Saturday, December 22, 2007

cerpen baru


SEBUAH CERITA LAIN TENTANG LADA*
Cerpen: Sunlie Thomas Alexander

Untuk Syekh Ahmad Sobri1
AKU memang tak pernah tahu kenapa kau ceritakan padaku tentang lada, ketika aku memintamu berkisah tentang kopi, tepatnya kisah tentang sebuah keluarga dan tiga cangkir kopi di Turki yang sering kau ceritakan itu untuk terakhir kalinya pada malam itu, Loh2.
Kenapa kau harus ceritakan padaku tentang seorang anak lelaki dua belas tahun yang sedang menakik-nakik kayu membuat gasing di ladang untuk menembus kekalahannya dengan kawan sepermainan, padahal bisa saja kau ceritakan lebih banyak lagi kisah tentang kopi yang begitu menarik setiap kali aku menghidangkan padamu secangkir kopi di malam hari. Dari cerita-cerita di kedai La Rotende di Rusia sampai ke CafĂ© du Dume di Perancis. Dari kisah seorang penggembala domba di Ethiopia hingga kisah sebuah keluarga dan tiga cangkir kopi di Turki pada pertengahan abad kelima belas itu. Bukankah secangkir kopi—seperti katamu suatu ketika—memiliki riwayat begitu panjang yang telah mengubah dunia? Revolusi Perancis pun dimulai dari kedai kopi, tukasmu kalem.
Namun akhirnya kusimak juga kisahmu malam itu dengan agak malas-malasan. Dan tanpa mempedulikan wajahku yang mungkin tampak sedikit masam, kau terus bercerita bagaimana sang ayah kemudian muncul dari belakang pondok ladang sambil memikul junjung—batang kayu untuk merambat tanaman lada—dan memanggil anak lelaki dua belas tahun itu lalu mengajaknya memetik lada dengan janji upah dua puluh lima rupiah perkaleng mentega.
Seperti biasanya, juga tak ada yang istimewa dalam ceritamu kali ini, Loh. Tapi entahlah, sebagaimana cerita-ceritamu yang lain tentang kopi, lambat laun aku kembali merasakan ada denyut-denyut yang aneh di dadaku. Denyut yang mencemaskan sekaligus mendatangkan perasaan tenteram. Kenapa seperti ini, Loh? Barangkali kau pun tidak bisa menjawabnya.
Mendengar ceritamu yang mengalir dengan lancar, seolah-olah dapat aku rasakan debar di dada anak lelaki dua belas tahun itu saat menyibak helai demi helai daun lada mencari juntaian buah lada masak yang kadang-kadang tersembunyi. Seakan-akan pula aku dapat mencium wanginya aroma tanaman lada dan bau humus, atau menangkap suara merdu burung-burung srintid yang sesekali terdengar di antara pepohonan.
Demikian juga tatkala kau ceritakan bagaimana terpukaunya anak lelaki dua belas tahun itu saat melihat keringat berkilauan yang memercik dari tubuh kekar ayahnya setiap kali sang ayah mengangkat dan menghunjamkan batang-batang junjung ke tanah hingga menimbulkan bunyi yang keras, bluubb! bluuub! Aku seakan merasa benar-benar ikut terpukau meskipun tidak sungguh-sungguh paham.
Ah, tiba-tiba saja aku merasa ceritamu itu begitu menggairahkan. Membuat tubuhku yang penat terasa segar kembali seperti halnya anak lelaki dua belas tahun itu dan ayahnya ketika mereka akhirnya memutuskan mandi di sebuah danau kecil bekas galian penambangan timah usai merendam butir-butir lada yang baru dipetik. Air danau yang dingin itu serasa meresap ke dalam pori-pori kulitku, membuatku sedikit menggigil. Terlebih kemudian membayangkan ayah-anak itu harus menempuh jarak dua puluhan kilometer pulang ke rumah dengan berboncengan vespa butut selepas sholat magrib di Kampung Riau. Betapa udara malam yang dingin merasuk sampai ke tulang sumsumku.
Karena itu mereka mengunyah lada, katamu. Aku terpana menatapmu. Benarkah itu, Loh? Mereka mengunyah lada? Aku tidak tahu bagaimana rasanya mengunyah lada. Pasti pedas sekali di mulut, Loh.
Ya, pedas dan panas, lebih pedas dari cabe kalau tidak terbiasa karena rasa pedas dan panasnya itu akan bertahan sampai lama lalu menjalar ke sekujur badan bersama aliran darah, katamu sambil tersenyum. Tapi karena itu tubuh jadi terasa hangat, kadang-kadang sedikit berkeringat.
Penduduk pulau kecil itu memang punya kebiasaan mengunyah lada untuk menghalau dingin, lanjutmu. Biasanya mereka akan memasukkan tiga butir lada ke mulut tatkala hendak keluar rumah malam hari, lebih-lebih pada malam-malam bulan mati ketika burung-burung Kuwek yang selalu terbang terbalik keluar dari sarangnya dan berkoak-koak nyaring mengabarkan kematian. Mereka percaya kalau lada juga berkhasiat menjadi penangkal yang baik untuk hal-hal gaib, katamu lagi-lagi tersenyum.
Aku kian takjub walaupun semakin tidak mengerti.
“Kau mau coba mengunyah lada?” tanyamu tiba-tiba, sekali ini sambil menghirup kopi yang kusediakan. Aku tidak menggeleng tapi juga tidak mengangguk, aku hanya tersipu mendengar tawaranmu.
Ah, bagaimana kalau selain cengkeh, kayu manis, kapulaga dan adas manis, sesekali aku campurkan juga lada ke kopimu, Loh?


Untuk Hamidah3
AH, aku juga tidak mengerti, Midah, kenapa aku menceritakan tentang lada padamu ketika kau memintaku bercerita tentang kopi…
Aku rasa, lada pun memiliki riwayat tak kalah panjang yang ikut berandil mengubah dunia seperti halnya kopi. Sebagaimana yang pernah kubaca di buku-buku sejarah, lada adalah salah satu jenis rempah-rempah yang menarik para penjelajah dari Eropa untuk menempuh pelayaran separoh dunia, Midah. Pada tahun 1519, Magellan misalnya, sudah mendapat perintah rahasia dari pemerintah Spanyol untuk mencari informasi tentang lada.
Atau mungkin kau sudah pernah mendengar bagaimana dulu Belanda memaksa para petani di Banten menanam lada, sekali pun hal itu tidaklah menguntungkan bagi rakyat sehingga kemudian menimbulkan pemberontakan?
Tapi aku tidak ingin membahas sejarah lada denganmu, Midah. Mungkin di lain waktu. Aku hanya ingin mengisahkan lagi sebuah cerita lain tentang lada padamu...
Cerita ini mengenai seorang ayah dengan tiga orang anak gadisnya di sebuah kampung kecil bernama Delas di ujung selatan pulau kecil itu. Kampung kecil yang ramai dengan mayoritas penduduknya petani lada.
Kau tahu Midah, sudah lama sekali menjadi tradisi di kampung itu, kalau setiap panen tiba—apalagi panen raya yang gemilang—mereka akan menikahkan anak bujang-gadisnya dengan pesta pernikahan yang gegap gempita. Pesta bisa saja berlangsung selama tiga hari tiga malam. Seolah-olah menjadi dosa bagi mereka kalau sebuah penikahan yang sakral tidaklah dirayakan dengan meriah.
Biasanya, setelah upacara adat yang melelahkan dan dipenuhi mitos, pesta resepsi yang mengundang seluruh warga kampung itu pun diadakan dengan aneka hidangan mewah. Dan sebagai hiburan, tuan rumah yang punya hajatan seolah memiliki kewajiban memanggil band dari kota atau minimal organ tunggal. Didirikanlah panggung besar di halaman rumah dan warga kampung—terutama muda-mudi—akan berjoget semalam suntuk hingga menjelang subuh. Kau bisa membayangkan betapa besar biayanya bukan, Midah?
Karena itulah, setiap musim panen senantiasa diiringi dengan musim kawin. Sehingga wajar saja apabila selepas panen, kampung kecil itu akan menjadi begitu ramai oleh pesta penikahan. Kadangkala bisa mencapai berpuluh-puluh pasang pengantin, susul-menyusul. Seringkali pula, pasangan-pasangan muda itu dinikahkan secara massal di masjid besar kampung oleh seorang kyai.
Tapi bagaimana dengan yang tak punya ladang atau panennya gagal? Apakah itu alamat buruk si anak bujang bakal menggigit jari melihat pujaan hatinya disambar orang?
Ayah tiga anak gadis itu sudah menikahkan dua orang anak gadisnya selepas panen raya selama dua tahun berturut-turut. Yang paling tua, Fatimah diambil jadi menantu oleh Mang Amri—Ah, siapa pun tahu dia jurangan pupuk dan penadah lada. Sehingga bisa ditebak bagaimana meriah pesta penikahannya. Fathonah, anak nomor dua pun tak kalah semarak pestanya, lantaran sang pacar meskipun bukan anak orang berada, diam-diam menyimpan berton-ton lada di rumah hasil sisihannya pada setiap panen selama bertahun-tahun.
Dan kini tinggallah si bungsu yang manis, Fadhila. Anak yang paling disayanginya, paling cantik dan begitu mirip dengan almarhumah isterinya. Tentu saja si ayah berharap anak gadisnya yang pendiam itu akan memperoleh seorang suami yang baik dan hidup bahagia serba berkecukupan seperti kakak-kakaknya. Tentu pula, hal itu sebetulnya bukanlah perkara yang sulit mengingat si puteri bungsu begitu banyak yang naksir.
Tapi siapa nyana Fadhila, gadis yang sesungguhnya baru beranjak puber itu hatinya telah tertambat pada Zaid, teman sepermainannya semenjak kecil. Mula-mula si ayah memang tidak bercuriga pada kedekatan anak gadisnya dengan Zaid, anak yatim yang telah lama ikut membantunya menggarap ladang itu. Bukankah keduanya telah menjalin keakraban sebelum akil-baliq? Sejak mereka masihlah dua bocah polos yang bertelanjang bulat mandi hujan di ladang atau bermain petak umpet di sela-sela tanaman lada yang rimbun. Sampai suatu siang, dia melihat sendiri kedua anak remaja itu bermesraan di sela rumpun lada!
Begitulah, Midah. Ketika akhirnya si ayah menyadari kenyataan tersebut, cinta si bungsu tampaknya sudah tersangkut erat pada si pembantu. Demikian pula sebaliknya. Seiring dengan waktu, cinta itu pun tumbuh semakin subur di ladang yang gembur serupa tanaman-tanaman lada. Hijau segar dan rimbun. Hmm, mungkin lantaran memang selalu telaten dipupuk. Tentu, tentu inilah persoalannya...
Setelah kedua kakaknya menikah, lambat laun si bungsu mulai merasa risau. Apalagi belakangan, beberapa kali sempat terdengar olehnya namanya disebut-sebut dalam pembicaraan sang ayah dengan orang-orang yang bertamu. Dan tamu yang paling kerap bertandang tak lain adalah Mang Saad. Bukankah pula sudah lama ia tahu kalau Amir anak Mang Saad suka padanya? Ya, si bungsu paham benar apa artinya itu: ia mulai serius dilirik orang!
“Tapi bagaimana aku berani melamarmu, Dhila? Kau tahu, aku bahkan tak sanggup bikin pesta,” si pembantu tampak berputus asa, bersungut-sungut. Namun keningnya berkerut tatkala dilihatnya kekasihnya tersenyum-senyum.
“Bawa aku lari,” kata si bungsu. Si pembantu terbelalak.
“Kau berani atau tidak? Kalau tidak, biarkan saja aku dipinang si Amir!”
“Bukan tidak berani, tapi kita mau lari ke mana? Kita tak punya uang, lalu bagaimana pula dengan biaya hidup kita nantinya sebelum aku dapat kerja?” lelaki muda itu mengusap dahinya yang berkeringat. Gadis itu lagi-lagi tersenyum. Ia tahu ayahnya cukup menyimpan lada di gudang belakang rumah. Tidak banyak memang, tapi ada beberapa karung besar. Sisa panen tahun-tahun lalu yang sengaja dipisahkan. Ia bersijinjit lalu mendekatkan mulut ke telinga lelaki yang dicintainya. Lelaki muda itu kembali terbelalak, wajahnya berubah pucat.
“Aku tidak mau, Dhila. Aku tidak berani,” lelaki muda itu menggeleng, “Terlalu banyak hutang budiku pada ayahmu!”
***
“APAKAH mereka akhirnya jadi mencuri lada?”
Ah, kau penasaran dengan ujung cerita ini, Midah? Kulihat kau hanya mengangguk kecil. Tapi aku tidak segera meneruskan. Untuk beberapa saat lamanya aku hanya memperhatikan kopi di cangkirku yang tinggal seperempat, sebelum kemudian meraihnya lalu mendekatkan mulut cangkir ke bibirku dan menyeruput cairan pekat yang wangi itu perlahan. Seperti biasa, terasa agak pahit di lidah. Oh aku memang tak pernah menyukai kopi yang manis, karena itu harus berterima kasih padamu yang mengerti betul takaran kesukaanku ini. Sejenak aku menatapmu.
Ya, mereka akhirnya memang mencuri lada simpanan si ayah, Midah. Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya mereka mengeluarkan berkarung-karung besar lada itu dari gudang penyimpanannya sebelum melenyapkan diri dari kampung.
“Si ayah pasti marah sekali,“ gumammu, seperti pada diri sendiri. Aku tersenyum. Tentu, Midah, tentu saja si ayah marah. Meskipun pada awalnya masih bisa menguasai diri. Ia baru meledak ketika membuka gudang penyimpan ladanya dan menemukan gudang itu telah kosong melompong, “Anak-anak kurang ajar!! Padahal lada-lada itu sengaja aku simpan untuk pesta pernikahan kalian nanti!”
Tubuh lelaki separoh baya itu sampai bergetar. Terbayang olehnya bagaimana ia menolak pinangan kawannya Saad dengan perasaan malu.
Aku melihat wajahmu agak terperangah. Kedua matamu menatapku sedikit terbelalak. Aku meraih lagi cangkir di atas meja. Lama kita sama terdiam, hanya sesekali saling melirik. Apa yang terjadi selanjutnya, Loh? Ke mana kedua pasangan muda itu melarikan diri? Apakah mereka hidup layak? Seperti biasa, selalu saja kau gemar mengajukan pertanyaan yang bertubi-tubi. Tapi… Aku menarik nafas panjang, membuangnya pelan-pelan.
Sampai tiga entah empat kali kau mengajukan pertanyaan, aku tak kunjung juga melanjutkan ceritaku. Aku hanya menunduk sembari mempermainkan sendok kecil di dalam cangkir, lalu pelan-pelan menghirup kopiku lagi—yang entahlah kali ini rasanya lebih pahit. Lewat ekor mata, aku melihat wajahmu kembali merengut kesal.
Kemudian kulihat kau melemparkan pandangan ke luar rumah melalui pintu yang masih terbuka lebar. Aku mengikuti pandanganmu. Sekeliling pekarangan tampak begitu gelap dan senyap. Pepohonan berbentuk bayang-bayang hitam. Memang sudah dua minggu bolam lampu di teras yang putus belum sempat kuganti. Ah, apakah malam ini malam bulan mati, Midah? Angin yang berhembus masuk mulai terasa dingin dan bertambah kencang.
Hmm, aku jadi merasa ingin sekali mengunyah lada. Ya, mengunyah tiga butir lada hingga mulut kepedasan seperti membara, Midah. Hingga rasa panasnya menjalar ke sekujur badan lewat aliran darah, kemudian meruap keluar bersama keringat. Meruap seperti kenangan! Ai, terbuat dari apakah kenangan?
Aku kembali menatapmu. Wajahmu yang cantik tampak semakin masam. Membuatku jadi bimbang.
Ah, haruskah aku kisahkan padamu kehidupan si bungsu dan si pembantu selanjutnya setelah mencuri lada di gudang penyimpanan sang ayah dan lari dari kampung? Haruskah aku ceritakan bagaimana kemudian mereka menikah di bawah tangan di sebuah kota kecil dan dikarunia seorang anak lelaki? Anak semata wayang yang selalu dibawa ke ladang dan lebih kerap disapa dengan panggilan Loh…
Ah, jangan merengut seperti itu, Midah. Apakah kau masih kepingin mendengar ceritaku yang lain lagi tentang lada?
Kuharap kau mau membuatkan lagi untukku secangkir kopi, Sayang…***




