapa si tokoh (“kau”) sesungguhnya membuat sepasang arca magis itu karena ingin mengenang mendiang istrinya yang mati sakit dan dua anaknya, A Lung dan A Hiung, yang mati dalam sebuah pertempuran. Maka, dua khilin batu itu tak lain adalah jelmaan dari ingatannya tentang dua anak kesayangannya itu.

Jegala Hio mengungkap bahwa ternyata di balik asap hio yang dinyalakannya di malam Pat Ngiat Chun Chiu, ada kemiskinan yang harus dihadapi sang tokoh, meski menurut keyakinan para tetua, konon ritual itu menjanjikan kemakmuran bagi pelakunya. Dan di balik Malam Buta Yin yang merupakan malam segala malam jahanam, malam yang konon sarat energi negatif dan penuh bencana, terdapat derita batin seorang Bibi Nio yang di masa remajanya pernah diperkosa oleh ayahnya sendiri di balik semak-semak, suatu pengalaman yang tak pernah diungkapkannya kepada siapa pun. Legenda-legenda itu, seperti dalam pengalaman kanak-kanak di Loteng, Poster Film, dan Secangkir Kopi, menyimpan kisahnya sendiri, kegetirannya, dan juga masa lalunya yang bisu atau dibisukan.

Sekalipun Sunlie sering kali bernostalgia dengan masa lalu, dengan tradisi yang membesarkannya beserta segenap kisah leluhur dan sejarah lisan yang terdeskripsikan dengan jelas, ia terkadang menyimpan kegelisahan tersendiri terhadap tradisi itu, yang diungkapkannya dengan nada kritis yang cukup tajam. Di Pintu Jenazah, ia menceritakan tentang kematian seorang wanita hamil, yang terpaksa—karena ketentuan adat—harus dibungkus dengan daun pisang, harus dibuatkan pintu darurat di tengah rumah (karena jenazahnya tabu lewat pintu rumah, pintu rezeki), dan harus dikubur apa adanya tanpa hiasan apa pun. Tabu-tabu moral itu tampak merupakan gangguan, penyimpangan, sekaligus hal yang mengusik dalam kosmologi ceritanya; tabu-tabu yang tampak tidak relevan untuk dipertahankan di masa kini.

Dalam mengurai kegelisahannya atas tradisi, kadang Sunlie memang tampak tak ubahnya seorang pemberontak yang bernada geram, walaupun sekuat-kuatnya ia memberontak, ia lebih sering tampil sebagai pemberontak yang berhati jinak, seorang pecinta yang romantis (misalnya dalam Sui Sien, Desember, dan Solicitous), seorang pengembara yang tenggelam dalam keterasingannya (Kota Kelahiran), atau seorang penikmat fantasi seksual yang sesekali tergoda pada hasrat Oedipal-Freudian (Bilur-bilur Ungu, Kuda yang Bermata Bintang Kejora). Dalam kosmologi Sunlie, selain kenangan yang indah sekaligus menyakitkan, ada cinta, kekerasan, keterasingan, dan sensualitas yang sering kali justru menggoyahkan kesetimbangan semestanya, membuatnya ngungun (seperti komentar Zen Hae di sampul buku), dan membuat kosmologi ini selalu menjadi semesta yang retak namun selalu coba dibangunnya kembali.

Sunlie tak selamanya berhasil membangun utuh kosmologinya, dan tak perlulah ia terobsesi untuk keutuhan itu. Dengan kembali ke masa lalu dan tradisi yang pernah membesarkannya, ia sudah cukup memperkaya kita, pembacanya, dengan salah satu khazanah Cina (Tionghoa) yang terlupakan di negeri ini, terlupakan karena sengaja dilupakan atau karena “politik pelupaan” yang membuatnya pelan tapi pasti sirna dan terlupakan. Namun, cukup beranikah ia untuk keluar dari khazanah tradisinya sendiri dan menantang khazanah dunia yang lebih ramai? Cukup beranikah pengarang ini melampaui identitasnya sendiri, menuju kosmologi sastra “pasca-Tionghoa”, melampaui garis-garis darah dan leluhurnya?***

*grammatolog sastra, tinggal di Yogyakarta.

Sumber: Jawa Pos Minggu, 12 April 2009

Catatan:
1. Tulisan ini disampaikan dalam acara "Diskusi & Bedah Buku Kumpulan Cerpen MALAM BUTA YIN karya Sunlie Thomas Alexander" di Pendopo LKiS Sorowajan Baru, Yogyakarta--Jumat, 10 April 2009, Pukul 19.30 WIB-Selesai.