Solo-Yogyakarta, Nopember 2007

Catatan
* Sungguh, cerita ini diilhami sebuah cerpen Syekh Ahmad Sobri yang berjudul “Secangkir Kopi Terakhir Butir-butir Lada Yang Pertama” yang saya baca di sebuah suratkabar lokal kurang-lebih empat tahun silam. Saya membaca lagi cerpen ini di Jurnal PENDAR edisi khusus 2006 saat launching “Rumah Sastra” di Jebres, Solo beberapa waktu lalu.
1. Syekh Ahmad Sobri dilahirkan di Muara Enim, Sumatera Selatan, 1978. Dibesarkan di sejumlah tempat di Pulau Bangka. Sempat melanjutkan studi di UNS Solo.
2. Loh adalah nama anak lelaki dua belas tahun dalam cerpen “Secangkir Kopi Terakhir Butir-butir Lada Yang Pertama”. Dalam cerita ini, saya sengaja menggunakan nama Loh sebagai panggilan untuk diri Syekh Ahmad Sobri yang saya tuju, sebagaimana saya sempat menafsirkan tokoh Loh sebagai sang pengarang sendiri ketika membaca cerpen tersebut.
3. Hamidah adalah tokoh lain yang hadir sebagai orang yang diceritakan kisah-kisah tentang kopi dan lada dalam cerpen di atas.


Wednesday, November 21, 2007

puisi 3


Sunlie Thomas Alexander

RENDEZVOUS (1)
--malam malioboro; fadhila

katamu: tiba tiba aku mencintai kotamu!

tapi kota ini pun begitu asing
melulur tubuhku
sangsi dan nyeri membatu di dada

di depan perpustakaan tua;
artefak sejarah yang lelah,
bulan tak ada dan bangku ini dingin
seperti mataku

tetapi masih saja kau percaya,
keasingan bakal memberi kita warna,
meski bening
tak terusik udara yang rusuh

tinanda apa yang mesti kubaca?
dari mata waktu membeku
kau lihat, sebuah becak melanglang
di garis edar langit yang kosong
sendu melagukan tembang jawa

aku di sini pun sesat arah
tak menemu jejak sendiri
dan kau perempuan penanda
ingin mengakrabi remang cuaca?

di kota ini, bulan tak bakal ada
hanya angin yang terlampau buruk
mempersiangi kita…

karena itu, bacalah beku mataku
bacalah dengan hati yang sendu
berulang ulang nyeri akan menjadi batu!

Yogyakarta, Februari 2007


Sunlie Thomas Alexander

RENDEZVOUS (2)
--rumah sastra jebres; fadhila

seperti mimpi dan hati nero
yang terbuka pada kebeningan acte;
kebeningan dunia!
aku ingin mengajakmu
mencumbui setiap sudut bumi yang riang,
mungkin sembari mencari kemurnian puisi
hingga hati setiap orang berbuah;
bernyanyi dan menari bersama kita

menatapmu, selalu saja dunia baru tercipta
dan semua benda belumlah bernama

karena itu, aku ingin aromamu yang belia
melekat selamanya
lalu dengan puisi, kita akan memberi nama nama
pada setiap yang bernyawa dan tak bernyawa,
juga pada tuhan yang menjadikan
segala dari tiada

berjanjilah padaku
dengan kepolosan eva
untuk meleburkan waktu dan jarak,
perempuan penanda

agar luput ketakutanku
membakar roma—ah, kota-kota
yang bersemayam di hati yang lebam

dan kita terberkati di bumi tua
sebagai manusia!

Solo, Nopember 2007

Sunday, October 28, 2007

cerpen 5


DI PERLANG! MANGGA-MANGGA ITU MENUNGGU RANUM
Sunlie Thomas Alexander


MENGAPA masih saja kau cemaskan isyarat yang tumbuh pada matanya? Bukankah dia adalah takdir? Bagaimana kau harus menghindarinya?
“Apakah lebaran nanti, Abang pulang?” Tanyanya menatapmu malu-malu. Kau melengos, berpaling ke arah surau kecil di belakangmu. Sejenak kau bingung. Hendak menjawab ya, kau takut memberikan harapan sementara kau belum memiliki kepastian soal itu. Bila menjawab tidak, mungkin akan mengecewakan. Bagaimana kalau kau betul-betul pulang nantinya?
“Aku belum tahu.” Jawabmu jujur akhirnya. Kau lihat sepasang mata itu mengerjap. Lalu ia kembali mendongak ke atas pohon mangga yang berbuah lebat di muka surau. Kau ikut mendongak melihat buah-buah kecil yang bergantungan menarik hati itu. Kemudian kalian bersitatap.
Ah, sepasang mata itu semakin mencemaskan…
Atau hatimu yang terlampau bimbang. Melemparkan harap tetapi begitu ragu. Ingin sekali sesungguhnya, kau selalu memberikan kepastian kepada perempuan di hadapanmu itu. Tetapi kau ingat kekasihmu, tepatnya tunanganmu. Di tanah rantau. Seorang perempuan dengan jilbab lebar yang santun, selalu bertutur kata halus meski tak jarang berani menyindir terutama soal urusanmu dengan rokok. Kau mencintainya, tak ada kesangsian untuk hal tersebut. Tetapi agaknya kau teramat sadar, kalau perempuan yang bersamamu di depan surau itu sedikit demi sedikit mulai menguasai sekian tempat di hatimu. Tentu saja, terlalu konyol dan mengelikan untukmu berpikir soal poligami! Kau ingat sebuah tulisan Ayu Utami, bahwa lebih baik menyakiti Tuhan yang sudah begitu kuat daripada menyakiti pasangan kita yang lemah. Dan kekasihmu itu terlampau baik… Lagipula, kau tak yakin salah satu di antara mereka atau kedua-duanya berkenan dimadu! Kau selalu percaya, tak bakal ada keadilan untuk rasa ingin memiliki…
“Mangga-mangga ini pasti sudah ranum lebaran nanti, Bang.” Tukasnya lemah, seolah melemparkan sebuah penawaran menggoda bagimu. Kalau saja kau belum memiliki seorang kekasih di rantau, mungkin dengan segera kau akan menjawab, “Simpan untukku ya?”. Tetapi kau hanya diam, semakin gelisah. Udara diam-diam menciut.
***
KAU mengenal perempuan itu belum lama sesungguhnya. Lima bulan lalu, dalam sebuah acara sastra di pendopo rumah walikota ketika kau hadir membacakan cerpen. Dia duduk di sebelahmu, dengan wajah yang terlalu tenang untuk diajak berbincang. Tetapi kau nekat juga menawarkan kacang rebus padanya. Awalnya ia hanya menjawab terima kasih, lalu jawaban-jawaban lain yang sepotong-potong atas setiap pertanyaanmu. Sampai kau menanyakan asalnya, dan jawabnya agak mengejutkanmu. Ternyata ia sekampung denganmu!
Kau bersorak, dan segera mengatakan kalau kau juga berasal dari pulau kecil itu. Pulau yang selalu mengirimkan rindu, sekaligus luka. Entahlah, tiba-tiba saja kalian sudah akrab. Dan ia berubah menjadi sosok perempuan muda yang begitu ceriah, cerewet, dan manis. Pertukaran nomor telepon dan janji untuk saling menghubungi, kalian buat menjelang acara usai. Dan janji itu memenuhi kegenapannya, juga janji-janji lainnya kemudian. Kalian mulai bersepakat untuk membuat pertempuan demi pertemuan. Di Obonk Steak, lalu di tempat-tempat lain. Pertemuan-pertemuan yang pada awalnya begitu menggairahkan sebelumnya akhirnya berubah menjadi sesuatu yang mencemaskan.
Lantaran kau merasa melihat isyarat itu tumbuh pada sepasang matanya? Atau justru hatimu sendiri yang mulai melemparkan isyarat itu dengan tak tenteram. Perasaan menyayangi, kau tahu adalah suatu yang luhur, tetapi tidak demikian dengan perasaan ingin memiliki. Itu sesuatu yang menyiksa buatmu. Dan ia terlalu manis untuk disakiti, atau barangkali kau sendiri yang takut mengalami rasa sakit.
Kau mendongak sekali lagi, melihat mangga-mangga muda yang menunggu ranum di atas kepalamu. Serupa isyarat. Begitu mencemaskan.
***
BAPAKNYA seorang ustad kampung, seorang vegetarian dan percaya pada takdir yang menjadi hak utuh Sang Pencipta. Hal mana yang kau tak pernah menduga sebelumnya dari penampilan perempuan itu yang sedikit metropol. Orang tua yang ramah itu berulang kali melemparkan pertanyaan tentang maksud kedatanganmu dari jauh melintasi jarak hampir tiga ratus kilometer dengan sepeda motor, baik secara terang ataupun secara tersirat yang membuatmu merasa terjebak oleh situasi. Seperti tikus masuk perangkap, pikirmu naif. Kau hanya tertawa kecut, mencoba menghindar atas setiap pertanyaan itu dan arah tujuannya. Sementara perempuan itu melirikmu sambil tersenyum-senyum dari pintu dapur, di mana ia sedang mengikat buah-buah kelengkeng. Kau tersedak, ketika orang tua itu bercerita tentang makna pernikahan bagi seorang lelaki.
Persoalan keluarga yang mendadak, memang menuntutmu pulang ke pulau kecil itu setelah sekian lama kau selalu mengacuhkan kerinduan yang tumbuh untuk menjenguk ibumu, perempuan yang kau tahu, bertahun-tahun dirajam kesepian. Selama penerbangan Yogya-Jakarta-Pangkalpinang, wajah ibumu selalu membayangi benakmu, bergantian dengan wajah perempuan itu.
Akhirnya setelah urusan keluargamu mulai tampak jalan keluarnya, kau tak tahan lagi untuk tidak mengontaknya. Kau dengar ia begitu girang dalam suara ponsel. Ia segera menanyakan kapan kau akan main ke rumahnya, dan ia berjanji akan mencarikan kepiting untukmu sebagaimana janjinya di Yogya. Ya, ia sendiri baru sebulan kembali ke pulau kecil itu selepas wisuda sarjananya di sebuah kampus swasta di Yogya.
“Ibuku memintaku pulang. Beliau kesepian, cuma berdua dengan Bapak di rumah. Kau tahu, kakakku satu-satunya sudah berkeluarga di Surabaya, dan aku memang sudah terlalu lama berpisah dengan beliau, sejak aku SMA di Pangkalpinang lalu melanjutkan kuliah di sini,” tukasnya dengan nada yang getir pada pertemuan terakhir kalian di kontrakannya, “Padahal aku lebih betah di sini. Aku juga sudah dapat tawaran kerja dari seorang teman.”
Kau ingin sekali menyentuh tangannya, mengenggam jari-jemarinya yang halus. Tapi gagal menghimpun keberanian. Ia melirikmu dengan wajah sedih.
Ya, akhirnya kau mengunjunginya. Melahap jarak hampir tiga ratus kilometer dari kota kecilmu Belinyu, di utara Pulau Bangka sampai ke rumahnya di desa Perlang, sekitar lima belas kilo dari Koba, ibukota Bangka Tengah. Dan rumah itu, dengan sebuah surau kecil di depannya, begitu sejuk. Terletak di ujung kampung yang sepi dan banyak dipenuhi pepohonan. Kau merasa seperti menemukan sebuah oase selepas menempuh perjalanan jauh yang terik, melewati jalan-jalan tanah kuning dengan debu tebal berkepul.
Kerinduan itu membuncah seperti ombak. Menerpa batu-batu. Karang kangen dan waktu. Dan senyumnya begitu manis menyambutmu, melenyapkan segala rasa capek dan haus.
***
AH, pernah kau merasa begitu gerah dengan pulau kecil itu, dengan rumah. Dan dengan kepergian, kau ingin membasuh lukamu. Meskipun kau sadar, kepergiaan itu justru bakal menciptakan luka baru di hatimu dan menoreh luka yang lebih dalam di hati ibumu. Tetapi dendammu, pada bapakmu, membuatmu garang mengemasi ransel lalu bertolak seperti serdadu ke medan perang yang tak berharap kembali ke rumah. Ibumu hanya menangis diam-diam, dan di wajahnya yang lelah, yang mulai keriput dimakan usia, kau melihat keikhlasan yang sia-sia dibangun.
“Ke mana Bapak, Bu?” berulang-ulang dulu kau tanyakan hal itu kepada perempuan yang melahirkanmu. Tetapi Ibu selalu saja menggeleng. Di matanya, kau seolah melihat tungku dapur. Dan kau mengerti, hati perempuan itu tabah sebagaimana batu tungku, dari api dan lelaki. Maka kau pun pergi meninggalkannya, menggenapi kesepiannya. Seolah dengan itu kau melampiaskan dendam pada Bapak dan kepergiannya. Sekalian mewujudkan kodratmu sebagai laki-laki. Kata orang, kodrat lelaki muda adalah menjadi anak panah, melesat lepas dari busurnya.
Ketika kau kembali akhirnya, adakah ibumu, perempuan yang berkarib dengan bumbu dan tungku itu akan mengerti. Atau ia akan teramat mafhum, kalau pada gilirannya seorang lelaki memang akan kembali juga. Bukan ke pangkuannya, tetapi kepada seorang perempuan lain yang sempurna menggoda hati. Seperti dulu ia menggoda hati lelakinya, bapakmu. Untuk menetap dan membangun tungku. Tetapi toh, pada akhirnya Bapak tak sanggup bertahan pada janjinya, pada batu tungku.
Ketika Bapak kemudian kembali lagi untuk kedua kali, lelaki yang tak sanggup bersetia itu hanya tinggal nama, dendam, dan urusan rumah warisan kakekmu yang pelik. Urusan yang menuntutmu pulang sebagai satu-satunya anak lelaki darinya, meski kau ingin sekali menghindari segala sengketa. Sekecil apapun dengan para paman dan bibimu. Tidak, tidak bukan karena urusan harta. Kau sama sekali tak peduli itu. Tetapi kau merasa mereka, paman dan bibi-bibimu, harus tahu kalau ibumulah yang bertahun-tahun merawat rumah tua itu dengan kasih sayang, luka dan kesepiannya tanpa mereka mau peduli. Dan rumah itu adalah segalanya bagi ibumu: kesepian, dendam, dan kenangan cintanya yang manis. Dan itu tak boleh dirampas, karena sama saja dengan merampas hidupnya.
Selebihnya adalah sebuah alasan yang malu untuk kau akui ini: ya, perempuan itu! Perempuan yang menggoyang keraguanmu akan cinta, akan kesetiaan. Sebagaimana seorang perempuan lain menggoyang keraguan Bapak akan cinta dan kesetiaan.
***
PEREMPUAN yang mengantarmu ke ambang keraguanmu. Membuatmu termangu, menatap buah-buah mangga muda yang menunggu ranum di muka surau di depan rumahnya. Rumah yang seolah menawarkan kesejukan, juga hangat tungku dan harum bumbu dapur.
“Adakah lebaran nanti, Abang pulang?” Kau sedikit terbadai oleh pertanyaan itu. Sementara wajah kekasihmu di rantau, perempuan sederhana yang pernah membasuh rindumu pada Ibu lekat pada ruang benak. Tetapi wajah perempuan di hadapanmu itu seperti takdir. Diciptakan untuk menjadi nyata.
Betapa kau mencemaskan isyarat yang bertumbuh pada sepasang matanya… Bagaimana kau menghindari takdir itu?
Kau tak tega memilih seperti Bapak. Tak tega. Lantaran ingatan pada luka dan kesepian Ibu? Kau ingin menceritakan kecemasanmu itu kepadanya, tapi mulutmu tak sanggup berkisah. Sebagaimana mulut Ibu yang selalu saja bungkam untuk mengisahkan kesepian, dendam, dan lukanya.
Kini kau sudah sampai di batas keraguan yang menyiksa. Ketika teman-temanmu mulai memesan tiket bis atau pesawat, ketika mereka berkisah tentang rumah yang damai. Kau hanya diam, pun saat kekasihmu menawarkan suasana lebaran yang bersahaja di rumahnya, sekaligus menawarkan pemenuhan janji yang kalian buat bersama di depan orang tuanya dan sejumlah kerabat lain.
“Habis lebaran nanti kita akan segera menjadi suami-isteri. Aku ingin jadi pengantin yang manis. Ibu Mas jadi datang kan?” Bisik kekasihmu dengan mesra selepas tarawih. Kau tidak menjawab, tetapi hanya menatap senyumnya yang tampak begitu bahagia.
Sementara, di Perlang, kau tahu, mangga-mangga muda yang bergantungan menggoda di depan surau itu mungkin sudah mulai ranum.***

Yogyakarta, Lebaran 2006
buat Rostating: I Miss You!








Tuesday, September 25, 2007

esai

BENARKAH ISLAM AGAMA TERORIS?
Oleh: Sunlie Thomas Alexander

“SHOW me just what Mohammed brought that was new, and there you will find things only evil and inhuman, such as his command to spread by the sword the faith be preached.” (Tunjukkan padaku apa yang baru yang dibawa oleh Muhammad, dan di situ Anda hanya akan mendapatkan sesuatu yang jahat dan tidak manusiawi, seperti perintahnya untuk menyebarkan keimanan yang didakwahkannya dengan pedang).
Pernyataan Paus Benediktus XVI mengutip buku karya Theodore Khoury dalam kuliahnya di Aula Magna Universitas Regensburg, Jerman, 12 September 2006 yang membuahkan kemarahan umat Islam di seluruh dunia itu, kiranya tidak melulu harus kita pahami sebagai sebuah sikap Barat (tidak selalu identik dengan Kristen) dalam memandang Islam. Pernyataan dalam buku itu sebenarnya merupakan dialog antara Kaisar dengan seorang intelektual dari Persia tentang Islam dan Kristen, yang kebetulan dikutip oleh Sri Paus secara agak sembrono dan barangkali dimaksudkannya sebagai kritik terhadap penyebaran keimanan dengan kekerasan yang diarahkannya pada Islam.
Sejak berabad-abad silam, bahkan sebelum Eropa keluar dari zaman kegelapannya, Timur (Islam) memang tak hanya dipandang sebagai sebuah dunia yang terbelakang dan barbar—meskipun juga eksotik—oleh Barat. Hingga studi para orientalis kemudian membakukan Timur (Islam) sebagai “the other” dengan stigma yang tak juga berubah. Kecenderungan yang kemudian justru diikuti oleh Timur (Islam) dengan sedikit konyol dan tidak seimbang dengan sebuah studi kajian berkesan membalas dendam yang kita kenal sebagai Oksidentalisme.
Cara pandang (atau konsep) Barat terhadap Timur (Islam), dan Timur (Islam) terhadap Barat ini merupakan persoalan kompleks yang mesti terus-menerus kita cermati. Karena model-model pemahaman tersebut seringkali bukan berdasarkan pada kajian tipoligi resmi, tetapi hanya sekedar pengamatan atas realitas di masyarakat yang perlu diklarifikasi lebih jauh. Harus dipertanyakan lanjut, misalnya adakah pemahaman subjektif tersebut memang sesuai dengan keadaan objektif yang dipahami. Jika tidak, kita hanya akan selalu terjebak pada konsep-konsep sentral yang selalu dihadapkan secara oposisi biner: vis a vis.
Kondisi seperti ini—sebagaimana yang diungkapkan Edward Said—adalah kecenderungan memberi label yang bersifat generalizing (generalisasi), tanpa melihat nuansa-nuansa lembut dan kecil-kecil dalam kehidupan nyata, menjadi salah satu kecenderungan kuat dalam media Barat. Dari waktu ke waktu, prasangka semacam ini selalu kembali muncul ke permukaan.
Setiap suatu peristiwa tragis terjadi di dunia Islam atau di dunia Barat yang ada sangkut-pautnya dengan dunia Islam, prasangka itu akan hadir kembali. Demikian pula dengan umat Islam, ketika mendengar pemerintah Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya menyerang Afganistan dan Irak, reaksi yang muncul dari sebagian besar umat Islam adalah seruan berjihad untuk berperang, bahkan disertai pengusiran masyarakat sipil dari negara-negara bersangkutan. Jadi bukan hanya Barat yang melakukan generalisasi, Islam pun melakukan hal serupa. Seruan jihad jadi punya makna sakral yang ekstrem, yaitu berperang atau melakukan kekerasan demi membela kehormatan agama.
Terorisme berjubah agama yang muncul pasca 11 September 2001 sedikit banyak memang telah mengganggu hubungan Barat dengan Islam. Tanpa bermaksud membesar-besarkan, gangguan tersebut cukup memprihatinkan. Kebijakan pemerintah negara-negara Barat diasumsikan selalu diarahkan pada pemojokan umat Islam. Seolah-olah menegaskan bahwa pelaku teror tersebut adalah representasi dari karakter umat Islam secara keseluruhan. Tanpa sadar, terkadang sebagian umat Islam pun terbawa pada prasangka bahwa perang terhadap terorisme yang diserukan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya mengandung arti perang terhadap umat Islam.