2. Seharusnya Al Fayyadl menyebut sastra Bangka-Belitung (Baca: Provinsi Bangka-Belitung), bukan sastra Belitung. Karena Bangka dan Belitung merupakan dua pulau yang terpisah. Saya kelahiran Pulau Bangka, sedangkan Andrea Hirata yang dimaksud dalam esai ini berasal dari Pulau Belitung. (--penulis)


Diskusi & Bedah Buku MALAM BUTA YIN





Foto-foto "Bedah & Diskusi Buku Kumcer MALAM BUTA YIN"
di Pendopo LKiS Sorowajan, Yogyakarta (Jum'at, 10 April 2009)
Resensi
Buku: Menggumuli Estetika Tionghoa
Judul: Malam Buta Yin
Pengarang: Sunlie Thomas Alexander
Penerbit: Gama Media, Yogyakarta
Tahun Terbit: Januari 2009
Tebal buku: x + 178 halaman

KEHIDUPAN di perkampungan Tionghoa ternyata memberi ketakjuban sekaligus mengundang tanya untuk diteliti. Sejarah kependudukan China di Indonesia, tepatnya di Pulau Bangka, kehidupan etnis dengan segala kebudayaannya yang telah terbungkam sejak masa Kesultanan hingga selama Orde Baru, kini tiba-tiba terasa bergejolak.

Kasus demi kasus tentang etnisitas, nasionalisme, agama, dan gender yang dahulu terdiskriminasi akibat politik terkuak dan memantulkan dialektika budaya yang khas tanpa menyoal masalah identitas dan ideologi Tionghoa itu sendiri. Sehingga terlihat pergeserannya baik dari pemikiran masyarakat, ruang gerak (kegiatan budaya dan agama, partisipasi politik), maupun kependudukan.

Cerpen-cerpen Sunlie menyajikan kompleksitas itu, digali secara memikat dan mendalam dengan kesepadanan lewat karakter tokoh-tokohnya demi integritas dalam satu tema sentral. Kedalaman psikologis yang menyentuh, intim, bergejolak, tetapi kadang sarkas mengukur sejauh mana studi jiwa pengarang dalam menjinakkan kenangan, mengakurasi sejarah, dan merapat (tetapi justru memberi celah kekontradiktifan) pada budaya dari etnis Melayu yang tumbuh di satu lingkungan sehingga karya-karya dalam buku ini terasa begitu kental dan oriental.

Meski sepenuhnya memosisikan kajian-kajian budaya sebagai aspek dasar cerita, cerpen-cerpen Sunlie bukan hanya memberi estetika tersebut di atas, melainkan juga menyediakan ruang kritik tentang gagasan-gagasan pribadi dan sudut pandang pengarang dari ketersituasian diri yang dipengaruhi oleh sosiologi.

Selain persoalan hibriditas dan feminisme terdapat upaya mengawetkan nilai-nilai tradisi Tionghoa menjadi sebentuk artefak yang tidak hanya dinikmati dan dikagumi semata, tetapi juga mengundang untuk diadili, ditelusuri.

Dari ritual pembakaran hio dalam cerpen Jelaga Hio khususnya merangkum etika moral, tata susila, dan filsafat hidup yang berada dalam tubuh Konfusianisme tanpa terjungkal menjadi propaganda. Feminisme dalam budaya pemikiran China Klasik pun terukur dalam cerpen Sui Sien, Pat Ngiat Pan, dan Malam Buta Yin.

Mulai dari dikotomi gender, prinsip pasif (perempuan)-aktif (laki-laki), suara-suara perempuan Tionghoa yang terbungkam, perempuan dan kutukan, hukum adat, kritik feminisme, sampai sejarah Mitologi China Dewi Bulan yang mengawali kebangkitan dinasti besar yang mendefinitkan bahwa mitos dan alam (selain agama) juga mampu membentuk kebudayaan. Karakter tokoh dibangun sebagai refleksi muasal perumusan dewa-dewi dalam angan-angan manusia yang menyenangkan, manusia yang berhasrat dan bernaluri mencipta mitos, dengan daya khayal yang menuntut pikiran serba ganjil yang tak rasional.

Dari aspek sosiologi agama misalnya, dimensi mistikal Hikayat Kuda Api membeberkan keinginan manusia sebagai penganut Islam (tokoh yang berada dalam hikayat) untuk mencari makna hidup atas hakiki hidup termulia dalam pandangan agama. Kuda berwarna merah menjadi simbol kegagahan dan kemurnian yang seakan menjadi titik patok antara baik dan buruk, haram dan halal, kafir dan sufi.

Kuda dan penunggangnya merupakan arus bolak-balik yang mana penunggang (mursyid) sebagai pengendali jalan kuda, dan kuda (kaum sufi) yang memilih penunggangnya. Sebuah refleksi Islam yang mengenal Al Khalifah di mana bukanlah legitimasi umatnya yang menentukan seseorang pemimpin kebatinan, melainkan keimanannya sendiri. "Keterpilihan" secara murni (dengan sendirinya) ini rawan memunculkan rasa iri yang berpretensi kelicikan, pengkhianatan, dan dusta antarsesama kaum sufi untuk menjadi "penunggang kuda".

Berbeda dengan Bilur-Bilur Ungu Kuda yang Bermata Bintang Kejora, kuda menjadi simbol menyatunya antara elok rupa dan kekuatan jiwa dalam kerasnya hidup seorang perempuan sehingga tampil dalam integritas cantik yang mengagumkan.