Terorisme dan Sejarah Tuhan (Agama) Yang Kelam
Terorisme adalah sebuah kriminalitas, suatu kejahatan kemanusiaan yang tak bisa ditolerir. Pandangan serta nilai-nilai yang mendasarinya sangat berbahaya bagi keamanan dan perdamaian. Terorisme berjubah agama yang menjadikan masyarakat sipil sebagai sasaran teror jelas amat kita sesalkan dan kita kutuk. Karena peristiwa semacam ini secara tak sengaja telah membangkitkan “persepsi lama” Barat dalam memandang dan menilai Islam sebagai masyarakat yang tidak menghargai HAM, menyenangi tindak kekerasan, memasung kebebasan, diskriminatif, eksklusif, dan menyebarkan agama dengan pedang. Meskipun persepsi semacam ini tidaklah muncul dalam wacana akademik, sebagaimana studi orientalisme, pengaruhnya cukuplah luas di masyarakat Barat. Bahkan, lantaran menyentuh sensitivitas emosi, “persepsi lama” ini lebih besar dampaknya. Banyak warga Amerika dan Eropa memandang sinis umat Islam, terutama Muslim Imigran.
Terorisme berjubah agama memang tidak secara tegas merepresentasikan adanya benturan antara Islam dan Barat. Islam ditarik ke dalam sebuah ruang yang dipersalahkan karena pelakunya berasal dari kelompok yang beragama Islam, yang jumlahnya boleh dikatakan sangat sedikit. Walau kita bersikeras untuk menampik bahwa aksi teror yang terjadi sepanjang dasawasa terakhir di beberapa negara, termasuk Indonesia, merupakan representasi dari gerakan Islam dan mencerminkan sikap keseluruhan umat Islam, bangkitnya “persepsi lama” dalam masyarakat Barat tak gampang untuk dihentikan begitu saja. Masyarakat Barat sudah terlanjur menilai dan menyakini pelaku teror tersebut merepresentasikan umat Islam.
Kenyataan sejarah selama berabad-abad, dan kecenderungan politik yang terjadi di era sekarang, membuat Samuel Huntington misalnya, memprediksikan bahwa, “Suatu hal yang amat krusial dan mendasar tentang apa yang muncul di dalam politik global pada tahun-tahun mendatang, merupakan konflik yang ditimbulkan oleh perbedaan di antara dan di kalangan peradaban-peradaban.”
Jauh sebelum Perang Salib (Crusaders), kalangan Gereja sesungguhnya telah berupaya mengendalikan sedemikian banyak perilaku perang pada para pengikutnya, sehingga dibukalah gerakan Peace of God, yang dideklarasikan di Konsili Le Puy (975 M). Akan tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Menurut James T. Johnson, gerakan Peace of God, meskipun dimaksudkan untuk mereduksi kekerasan di Dunia Kristen, namun pada praktiknya telah membantu membentuk konteks sejarah yang menyebabkan Perang Salib menjadi suatu kemungkinan.
Terorisme dewasa ini, adalah terminologi yang dipropagandakan oleh Amerika Serikat dan para sekutunya dengan melekatkannya pada gerakan-gerakan Islam Politik dan Islam ideologis. Istilah ini awalnya dipopulerkan oleh majalah The Foreign Affairs. Sebelumnya aktivitas-aktivitas kekerasan dengan kebuasan yang melampaui batas untuk menimbulkan rasa takut luar biasa disertai jatuhnya korban secara acak dalam rangka mencapai tujuan politik, lebih sering disebut sebagai ‘urban querilla’ (gerilya kota). Ada nuansa heroisme dalam istilah ‘urban querilla’ ini, yaitu istilah yang memiliki arti perjuangan mencapai suatu cita-cita dengan cara gerilya. Tetapi, sejak awal 1990-an, istilah ini pelan-pelan lenyap dan digantikan dengan istilah terorisme yang disertai predikat istilah “Terorisme Islam”. Konon, semua ini diciptakan dengan maksud memprakasai dan membangun konflik internasional (baca: The Global War on Terrorist). Parick J. Buchanan dalam tulisannya, “Is Islam an Enemmy of The United States?” mengemukakan, “Bagi sebagian orang Amerika yang mencari musuh baru guna menguji coba kekuasaan setelah runtuhnya komunisme, Islam adalah pilihannya.”
Kenapa Islam menjadi pilihan? Jawabannya barangkali tidak dapat dilepaskan dari keinginan AS untuk tetap mempertahankan dominasinya di dunia. Setelah berakhirnya era Perang Dingin, Blok Timur runtuh, AS agaknya menilai bahwa dunia Islam adalah musuh potensial yang bakal mengganjal keinginan AS. Guru besar Sarah Lawrence College, Fawaz A. Gergez dalam buku “America and Political Islam” menyatakan, meski para peminpin AS menolak hipotesis Clash of Civilization, kebijakan AS pasca Perang Dingin memang sangat dipengaruhi oleh ketakutan adanya ancaman Islam (Islamist Threat). Hal ini diperkuat oleh pendapat kaum intelektual konfrontasionis seperti Bernard Lewis, Huntington, dan Liddle. Bahkan awal 1992, Presiden Israel sebagaimana dikutip The Guardian (19/6/1992) menyatakan, “Penyakit (Islam Fundamentalis) sedang menyebar secara cepat dan merupakan sebuah bahaya tidak hanya untuk masyarakat Yahudi, tetapi juga bagi kemanusiaan secara umum.”
Bila kita harus mengikuti hipotesa Huntington dalam “Benturan Antarperadaban”, kita akan dibawa pada sebuah kesimpulan adanya sekian banyak fakta yang secara otomatis, tanpa bisa ditolak, menciptakan jurang perbedaan di antara peradaban-peradaban, antara lain perbedaan pandangan hidup, dunia yang kian mengerucut oleh globalisme, proses modernisasi ekonomi dan perubahan sosial yang mengakibatkan tercerabutnya masyarakat dari akar identitas lokal, berkembangnya kesadaran peradaban (civilization consciousness) akibat peran ganda Barat, dan regionalisme ekonomi yang semakin meningkat. Huntington menyebutkan ada delapan peradaban besar, yaitu Barat, Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Slavik, Ortodoks, Amerika Latin dan Afrika. Pertanyaannya adalah peradaban manakah yang kemudian akan saling berbenturan secara vis a vis? Ia menjawab pertanyaan ini dengan memprediksi bahwa benturan tidak akan terjadi di antara kedelapan peradaban tersebut, namun potensi yang terbesar adalah antara Barat dengan koalisi Islam-Konfusius. Dan benturan ini menurutnya terjadi lantaran tiga hal pokok, yakni hegemoni arogansi Barat, intoleransi Islam, dan fanatisme Konfusionis. Tetapi sampai saat ini, Konfusionisme (pasca kebangkitan China) dipandang Barat sebagai sebuah peradaban masih dapat diajak berdialog dan memiliki sikap lebih terbuka.
AS memang tidak memerangi Islam (atau umat Islam) secara keseluruhan, tetapi lebih tertuju pada orang atau kelompok yang pikiran dan tindakannya bertentangan dengan AS, karena itu dikhawatirkan mengancam kepentingan AS. Pada awalnya, gerakan-gerakan Islam memang dikhawatirkan akan mengancam penguasa dari negeri Muslim yang selama ini tunduk pada AS dan mampu menjaga kepentingan AS di negerinya. Tetapi pada tahap selanjutnya, jika perkembangan gerakan Islam terjadi di mana-mana, dicemaskan pada akhirnya bakal mengancam kepentingan AS secara luas.
Apakah memang benar ajaran Islam adalah ajaran teror dan kekerasan? Atau benarkah teroris lebih banyak berasal dari kalangan yang mengaku Islam? Kenyataan sejarah membuktikan bahwa kekerasan yang dikaitkan dengan fundamentalisme tidak hanya berasal dari kalangan Muslim. Nuansa kekerasan fundamentalisme ada dan muncul dalam semua agama dan telah menjadi respon mengglobal terhadap ketegangan kehidupan di abad kita dan abad-abad sebelumnya. Menurut Karen Armstrong (2001: xi): Hindu radikal turun ke jalan-jalan untuk membela sistem kasta dan menentang Muslim India; kaum fundamentalis Yahudi melakukan penghunian ilegal di Tepi Barat dan Jalur Gaza serta bersumpah untuk mengusir semua orang Arab dari Tanah Suci mereka; “Moral Majority” yang dipimpin Jerry Falwell dan “Christian Right” yang menganggap Uni Sovyet sebagai kerajaan setan, mencapai kekuasaan yang hebat di Amerika Serikat selama tahun 1980-an. Maka, adalah kesalahan menganggap ekstremis Muslim sebagai ciri keimanan umat Muslim.
Sejarah Tuhan (baca: agama)—seperti yang diungkapan Karen Armstrong dalam bukunya “A History of God”—di seluruh muka bumi adalah sejarah kelam dan berdarah-darah. Ketika kelompok Syi’ah di Lebanon melakukan penyanderaan atas nama Islam, adakah orang-orang di Eropa dan Amerika yang secara alamiah terpukul oleh Islam, menyadari kalau perilaku tersebut bertentangan dengan peraturan penting yang tercantum dalam Al Qur’an tentang penahanan dan perlakuan terhadap tahanan?
Jika fundamentalisme tampak matang di dunia Muslim khususnya, mungkin ini semata-mata karena ledakan populasinya. Kelompok teroris Irlandia dan kelompok teroris Tentara Merah, sama sekali bukan dari kalangan Muslim. Pelarangan jilbab di Turki dan Perancis, bukankah juga teror sekaligus pelanggaran HAM? Mereka memang selalu membawa simbol agama, tetapi ajaran Islam sendiri sebenarnya sama sekali bukan agama yang bernuansa teroris. Seperti yang dikatakan Karen Armstrong, kejahatan teroris jangan disalahkan kepada agama Islam, karena justru merupakan perilaku yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islami yang luhur. Sangat banyak ayat Al Qur’an yang melarang kekerasan, pembunuhan dan perusakan di muka bumi ini. Allah menyamakan orang yang membunuh sesama manusia (kecuali dalam peperangan) sebagai seakan-akan telah membunuh manusia seluruhnya, artinya telah menghancurkan kemanusiaan (Al-Maidah: 32); Kutukan terhadap orang yang membuat kerusakan di muka bumi (Al-Maidah: 33, Al-Araf: 56); Bahwa Allah tidak menyukai kebinasaan (Al-Baqarah: 204-206); dan jika aksi teror itu khusus menimbulkan korban jiwa di kalangan Muslim (An-Nisa: 93). Selain ayat-ayat di atas, masih banyak lagi ayat yang membuktikan ajaran Islam sebenarnya anti terorisme.

Islam Harus Membaca Diri
Ada telaah menarik dari Amin Malouf dalam bukunya “In The Name of Identity”, di mana menurutnya dalam sejarah perbandingan dunia Kristen dan Islam, kita akan menemukan di satu sisi sebuah agama yang sejak lama intoleran dengan tendensi yang jelas pada totalitarianisme, tetapi secara berangsur-angsur berubah menjadi agama keterbukaan; dan di sisi lain, kita akan menemukan sebuah agama dengan watak keterbukaan yang berangsur-angsur terdorong menuju praktek-praktek yang intoleran dan totaliter.
Pertanyaannya adalah mengapa dunia Kristen (tidak selalu identik dengan Barat) yang memiliki tradisi panjang intoleransi dan selalu menganggap diri sulit hidup berdampingan dengan “yang lain” bisa menghasilkan sebuah masyarakat yang menghargai kebebasan berekspresi, sementara dunia Islam yang telah sejak lama menjalankan koeksistensi, kini justru terlihat seperti sebuah kantong fanatisme?
Mungkin jawaban sementara adalah dunia Kristen (tidak selalu identik dengan Barat) mau belajar dari sejarah gelapnya sendiri yang panjang dan berlumuran darah: sejarah Inquisisi, perang Katolik-Protestan, Perang Salib, permusuhan terhadap filsafat dan sains, dan banyak lagi. Pekatnya sejarah Gereja telah membuat umat Kristen terbuka matanya dan tergugah untuk mereformasi diri, di antaranya upaya Gereja Katolik Roma melalui Konsili Vatikan II tahun 1960-an, yang menghasilkan sebuah pandangan baru tentang dunia non-Kristen, di mana pandangan tak ada keselamatan di luar Gereja dan orang beragama lain adalah kafir dipertanyakan kembali secara kritis dan humanis.
Sedangkan Islam, pada perkembangannya justru melupakan sejarah yang penuh kedamaian dan keterbukaan seperti yang tersurat dalam Piagam Madinah, Kejayaan Istanbul di akhir abad 19 yang berisi penduduk mayoritas non-Muslim terutama Yahudi, Armenia, dan Yunani. Atau program penerjemahan besar-besaran dari tradisi Yunani, Persia, dan India yang menghasilkan kemajuan besar dalam sains dan filsafat pada abad ke 7-15 di Baghdad, Damaskus, Kairo, Cordova, dan Tunisia pasca runtuhnya kekhilafahan.
Jika bicara tentang dendam dan rasa sakit hati, justru Islamlah yang harus dipertanyakan, apakah sikap eksklusif dan intoleran yang dikembangkan oleh kelompok-kelompok fundamentalisme-radikal-literalnya bukan karena merasa termarjinalkan oleh hegemoni Barat dalam berbagai aspek kehidupan sosial-budaya-politik global, dan tidak bisa menerima titik balik peradaban?

Jihad adalah Perang?
Islam sesungguhnya memang bukan agama kekerasan, justru Islam merupakan sebuah agama yang berprinsip “rahmatan lil alamin”, menyebarkan perdamaian ke seluruh alam. Namun, Islam memiliki hukum-hukum yang memperbolehkan perang dengan dalih melindungi dakwah, kehormatan, harta, jiwa dan negeri kaum Muslim. Hukum-hukum itulah yang dikenal sebagai “jihad fi sabilillah”.
Para fukaha mendefinisikan “jihad fi sabilllah” sebagai pengerahan kekuatan untuk memerangi musuh dalam rangka meninggikan kalimat Allah, dengan peperangan langsung di medan pertempuran ataupun memberikan bantuan keuangan, logistik, bahkan pendapat-pendapat dalam strategi dan taktik, termasuk pidato yang membakar semangat para mujahidin agar siap menyongsong kemenangan dan mati syahid.
Dan di sinilah sebetulnya letak persoalannya. Ayat-ayat Al Qur’an maupun Al Sunnah seringkali dipahami secara hitam-putih dan asal-asalan—tanpa mau menerima dialog dalam jenis apa pun—oleh kelompok-kelompok fundamentalis-radikal-literal Islam. Mereka selalu melegitimasi kekerasan dengan berbagai ayat Qur’an dan Hadits untuk membakar tempat ibadah orang lain, menganggap darah non-Muslim (baca: kafir) adalah halal—demikian pula harta bendanya halal dirampas, menyerukan pembalasan dendam terhadap Amerika, ataupun mengobarkan semangat kebencian terhadap pihak-pihak yang berseberangan (termasuk terhadap kelompok-kelompok Islam yang lain). Kelompok-kelompok ini sulit untuk diajak berdialog bukan saja karena paradigma berpikir mereka yang sudah terkonstruksi sedemikian rupa, tetapi juga prinsip mereka yang “pokoknya…” Mereka seolah-olah mengklaim diri mereka sebagai pemilik kebenaran, antara lain dengan menghakimi kelompak lain dalam Islam sendiri yang mereka anggap sesat.
Hal semacam ini mungkin memang tidak mengherankan, bila kita mencermati sikap mereka dalam menafsirkan teks-teks agama yang condong ke pandangan hurufiah. Mereka juga suka mengoral retorika anti Barat yang sekaligus artinya anti Kristen. Padahal makna jihad yang sesungguhnya sangatlah berlawanan. Al Qur’an dan Al Sunnah mengisyarakan perang (angkat senjata) hanya jika umat Islam dalam posisi diserang dan semata-mata untuk membela diri, atau untuk melenyapkan kekufuran (fitnah) dan demi membela yang tertindas tanpa melihat agama mereka, sebagaimana yang dikatakan QS Al-Baqarah 2:190: “Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, tetapi janganlah kalian melampaui batas, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
Tetapi dalam memahami ayat-ayat Qur’an maupun Hadits mengenai permasalahan jihad seperti ini, kelompok-kelompok fundamentalis-radikal-literal tersebut kerap kali tidak pernah melihat latar belakang atau konteks yang mendasari turunnya ayat-ayat tersebut atau apa yang mendorong Rasulullah mengeluarkan kata-katanya. Mereka dengan gampang menafsirkan ayat-ayat jihad dan Al Sunnah, misalnya QS. At-Taubah 9:29 yang berbunyi: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan pada hari akhir, juga orang-orang yang tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya, tidak beragama dengan agama yang haq (benar), yaitu dari kalangan orang-orang yang telah diberikan kepada mereka al-Kitab sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedangkan mereka dalam keadaan tunduk” atau HR. al-Bukhari dan Muslim yang bunyinya: “Aku ini diutus untuk memerangi manusia hingga mereka mengatakan tidak ada tuhan yang patut disembah kecuali Allah serta mengimaniku. Jika mereka mengatakannya, berarti darah-darah dan harta mereka terlindungi dariku, kecuali atas hak-hak Islam.”, juga ayat “Bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kalian jumpai.” (QS At-Taubah 9:5), dengan melarang non-Muslim mendirikan tempat ibadah, membakar tempat-tempat ibadah non-Muslim, menyerang diskotik dan pub karaoke, atau pun membubarkan dengan paksa acara-acara yang digagas oleh kelompok yang mereka anggap musuh seperti yang baru-baru ini terjadi dalam rapat Papernas di Kaliurang, Yogyakarta. Belum lagi ayat-ayat seperti QS. Al-Baqarah 2:120 yang berbunyi: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kalian hingga kalian mengikuti agama mereka.” yang ditafsirkan dengan penuh kebencian dan dendam.
Pembacaan atas teks ayat-ayat Qur’an dan Hadits Nabi yang sepotong-sepotong, tidak melihat konteks, dan secara hurufiah, baik dengan sengaja ataupun lantaran “ketidaktahuan” semata oleh kelompok-kelompok Islam fundamentalis-radikal-literal inilah yang seyogyanya semakin menjerumuskan Islam ke dalam “persepsi buruk” yang dimaknai oleh Barat. Belum lagi mereka yang terjebak dalam fasisme-nostalgia kejayaan masa silam Islam di zaman kekhilafahan dengan mengembangkan cita-cita dan misi mendirikan negara Islam khilafah (Bandingkan dengan Benito Mussolini (Italia) yang mencita-citakan bangkitnya kejayaan Imperium Romawi di masa Perang Dunia II).
Mereka dengan terang-terangan menyerukan kepada umat Islam untuk berperang secara fisik, contohnya melawan AS, bukan sekadar seruan untuk menghujat dan mengutuk invasi AS. Bagi mereka, kaum Muslimin yang menyerukan perdamaian dan anti perang sama saja dengan kaum kafir yang meniupkan propaganda dan strategi licik untuk memberangus ajaran Islam yang mulia, yakni jihad dan futuhut untuk menaklukkan berbagai negeri. Ayat yang dipakai untuk melegitimasi hal ini adalah QS. At-Taubah 9: 29, sebagaimana yang telah dilakukan oleh sebagian kerajaan Islam di masa lampau. Padahal selama berabad-abad di Asia contohnya, para musafir dan pedagang Islam telah menunjukkan jalan dakwah yang lebih damai dan indah, yaitu jalan dagang.
Untuk menguatkan dalih, mereka misalnya mengutip tafsiran sekelompok ulama bahwa ayat 190 surat Al-Baqarah, di mana Rasulullah hanya memerangi (secara defensif) siapa saja yang memerangi beliau dan menghentikan perang terhadap orang yang tidak memerangi beliau, telah dihapus oleh surat At-Taubah ayat 5 yang berbunyi, “Perangilah kaum musyrik itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kalian semuanya.” Dengan ayat itu, jihad bagi mereka tidak lagi defensif semata, tetapi juga ofensif.
Karena itu, tuduhan Barat kalau Nabi Muhammad SAW adalah Nabi yang menyebarkan dakwah dengan pedang, sebagaimana yang ditampilkan dalam bentuk karikatur olok-olokan oleh media massa Denmark misalnya, bisa jadi merupakan akibat dari pemahaman “tak senonoh” kelompok-kelompok Islam fundamentalis-radikal-literal itu sendiri atas sosok Rasulullah yang “mereka cintai”.
Menurut mereka, kata “qital” merupakan bentuk “mashdar” (gerund) dari “fi’l qatala” (qatala, yuqatilu qital[an], muqatalat[an]) yang tidak bisa lain berarti perang secara fisik, dan merupakan makna jihad secara syar’i. Muhammad Khair Haykai menyatakan, bahwa pengertian syar’i dari jihad adalah “al-qital fi sabilillah bisyuruthihi” (jihad adalah perang di jalan Allah dengan berbagai ketentuannya). Lebih lanjut ia mengatakan bahwa jika kata jihad dinyatakan tanpa indikasi maka yang dimaksudkan adalah jihad dalam makna syar’i, yaitu perang fisik.

Penutup
Menurut saya, umat Islam harus lebih banyak melakukan intropeksi dan terus-menerus mewaspadai gerakan-gerakan di dalam tubuh Islam sendiri seperti yang dilakukan oleh kelompok-kelompok fundamentalis-radikal-literal tersebut, bila tidak ingin peradaban Islam semakin terpuruk dalam kebodohan dan ketinggalan maupun kian terjerumus ke dalam stigma “agama galak” yang dilemparkan oleh Barat.
Pandangan kelompok-kelompok fundamentalis-radikal-literal ini (tokoh Islam Liberal, Ulil Abshar-Abdalla menyebutnya sebagai “Islam Gembar-Gembor”, tetapi saya lebih suka menyebut “Islam Teriak-Teriak”) akan menjadi semakin berbahaya karena belakangan ini tampaknya gerakan mereka dalam menancapkan pemikiran maupun pengaruh ideologi kian intensif, konsisten, dan mendapatkan respon (baca: penerimaan).
Rasulullah SAW sendiri telah memperingati kita semua bahwa, “Sesungguhnya bukanlah Yahudi atau Nasrani yang akan menghancurkan Islam, tetapi umat Islam sendiri.” (HR. al-Bukhari-Muslim). Astaghfirullah!***


BAHAN BACAAN:
1. Huntington, Samuel P. Benturan Antarperadaban; Dan Masa Depan Politik Dunia. Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2003.
2. Zarkasyi, Hamid Fahmy. Memahami Barat. Jurnal ISLAMIA Vol. III No. 2.
3. Ismail, Abu. Di Balik Perang Salib Baru. Majalah al-wa’ie No. 31 Tahun III, 1-31 Maret 2003.
4. Amhar, Dr. Fahmi. Menyambut Perang Salib Baru. Majalah al-wa’ie No. 31 Tahun III, 1-31 Maret 2003.
5. Abdurrahman, A. Humam. Persekongkolan Para Penguasa Muslim. Majalah al-wa’ie, No.33 Tahun III, 1-31 Mei 2003.
6. Al-Khaththath, Muhammad. Jihad Adalah Perang; Tafsir Surat Al-Baqarah 190-191. Majalah al-wa’ie No. 33 Tahun III, 1-31 Mei 2003.
7. ______________, Al-Qital (Perang). Majalah al-wa’ie No. 33 Tahun III, 1-31 Mei 2003.
8. ______________, AS Memang Membidik Islam; Wawancara dengan Jubir HTI Muhammad Ismail Yusanto. Majalah al-wa’ie No. 60 Tahun V, 1-31 Agustus 2005.
9. Armas, M.A., Adnin. Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal. Jakarta: Gema Insani, 2003.
10. Armstrong, Karen. Perang Suci. Jakarta: Serambi, 20
11. Armstrong, Karen. Sejarah Tuhan. Bandung: Mizan, 2001.
12. Maalouf, Amin. In The Name of Identity. Yogyakarta: Resist Book, 2004.
13. Smith, Huston. Agama-agama Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.
14. Basya, Hilaly. Islam, Barat, dan Terorisme. www.cmm.or.id, 13 April 2007.