Cerita-cerita yang tersuguh tidak bermaksud mendobrak budaya sama sekali, tetapi hanya mendeskripsikan hal-hal sentimentil (sendi-sendi lunak) budaya, agama dan filsafat China dengan komprehensif, menjadikan buku ini sangat representatif bagi etnis-etnis lainnya di nusantara.

* Dahlia Rasyad, pengasuh Akademi Sastra Palembang (ASAP)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 12 April 2009 

Friday, April 3, 2009

INFORMASI: TEMU SASTRAWAN INDONESIA II di PANGKALPINANG, BANGKA-BELITUNG


Kepada Yth.
Kawan-kawan Cerpenis, Penyair, Kritikus, Penikmat dan Peminat Sastra
di Manapun Anda berada
.

Sehubungan akan diselenggarakannya
"Temu Sastrawan Indonesia II" di Pangkalpinang, Bangka-Belitung pada bulan Juli 2009 (Tanggal akan diumumkan kemudian), maka dengan segala kerendahan hati kami selaku panitia mengundang Anda sekalian untuk bergabung bersama kami dalam event sastra tahunan yang merupakan terusan dari event serupa (Temu Sastrawan Indonesia I) yang telah berlangsung di kota Jambi tahun lalu ini, dengan mengirimkan karya berupa cerpen dan puisi.

Karya-karya yang masuk--sebagaimana kesepakatan sidang di Jambi--nantinya akan dikurasi oleh sejumlah rekan sastrawan.

Adapun ketentuan pengiriman karya tersebut adalah sbb:
1. Karya berupa cerpen atau puisi.
2. Diketik 1/2 spasi menggunakan MS.Word dan disimpan dalam format RTF.
3. Masing-masing mengirimkan 5 (lima) buah karya.
4. Karya dikirimkan ke email:
tsibabel@yahoo.com.

Karya paling lambat masuk: Akhir April 2009.

Demikianlah informasi ini kami sampaikan. Kritik dan saran akan kami terima dengan senang hati. Atas perhatiannya, kami haturkan terima kasih.

Salam dan hormat kami,

Panitia TSI II Bangka-Belitung

NB: Mohon disebarkan!

Friday, February 27, 2009

Buku Kumpulan Cerpen Teranyar!


TELAH TERBIT BUKU KUMPULAN CERPEN SUNLIE THOMAS ALEXANDER “MALAM BUTA YIN”

Judul Buku               : MALAM BUTA YIN
Penulis                       : Sunlie Thomas Alexander
Penerbit                    : Gama Media, Yogyakarta
Cetakan I                  : Januari 2009
Ukuran Buku            : 14 x 20 Cm
Tebal Buku               : x + 178 hlm
Kode Penerbitan      : GM.268.9193.09
ISBN                          : 978-979-1104-22-7
Harga                         : Rp 29.500,-



“Cerpen-cerpen terbaik Sunlie menampilkan ketegangan yang memikat, antara melimpah-ruahnya hikayat kampung halaman (peranakan Tionghoa) dan wabah amnesia yang melanda orang(-orang)nya. Kadang sang narator kelewat bersemangat menjadi seorang sahibul hikayat, tetapi di sisi lain ia meragukan kemampuannya itu. Antara sikap memandang semua itu sebagai berkah sekaligus beban yang mesti terus dipikul. Tapi kiranya, di sini pula posisi kepengarangan Sunlie. Setelah ngungun ia mencoba kritis terhadap sumber ciptaan. Ia memain-mainkannya. Itu kreatif dan sehat.”
Zen Hae
tukang syair, tukang cerita—ketua Komite Sastra DKJ


“Dongeng-dongeng Sunlie seperti yin dalam kosmologi Tao: lembut, intim, subtil…”
Muhammad Al-Fayyadl
pemikir muda, penulis buku “Derrida”
DAPATKAN SEGERA DI TOKO-TOKO BUKU DI KOTA ANDA…

Friday, January 9, 2009

SAJAK SPEKTAKULER


Sunlie Thomas Alexander

ELEGI INDRIAN KOTO

--tersebab dian hartati


maka perempuan itu

menulis puisi

selepas ingatannya yang perih


mungkin seraya memecah pigura;

riwayat yang terlanjur digantung

pada sudut kamar

begitu rawan


hingga diam diam kau merutuki

kenangan yang bertandang

serupa kereta kembali, atau

sesobek tiket di laci

: ah, begitu galau di hati!


karena itu, kau memilih berlari,

juga menyepi

dari surat surat panjang tak selesai;

duka di kota lelaki


kabar kabar membeku di ponsel

seperti makan malam yang tak jadi

tak ada lagi igau di bantal usang,

sekedar mimpi tentang perempuan

dengan harum sedap malam


tapi di luar pintu, di luar pintu...

kau tahu kenangan masih akan datang berulangkali

mengetuk malam malammu yang gamang

dan memaksamu menulis puisi puisi

dengan hasrat begitu sedih

tentang cinta yang menjelma kekupu

keesokan pagi


; mungkin ia enggan mengepak pergi


Yogyakarta, 2008