cerpen 4


BILUR BILUR UNGU,
KUDA YANG BERMATA BINTANG KEJORA

Cerpen: Sunlie Thomas Alexander



--Kenang-kenangan selalu kembali seperti hujan.
--Rindu itu berkelebat, bergeletar serupa lecutan pecut!
--Seekor kuda betina yang bermata bintang kejora, mengerjap-ngerjap…


MATANYA terus merayapi punggung perempuan-perempuan yang berseliweran itu. Membayangkan punggung-punggung kuning langsat yang terbuka dipenuhi bilur-bilur berwarna ungu. Terpentang molek dalam posisi telungkup di atas seprei beludru merah bermotif bunga-bunga chrysanthemun kuning. Ada yang memanjang lurus, ada yang berupa garis pendek, ada yang melengkung setengah lingkaran, ada pula yang menyerupai huruf S. Sering warna bilur-bilur itu masing-masing tidak sama: sebagian berwarna ungu tua, agak kehitaman. Sebagian lebih tepat disebut biru kemerah-merahan. Terkadang, bilur-bilur itu membentuk gradasi warna yang menarik. Dari warna tint ke warna hue. Terhampar menakjubkan menyerupai pulau-pulau di lautan luas bila dilihat dari ketinggian ribuan kaki dari jendela pesawat yang ia tumpangi.
Selalu ia menjadi bergairah. Terbakar tatkala membayangkan bilur-bilur itu. Seperti setiap kali ia melihat perempuan semampai berkulit kuning langsat, ia selalu teringat pada ibunya. Tepatnya ibu keduanya.
“Hati-hati Nak, sakit!” perempuan itu meringis seperti kepedasan tergigit cabe, ketika tangannya menggoreskan kapas basah berisi obat Thiat Ta Yok Chin ke punggung kuning langsat yang terpentang. Memoles satu demi satu bilur-bilur ungu di punggung yang semakin tak mulus itu. Tak jarang perempuan itu memekik bila tangannya menekan terlampau kuat. Terutama pada jalur-jalur bilur yang membengkak atau terkoyak merah. Itu pertanda ia harus mengurangi tenaga, memoleskan kapas lebih lembut.
Di matanya, perempuan yang sedang telungkup itu menggemaskan bagaikan boneka-boneka manekin di butik ayahnya yang sering ia telanjangi. Hal tersebut memang kerap ia lakukan jika pulang paling terakhir ketika semua karyawan sudah pulang, lantaran ia harus memeriksa buku keuangan. Manekin-manekin cantik itu ia kupas pakaiannya dan ia baringkan berjejer di lantai butik. Lalu sambil menikmati secangkir kopi hangat ia akan mempelototi manekin-manekin bugil itu selama berjam-jam. Dengan begitu, ia orgasme berulang kali. Tetapi manekin dengan bilur-bilur ungu di punggung itu terlampau menggairahkan. Tak jarang manekin itu menggeliat-geliat hebat apabila jari-jemarinya yang telaten menyusup terlalu jauh ke bawah. Mengikuti bilur yang memanjang ke balik kain yang melorot memperlihatkan sebaris lekuk di antara dua buah bokong besar yang terbalut celana dalam satin. Dan itu membuat darahnya berdesir panas.
Hujan masih berjatuhan. Namun tinggal berupa gerimis. Semakin tipis.
* * *
PEREMPUAN itu selalu menangis setelah ayahnya pergi. Dan sudah kebiasaan, jari-jarinya akan segera menyusut air bening yang meleleh dari sudut mata perempuan itu. Diperhatikannya sepasang mata yang tak begitu sipit itu lekat-lekat. Mata yang suka mengerjap-ngerjap. Begitu indah. Kemudian sepasang alisnya yang melengkung seperti pelangi. Tipis tapi cukup tegas. Hidungnya yang bangir, lalu sebentuk bibir yang mungil namun penuh. Juga sebuah tahi lalat kecil di bawah bibir itu. Ia selalu membanding-bandingkan wajah itu dengan wajah Dewi Kwan Iem dalam lukisan di sin thoi1. Keduanya memang memiliki pipi yang sama ranum, sedikit kemerah-merahan. Pada saat-saat seperti itu, wajah yang bersandar di bahunya tersebut akan terlihat bagaikan wajah kanak-kanak yang begitu polos. Lalu punggung itu, dengan bilur-bilur ungu yang begitu menakjubkan kembali terbuka. Lebih indah dari tatto bergambar apa pun. Untuk beberapa saat lamanya ia akan terpaku, menikmati bilur-bilur ungu yang mempesona itu. Merayapi sekujur punggung yang telungkup dengan sepenuh gairah…
Suatu pagi, setelah memoleskan kapas basah ke bilur-bilur ungu yang begitu banyak sehingga nyaris menutupi sekujur punggung kuning langsat itu ia temukan sepasang mata ibunya telah menjelma menjadi sepasang mata kanak-kanak. Menatapnya seperti seorang anak kecil yang merengek meminta jajanan.
--Mata itu mengundang. Penuh hasrat. Mengerjap.
“Temani ibu di sini, Nak.” Suara lirih perempuan itu membuatnya tak jadi beranjak membersihkan tangan dari obat Thiat Ta Yok Chin yang tajam menyengat. Ia hanya duduk di tepi ranjang berseprei merah dengan motif bunga-bunga chrysanthemun itu memandangi ibu keduanya yang tergolek dengan rambut tersanggul tinggi. Sementara hujan menggila di luar jendela. Dan ia terkejut ketika tiba-tiba suara lirih itu berubah menjadi suara ringkikan kuda.
Ia tak cukup siap ibunya akan berubah menjadi seekor kuda betina di hadapannya. Seekor kuda zebra yang liar. Tahu-tahu kuda itu sudah membawanya menjelajahi padang-padang sabana, melewati jeram dan tebing-tebing berbahaya. Sungguh, baru sekali itu ia begitu gembira. Ia tak menyangka akan mengalami petualangan yang begitu mendebarkan. Ia bayangkan dirinya menjadi seorang koboi seperti ayahnya atau koboi dalam film-film western. Ia memacu kuda itu melewati perkampungan-perkampungan Indian, kota-kota dengan deretan bar, dan tanah-tanah pertanian yang terbentang keemasan oleh gandum menguning. Itulah pengalaman pertamanya menunggang kuda. Tetapi ternyata ia bukanlah seorang koboi. Ia juga seekor kuda. Kuda jantan yang sama liar. Ia lupa, mereka sama-sama bershio kuda. Terpaut dua belas tahun.
--“Mata Ibu indah. Benar katanya, kayak bintang kejora.”
--“Jangan ikut sinting seperti dia!”
* * *
SEJAK itu ia menyukai segala hal yang berbau kuda. Film-film yang ada kuda, poster-poster, lukisan, berbagai ukiran, gambar-gambar kuda di majalah, juga mainan-mainan dan patung-patung kuda. Beragam jenis kuda, sampai kuda-kuda yang tak lazim: pegasus, unicorn dan centaurus. Tapi yang paling ia sukai adalah patung zebra. Kuda itu di matanya begitu indah karena memiliki garis-garis hitam yang melintang di sekujur badan. Ia memiliki puluhan koleksi patung kuda zebra itu. Dari yang terbuat dari timah, perunggu, kayu, tanah liat, sampai plastik.
Kemudian ia juga mempelajari sifat-sifat kuda. Ia hampir menghafal tahun-tahun kuda dalam kelender Imlek. Ia mengingat hari-hari kelahiran kuda-kuda di sekitarnya: ulang tahun ibu kandungnya almarhum, ibu keduanya, dan perempuan-perempuan bershio kuda yang pernah dekat dengannya. Dari tanggal, hari, dan bulan kelahiran itu, ia belajar memahami karakter kuda-kuda itu. Mendiang ibu kandungnya adalah seekor kuda Libra, kuda sirkus yang selalu menurut pada perintah ayahnya. Sedangkan ibu keduanya seekor kuda Aquarius. Kuda pacuan yang selalu tergantung pada ayahnya. Kedua ekor kuda itu sama-sama kuda yang tak berdaya. Ia sendiri merasa cukup bangga terlahir sebagai seekor kuda Aries; kuda yang kuat, pemberani dan bersemangat. Apalagi ia lahir di hari Jum’at. Hari yang berunsur api. Jadi ia kuda api. Kuda merah Dewa Kwan Ti yang dengan gagah perkasa menerobos benteng pertahanan musuh di bawah hujan ribuan anak panah. Namun sesungguhnya, ia tak pernah ingin menjadi seekor kuda pejantan. Ia ingin jadi koboi atau pendekar-pendekar dalam cerita silat klasik yang menunggang kuda sembrani. Itulah sebabnya ia benci pada ayahnya.
Ayahnya selalu membakar tiga batang hio di depan altar Dewi Kwan Iem sebelum mengeluarkan pecut kuda itu. Pecut yang begitu bagus dan ingin sekali ia miliki. Tetapi ayahnya marah, memakinya habis-habisan dan menamparnya. Ia tidak melawan tapi ada bara yang memercik di kedua matanya. Terasa begitu panas. Ia tinggalkan ayahnya yang sedang berlutut di depan sin thoi dengan geraham terkatup rapat.
Malam itu, sambil terlentang dengan mata nyalang, ia kembali mendengarkan suara-suara pecut itu melecut. Tar! Tar! Tar! Lalu terdengar suara derap kuda dipacu. Kuda itu meringkik-ringkik keras menerima lecutan ayahnya di punggung; membawa ayahnya melintasi padang-padang sabana. Ia merasa begitu iri pada ayahnya. Karena ayahnya adalah seorang koboi sejati. Ia membayangkan betapa indahnya padang-padang yang dilewati ayahnya itu. Malam itu, dan malam-malam lainnya, ia tak pernah dapat tidur bila suara pecut yang begitu merdu itu terdengar. Dia terus menyimak suara-suara lecutannya dan ringkik kuda dengan penuh gairah. Lalu ia mendengar suara ayahnya mendesah tertahan. Seperti menahan sesuatu yang hendak meletus.
--“Akh…!! Matamu seperti kerlip bintang kejora, Sayang…”
Dulu sekali, ia suka diam-diam mengintip setiap kali ayahnya memainkan pecut itu di atas punggung seekor kuda yang lain dari pintu kamar yang sedikit terkuak. Kuda itu tentu saja adalah jelmaan ibu pertamanya. Kuda itu memekik-mekik keras, kadang meraung dan mengeluarkan suara melolong tinggi. Tapi ayahnya terus melecutkan pecut ke punggung kuda itu dan memacunya dengan kencang. Ia ternganga dan mencoba membanding-bandingkan adegan dari sela daun pintu itu dengan film-film western yang pernah ditontonnya.
* * *
KINI ia memiliki pecut itu. Ia membawa pecut itu ke mana pun ia pergi. Ke luar negeri sekali pun, pecut itu selalu tersimpan dalam kopernya. Ia menggunakannya di kamar-kamar hotel berbintang lima, villa-villa di atas bukit dan tepi pantai. Setiap malam purnama lima belas Imlek, ia selalu mengasapi pecut itu dengan tiga batang hio seperti yang dulu selalu dilakukan ayahnya. Ia mengingat setiap ekor kuda betina yang pernah dilecutinya dengan pecut itu. Kuda-kuda yang meringkik-ringkik keras dengan sekujur punggung penuh bilur-bilur ungu. Ah, betapa indahnya melihat punggung-punggung mulus itu berubah warna oleh ujung pecutnya. Matanya selalu terbelalak takjub menyaksikan darah-darah yang bergumpal, kulit-kulit mulus yang lecet menjadi garis-garis keunguan. Tapi tidak seperti ayahnya, ia tak pernah dapat menjinakkan seekor pun dari kuda-kuda itu. Karena itu, ia menyimpan dendam pada ayahnya.
Dendam itu semakin membara bila ia terkenang pada seekor kuda betina yang mengkhianatinya. Kuda itu meninggalkannya pada suatu subuh ketika hujan turun rintik-rintik dengan membawa serta seekor anak kuda pejantan. Saat itu ia sedang tertidur lelap setelah semalaman menunggangi kuda itu melintasi padang-padang sabana, membuat lebih banyak bilur-bilur ungu pada punggungnya dengan pecut. Seharusnya ia tidak memilih kuda penarik kereta itu. Kuda Taurus egoisnya tinggi, tidak penurut. Meski kuda betina itu begitu sempurna anatominya.
* * *
IA memberi tanda dengan jentikan jari pada seorang pelayan cantik berkulit kuning langsat. Gadis muda berkepang kuda itu bergegas menghampiri mejanya dengan sebuah notes kecil. Sambil memperhatikan gadis itu mencatat di samping meja, ia kembali mencoba membayangkan punggung mulus si gadis terpentang lebar telungkup di atas ranjang. Tetapi lagi-lagi yang hadir malah sebentuk punggung yang lain. Punggung yang tak pernah dapat dilupakannya itu. Punggung yang paling menggairahkan yang pernah dilihatnya. Punggung dengan bilur-bilur ungu yang abadi.
Ia meninggalkan cafetaria hotel itu sambil mengutuk. Musik masih membawakan repotoar ‘Night in Tunisia’2. Angin malam yang dingin dan berembun segera menerpa wajahnya begitu kakinya berpijak di trotoar. Di bawah temaram lampu-lampu jalan, sosok perempuan-perempuan berkulit kuning langsat terus berkelebat, menggodanya dengan punggung-punggung. Tetapi ia hanya merindukan punggung kuda betina itu. Kuda yang pertama kali membawanya menjelajahi padang-padang sabana. Ia rindu sekali pada pagi-pagi yang paling mendebarkan itu, setelah ayahnya berangkat ke butik. Masih lekat dalam benaknya, lekuk-lekuk anatomi kuda zebra itu yang demikian sempurna. Leher dan kuduknya yang putih jenjang, bentuk tungkai kakinya yang panjang, pinggulnya yang lebar dan padat, ringkikannya yang merdu, dan petualangan-petualangan hebat yang mereka lalui.
Ia ingin sekali melecutkan pecut ke punggung kuda betina itu. Sekali saja. Tapi sungguh, hal itu belum pernah ia lakukan.
Hujan mulai berebahan lagi. Tapi ia terus melangkah, membiarkan seluruh tubuhnya larut bersama butir-butir air yang menderas. Menderas. Seperti kenangan yang kembali.
--Ah, kuda betina yang bermata bintang kejora…**

Pulau Bangka, 25 September 2004


CATATAN:
1. altar pemujaan dewa yang terletak di dalam rumah.
2. sebuah komposisi karya Dizzi Cillespie.

Saturday, September 22, 2007

puisi 2



USAI PERCINTAAN
—terkenang puspita sari

di kota ini, tak ada cinta
matahari merajam kangen kita

di minggu pagi yang gamang,
sudah lama aku tak lagi menggauli
tubuh tuhan yang birahi
dalam litani dan redup tabernakel
yang meminta kurban hati

riwayatku retak bersama puisi puisi
di halaman koran yang muram
tapi di sana,
mungkin tempat tuhan bergembira
dan lebih birahi bersenggama
dengan siapa pun yang mencari sunyinya
yang abadi!

karena itu, kutulis lagi tentangmu,
kisah percintaan kita yang sedih
: dan merasa ejakulasi terlalu dini

di kota ini, tak ada cinta
matahari merajam kangen kita
tapi tercium juga aroma kelaminmu;
samar samar sampai pada puisi
yang begitu sulit jadi

lalu kita sama menangis
karena rindu dan birahi,
ngungun meraba tubuh tuhan yang remuk
pada percumbuan terakhir
sebelum matahari mengeringkan mani
sebelum angin pagi membawa lari
aroma kelaminmu yang nyeri!

Yogyakarta, Agustus 2007


SEBUAH RUANGAN
: in memoriam,
thong sit jung (1917-1997)

sebuah ruangan
merawat kenanganmu
dalam haru
seperti bandul jam di pojoknya
yang urung berdentang itu

seekor cecak
merayap di dinding kayu kelabu,
menghilang ke balik lusuh kalender
yang senantiasa bisu

angka angka abadi
atau mati
kita mungkin tak sempat tahu

aku hanya menebak
kalau di luar, hari telah malam
dari ampas kopimu:
masa kanakku yang sarat ragu!

seperti apakah waktu?
bakal menyimpan sisa
percakapan kita
atau menjelma hantu
yang bangkit dari abu

barangkali, di ruangan itu pun
tak ada lagi yang kita kenali
selain masa lalu
dan melulu ditakdirkan
berwajah sendu

rumah berdinding rapuh,
kenangan batu,
masa kecil yang ragu
adakah yang lebih bengal
daripada rindu?

ah, betapa pilu, betapa pilu…
segalanya yang mengabu
juga dari keluh!

Yogyakarta, 2007


RIWAYAT PELADANG
SEBAGAI ANAK DAGANG
: buding

telah kau ukir riwayatmu
di tanah tembuni,
mimpi yang tumbuh seperti teluh
sementara orang orang mengepungmu
dengan mantra paling pilu
berserulah yang lantang, gebrak kudamu
menjemput ingatan yang diluputkan setan gagu
ke ladang, di ladang yang jauh...

celakalah kuda yang tak setia!
yang nyasar ke makam makam penuh tulah
bakal angslup tubuhmu dititah guna-guna

tapi gairahmu bergolak oleh nyanyian ibu,
nyanyian rindu di musim panen yang biru
maka kau pun menarik lagi kekang dan berpacu
berpacu! berpacu! ke muasal rindu,
ceruk mata ibu,
rongga waktu bagai goa batu!

bersama burung burung, kau bertapa
di rumpun-rumpun lada, doamu menjalar
di sekujur tubuh tanah moyang yang gembur
sabar menolak segala getir; rasa takut yang berhilir

berhilirlah ke ujung bumi, anakku!
hingga anyir seluruh tubuhmu, riwayatmu
hingga nyinyir cuaca di kampungmu
hingga gigil seluruh mambang yang diam di batu

ai, begitulah selalu ibumu, perempuan peladang itu
menembang; seduhan kopi bagi kepulanganmu
yang paling malang
pada sebuah malam yang paling absurd
tanpa kerdip bintang bintang

tapi karenanya, kau tak pernah sabaran
menunggu lada lada ranum di ladang,
menyelesaikan tapa hingga rampung
agar kampung selalu terberkati
oleh tangan malaikat tuhan

kudamu akan kembali berpacu, berpacu!
ke kampung kampung asing
yang dilupakan para peladang
ke kampung kampung pesing
yang dikencingi para pecundang
hingga suara tembang ibu yang penuh rindu
juga linu, lagi lagi menggodamu pulang
(kutafsir sebagai tandang!)

maka kau kuburkan hikayat bapak
di makam yang serapah
sembari menyangsikan
berkah malaikat tuhan,
kau busungkan dada ke arah rumah
yang tersembunyi di balik bukit bukit terjal
—dan waktu mengerang!

cukuplah ibu, kau nujumku berhilir
dengan kuda mabok yang tak kenal arah
sebab tubuhku kini seperti lilin,
bakal meleleh oleh durhaka
: tangismu lelah menginjak sanggurdi

sungguh kau ingin diam di ladang,
menjelang kopi di atas batu
hingga panen tiba dengan haru
atau kenapa tidak, ibu?
aku sempurna saja jadi anak dagang
yang lupa hari lebaran dan jalan pulang
dengan begitu, aku akan memetik juga
panen yang gemilang...
tanpa nyanyianmu di ladang
yang mengambang!

telah kau pahat riwayatmu yang gamang
di tanah ari ari
mimpi yang bangkit seperti mambang

Yogyakarta, Mei-September 2007

Foto: Bekas penambangan timah di Pulau Bangka

Saturday, September 15, 2007

cerpen 3


HUJAN! HUJAN!
Sunlie Thomas Alexander

“WAH, hujan turun lagi,” desah Yona mengulurkan tangannya keluar pagar besi pembatas balkon kamar hotel. Wajahnya tampak berseri-seri, sedikit merona merah. Cantik sekali. Gerimis bertetesan bagaikan helai-helai benang putih, kemudian membesar. Semakin deras. Seperti anak kecil, ia berjingkrak kegirangan lalu menadah air hujan dari cucuran atap dengan kedua belah telapak tangannya. Aku hanya memperhatikan saja tingkahnya dengan geli. Ia menoleh padaku sambil tertawa lebar, lalu menyapukan kedua belah tangannya yang basah ke wajah. Aku buru-buru menghindar ketika ia hendak mencipratkan air ke wajahku, “Yona, jangan!”
Ia tertawa cekikikan melihat pakaianku basah terkena cipratan air hujannya. Aku pura-pura merengut, “Kau seperti anak kecil saja!”
Yona mencibir. Matanya semakin berbinar-binar, begitu riang. Ia menyatukan kesepuluh jari tangannya dan merapatkannya di dada seperti orang berdoa. Atau mungkin ia berdoa benaran? Wajahnya sedikit tengadah, dengan mata terbuka nyalang ke langit yang kabur oleh larik-larik hujan.
Apa yang kau doakan, Sayang? Memohon hujan berkepanjangan atau tak kunjung berhenti? Tentunya kau tahu, hujan tak akan turun untuk sepanjang waktu1. Sebagaimana halnya kata pepatah lama yang suka kau kutip dengan sedih itu: “Tak ada pesta yang tak selesai!”
Yona memang menyukai hujan, sama halnya ia menyukai laut. Entahlah, selalu saja cerita tentang masa remaja yang manis (sekaligus menyedihkan) itu tumbuh dari mulutnya setiap kali ia mengemukakan alasan kenapa ia demikian suka pada hujan, juga laut.
Dan aku harus mahfum kalau sudah begini, setiap kali hujan turun saat kami sedang bersama seperti saat ini. Rela membiarkannya bersenang-senang sendiri, sementara aku kadang menahan keki karena merasa sedikit terabaikan.
“Dulu Iwan suka mengajakku berhujan!” teriaknya dengan wajah bersemu di tepi pantai itu. Dengan girangnya ia melompat-lompat di atas pasir. Ia menggeleng-geleng ketika kuajak menepi ke salah satu warung yang berjejeran di sepanjang pantai ketika hujan semakin membesar.
“Kau harus belajar menikmati enaknya mandi hujan!” serunya tak mau berhenti melonjak. Kurasa sejumlah mata memandang kami dengan geli.
“Tapi pakaian kita sudah basah kuyup. Ayolah!” aku menarik-narik tangannya, memaksanya menurut. Tapi ia menepis tanganku.
“Kita kan bisa bersalin? Atau kalau mau berteduh, pergi sana sendiri! Aku masih mau di sini,” ia ngotot. Dengan kesal aku pun berlari meninggalkannya ke salah satu warung terdekat. Aku benar-benar menggigil kedinginan.
Dari jauh, kulihat ia merentangkan kedua tangannya lebar-lebar ke samping. Menyatukan dirinya dengan hujan. Begitu cantik dan manis. Ia sungguh mirip seorang peri yang turun dari langit, bakal membuat setiap lelaki terpukau takjub atau jatuh cinta. Tapi kau tahu, lelaki... Ah!
Di tepi pantai itulah, aku mengenal Yona lebih dekat, mengenal rasa sakitnya, luka di dalam matanya yang indah. Kami bertemu di sebuah milis. Setelah beberapa waktu lamanya kemudian kami bersepakat membuat janji kopi darat. Aku menyukai wajahnya yang sedikit polos kekanak-kanakan, lesung pipit di kedua belah pipinya, kemanjaannya, juga kecerdasannya dalam memilih pakaian. Aku memang suka merasa konyol dalam memilih pakaian. Setiap kali belanja ke butik atau mall, aku selalu saja menjadi peragu yang sempurna.
“Tubuh Mbak akan lebih seksi kalau berani memakai pakaian ketat. Yang warna-warna cerah saja Mbak, biar kulit Mbak yang kuning langsat lebih menonjol,” komentarnya cerewet ketika kuajak belanja ke mall. Dan aku bagaikan kerbau dicocok hidungnya, hanya menurut saja, menerima pakaian-pakaian yang ia sodorkan. Meskipun terus terang sedikit risih juga ketika mencobanya di muka cermin dalam kamar pas. Ah, aku sudah beranak tiga, Yona!
“Pinggul Mbak keren!” desisnya norak sambil memelukku dari belakang, membuatku menggeliat geli.
“Dia pasti menyesal melihat penampilan Mbak sekarang...,” lanjutnya dengan tangan menyelinap ke perutku. Aku menepis tangannya dan melotot.
Yona masih mengulurkan kedua belah tangannya menadah cucuran air hujan dari atap. Entahlah, kenangan manis semacam apa yang sedang melintas lagi di dalam benaknya kali ini. Membuat wajahnya bersemu merah sedemikian rupa. Sebetulnya, ingin sekali aku menegurnya, agar tidak terus-terusan terbuai oleh kenangan itu, masa lalu yang hanya akan semakin menyiksanya, menambah luka di hatinya. Agar kesedihan tidak kembali menyergapnya setiap kali hujan berhenti. Kau tahu, di kala hujan mereda, selalu saja wajahnya seketika akan menjadi kusut pucat dan tubuhnya gemetaran. Hal mana yang selalu membuatku ikut bersedih. Tetapi aku tak pernah tega mengusiknya, membuyarkan kenangan manisnya...
“Mbak tidak akan meninggalkanku kan?” kerap kali ia akan menatapku seperti seorang anak kecil ketika hujan tinggal rintik-rintik. Aku hanya bisa tersenyum dan menyeka wajahnya dengan sapu tangan, “Tidak Yona, tidak akan...”
“Ah, dia dulu juga bilang begitu padaku!” ia menggigit bibir. Aku meraih kepalanya, merengkuhnya ke dalam pelukan dan membelai-belai rambutnya yang tergerai hitam legam. Ia menangis sesenggukan.
***
LARIK-larik hujan seperti tirai putih di pintu kamar pengantin setelah pesta yang melelahkan itu. Dan jantungku berdebar kencang ketika lelaki itu muncul di ambang pintu, menyibak tirai sambil tersenyum. Kedua tangan dan kakiku terasa dingin ketika dia duduk di sampingku di tepi ranjang. Tangannya mengusap punggungku dengan mesra, tapi justru membuatku gemetar. Antara takut dan malu, aku sedikit beringsut.
“Kenapa Lia?” Mas Eko menatapku sambil tersenyum lebar, tapi di mataku entahlah lebih mirip seringai liar. Tiba-tiba saja dia sudah mendorong tubuhku hingga terjerembab ke atas kasur. Tubuhnya begitu berat tatkala menindih tubuhku. Ingin sekali aku berteriak dan meronta tapi tentunya hal itu tidak kulakukan. Dia menciumku. Kemudian, kau tahu, aku menangis.
Seharusnya kami adalah keluarga kecil yang berbahagia. Ya, seharusnya. Meskipun aku selalu saja merasa diriku tak utuh lagi sejak malam pertama yang menakutkan itu. Ah, kami dikarunia tiga bidadari kecil yang cantik, cerdas dan periang...
Namun, “Mas harap kau bisa mengerti, Lia. Almarhum suaminya adalah teman baik Mas di kampung. Kasihan kedua anaknya masih kecil-kecil. Mas berjanji akan berusaha bersikap adil. Percayalah, Mas sangat mencintaimu, “ Mas Eko mengenggam tanganku dan menatapku tak berkerdip. Aku menunduk, tak sanggup menentang tatapannya yang teduh. Ah, barangkali aku memang terlampau lemah, tak pernah bisa membalas tatapan matanya. Tapi jantungku bagai bergemuruh. Darahku selaksa mendidih. Meskipun mati-matian kuredam, air mataku mengalir turun juga. Aku mengelak ketika tangannya mencoba mengangkat wajahku.
Perempuan muda itu akhirnya memang datang, tanpa aku berdaya menolak. Bahkan aku harus ikhlas duduk mendampinginya saat akad nikah, dengan memasang senyum yang manis. Harus kuakui dia begitu cantik, muda menggairahkan, walau sudah beranak dua. Kasihan, kata Mas Eko? Perempuan itu masih bisa mendapatkan selusin perjaka tanpa Mas Eko harus berepot-repot bermaksud menganyominya!
Apalagi kemudian kutahu, dari bisik-bisik dan gunjing, kalau perempuan itu sebenarnya pacar lama Mas Eko di kampung. Aku nyaris tak bisa mengendalikan diri melihat berbagai macam pandangan ibu-ibu yang tertuju padaku saat resepsi pernikahan itu. Ada yang tampak kagum, iba, sinis...
“Saya salut lho sama Mbak Lia, Jeng. Tidak semua perempuan bisa ikhlas dimadu,” aku terhenyak di pintu dapur ketika tanpa sengaja menguping kata-kata Bu Sri yang sedang sibuk mengatur hidangan bersama ibu-ibu lainnya itu.
“Emang Jeng yakin dia ikhlas? Saya malah yakin Mbak Lia sebetulnya sangat tertekan. Coba saja Jeng perhatikan baik-baik, dia agak kurusan dan pucat kan akhir-akhir ini? Ssstt, saya pernah lihat matanya berkaca-kaca lho?” aku tidak tahu lagi siapa yang menimpali kata-kata Bu Sri itu, air mataku keburu tumpah. Bergegas aku berbalik langkah dan lari ke kamar.
Aku memang tidak pernah sungguh-sungguh yakin kalau aku mencintai Mas Eko. Kami berkenalan ketika aku masuk pers mahasiswa. Saat itu aku semester empat dan Mas Eko adalah kakak kelas satu jurusan setingkat di atasku. Dia pimpinan redaksi tabloid kampus. Mungkin tak ada yang istimewa dari Mas Eko bagiku pada awalnya. Malah aku cenderung tidak mengubrisnya. Tapi dia gencar mendekatiku, begitu ngotot dan pantang mundur walau berkali-kali kutolak setiap kali dia menawari mengantarku pulang, membantuku mengerjakan makalah, sampai mengajak jalan-jalan.
Entahlah kenapa, akhirnya hatiku bisa luruh juga, padahal saat itu aku sedang dekat dengan Deni, anak Tehnik Pertambangan. Mungkin karena Mas Eko sosok laki-laki yang penyabar mirip almarhum bapakku, simpati, dan tutur katanya selalu halus meneduhkan. Ah, aku merindukan Bapak...
***
JANGAN menangis, Yona. Jangan menangis lagi. Hapus air matamu, kau tak pantas menangis untuk lelaki itu. Untuk lelaki mana pun! Kau boleh bermandi hujan atau mandi di laut sepuasmu, tapi jangan menangis lagi.
Ia menyusut air matanya dan memandangku dengan tatapan yang begitu mengiris hati. Aku mencoba tersenyum, meraih tubuhnya ke dalam dekapan dan menepuk-nepuk bahunya. Kukecup keningnya dengan lembut.
“Aku tidak bisa melupakannya, Mbak Lia...,” ia mengeluh tertahan, “Dia tak pernah berhenti mengusikku!” ia kembali menangis, “Padahal aku sudah berusaha keras! Mati-matian mengenyahkannya!”
“Kau masih mencintainya, Yona,“ bisikku prihatin. Ia mengangkat wajah, memandangku lekat-lekat dan menggeleng, “A-apa yang harus kulakukan, Mbak?”
Aku terdiam, bimbang. Apakah aku memang harus tetap menjadi iblis penggoda dengan terus-terusan menghembuskan api kebencian ke hatinya? Tapi bayangan wajah kenes perempuan itu yang cekikikan di samping Mas Eko di meja makan kembali membuat darahku naik ke ubun-ubun. Juga bayangan wajah Weni, putri bungsuku yang menangis tersedu-sedu menunjukkan kepala boneka barbie kesayangannya yang lepas.
“Bobby, Ma, Bobby yang mencopotnya...,” aduan Weni cukup membuatku melotot. Bukan sekali itu saja anak gendut perempuan itu menganggu dan membuat Weni menangis. Dia bahkan berani mematahkan bonsaiku dan memetik bunga-bunga mawarku yang tengah mekar dan menghambur-hamburkannya di teras. Bagiku, anak itu bukan hanya nakal, tapi juga kurang ajar dan tak tahu sopan santun, karena itu harus diberi pelajaran! Maka suatu hari ketika aku sedang membaca dan dia mondar-mandir terus di depanku menarik mobil-mobilannya sambil menirukan suara klakson, aku tak bisa lagi menahan diri untuk tidak menempelengnya. Tentu saja dia menangis dan mengadu pada ibunya. Kami bertengkar hebat. Dan seperti yang sudah kuduga, Mas Eko memang membela perempuan itu, “Anak-anak nakal itu biasa, Lia!”
Kutatap sepasang mata Yona yang berkaca-kaca. Rasa sakit itu begitu jelas tampak di dalam kedua bola matanya yang bening bagus.
“Kau harus terus berusaha membencinya!” kataku tegas, “Yang harus kau ingat adalah perbuatan buruknya padamu, pengkhianatannya, bukan kenangan-kenangan yang manis!”
“Tapi Iwan sebetulnya baik, Mbak! Dia hanya tak bisa menentang keinginan orang tuanya...,” wajahnya begitu memelas.
“Kalau dia benar-benar mencintaimu, dia harus berani melawan orang tuanya. Mungkin membawamu kawin lari!” aku semakin terbakar. Yona terbelalak.
Tapi ia terlalu lemah, ia terlalu manja. Ia sentimentil. Lagi-lagi air matanya meleleh. Dan entah untuk yang sudah keberapa kali, kembali ia mengulang-ulang ceritanya itu. Bagaimana ia berkenalan dengan Iwan di tepi pantai dekat rumahnya. Bagaimana lelaki itu kemudian setiap sore selalu bertandang ke tepi pantai untuk menemuinya. Lalu kisah-kisah manis itu pun tumbuh kian subur di antara mereka. Bagaimana mereka berlari-larian di tengah hujan sepanjang pantai. Berciuman di sela-sela batu karang atau naik perahu memancing, mengejar umang-umang, mandi di laut. Hingga sekian waktu lamanya!
Hujan kini menyisakan rintik-rintik kecil, meskipun langit belum sepenuhnya bersih dari awan gelap. Bunyinya di atap genteng mengingatkan pada sebuah konser sedih. Dan aku mengamsalnya sebagai reportoar musim gugurnya Antonio Vivaldi2 yang pernah dimainkan Yona beberapa waktu silam dalam sebuah pertunjukan kolaborasinya. Ia lulusan sebuah akademi musik dengan mayor piano...
Sungguh aku tak tega melihat wajahnya yang begitu murung. Bibirnya yang pucat membuka dan mengatup seperti kehabisan nafas. Kedua matanya masih saja menatapku dengan memelas, seolah minta dikasihani. Tapi pelukannya ke pinggangku semakin kencang. Kubelai pipinya dengan lembut, mengelus-elusnya. Tetap saja demikian cantik dan manis walau tak berdaya. Tiba-tiba darahku kembali berdesir panas, sesuatu yang selalu sulit kutahan itu kembali bergolak dalam tubuhku. Aku membalas pelukannya dengan tak kalah kencang. Dan tahu-tahu aku sudah meraup mulutnya, melumat bibir mungil yang pucat itu. Dengan penuh gelora!
Ah, gerimis kian menipis, semakin tipis...

Gaten, Yogyakarta, April 2007




Catatan:
1. Kata-kata ini pernah diucapkan tokoh Eric Draven yang diperani almarhum Brandon Lee dalam film terakhirnya “The Crow”.
2. Salah satu karya komposisi Antonio Vivaldi yang terkenal adalah “Four Season”, terdiri dari empat bagian: Summer, Winter, Autumn, dan Spring.