Wednesday, April 15, 2009

Dari Sorowajan Baru Yogyakarta





thanks to: Rif'an dan teman-teman Pendopo LKiS Sorowajan; Indrian Koto, Mutia Sukma, dan teman-teman Komunitas Rumah Poetika; Raudal Tanjung Banua dan Muh. Al Fayyadl selaku pembicara, serta Ahmad Kekal Hamdani sebagai moderator diskusi; Marya Yulita Sari yang telah berkenan membacakan cerpen, dan teman-teman Jurusan Teater ISI Yogyakarta; teman-teman UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta; teman-teman FBS UNY; teman-teman Pondok Pesantren Mahasiswa "Hasyim Asyari"; Tia Setiadi, Nur Wahida Idris, Bang Saut Situmorang; dan kalian tak tersebut satu persatu...

KOSMOLOGI SUNLIE

Esai Muhammad Al-Fayyadl*


Ini tahun, barangkali, adalah “tahun sastra Belitung”, tahun kejayaan (dan kebangkitan) sastra di gugus kepulauan terbesar di perairan Malaka itu. Betapa tidak, lihatlah Andrea Hirata dengan Laskar Pelangi-nya, yang membuatnya sontak terkenal dalam jagat baca-tulis Indonesia. Laskar Pelangi, yang belum lama ini diangkat ke layar sinema, dipuji oleh banyak pembacanya sebagai “karya paling inspiratif”, “menggugah perasaan”, “membangkitkan”. Penerbitnya bahkan menyebut buku ini, tanpa argumen yang perlu ditelaah lebih lanjut, sebagai “Indonesia’s most powerful book”, buku Indonesia yang paling bertenaga—sebuah hiperbola, tentunya.

Andai saja pembaca sastra adalah penyuka hiperbola dan megalomania, barangkali kita akan cukup membaca Laskar Pelangi dan terbius oleh spiritnya yang “optimistis”. Tetapi sastra bukan dunia yang seragam; dan keberagaman itu ditunjukkan dengan hadirnya Malam Buta Yin ini, karya Sunlie Thomas Alexander, yang ditulis juga dari Belitung (atau Belitong?), dengan latar dan spirit karya yang sama sekali berbeda.

Tentu saja Sunlie bukan Andrea, dan Sunlie tak hendak menjadi Andrea. Keduanya hadir berbeda, dengan titik tolak dan langgam yang berbeda. Jika prosa Andrea berupa serangkaian empat novel tebal yang disusun berantai, serupa kronik sejarah yang linear dan “programatis”, prosa-prosa Sunlie adalah cerita-cerita pendek yang sepertinya tak berpretensi menjadi “lengkap” dan “sudah”. Cerita-cerita itu ditulis dengan karakter dan pembawaan yang berbeda-beda, tanpa terbungkus satu alur yang sama. Cerita-cerita Sunlie memang tak sependek haiku atau minicerita Nukila Amal, yang jauh lebih eksperimental, tetapi cerita-cerita ini tetap tampil sebagaimana layaknya sebuah cerita yang berkisah. Cerita-cerita itu tetap tampil sebagai realisme yang wajar—tak seperti realisme Andrea yang “muluk” dan “melambung”.

Dan yang terpenting, keduanya—Andrea dan Sunlie—berangkat dari perspektif yang berbeda dalam memandang tradisi dan kekinian. Dalam prosa Andrea, kekinian adalah garis ujung yang didamba dengan penuh harap. Ia adalah dunia mimpi, tempat segala impian ditautkan. Sementara tradisi, hanyalah bagian dari masa lalu yang nostalgis, dan melupakannya menjadi keniscayaan jika orang ingin merasakan kekinian dan mengalami kemodernan. Hal ini berbeda dengan Sunlie: dunia dalam cerita-cerita Sunlie adalah kosmologi di mana kekinian justru menemukan maknanya dalam tradisi di masa lalu dan ingatan yang membayang di dalamnya.

* * *

Masa lalu itu pertama kali hadir bukan dalam artefak sejarah yang beku, dalam peninggalan purbakala di museum, tetapi di sebuah ruang pengap di loteng atas rumah tua, di mana “suara-suara menakutkan” kerap terdengar selepas tengah malam, “bergedebuk nyaring, mendesau, atau seperti derap kaki berlari”. Di situ seorang anak yang pernah tiap malam mendengar suara itu, dan ketakutan sendiri, mengenang seorang paman yang dicintainya, namun bergelagat aneh, menjadi majnun, dan hidup menyendiri berkarib dengan hantu-hantu. Sang paman telah bertahun-tahun hidup di atas loteng, menjauh dari pergaulan manusia. Semula, membaca cerita ini, kita tak akan tahu penyebabnya dan akan mengira bahwa ini hanyalah cerita hantu, sama seperti cerita-cerita horor lainnya. Namun baris demi baris, akhirnya kita mengerti kenapa sang paman begitu penyendiri. Ia di masa lalunya ternyata pernah terlibat konflik menyakitkan dengan sekelompok orang Melayu, yang pernah menghajarnya berkelahi karena ia, seorang Cina, tak layak mencintai gadis Melayu.

Konflik itu, sesuatu yang membekas dan traumatik. Dari ruang pengap di sebuah loteng, cerita ini membawa kita ke “ruang pengap” lain yang pernah terjadi di pojok sejarah di masa lalu, yang mengubah secara drastis kehidupan seseorang: ruang pengap ingatan. Ruang itu dibentuk dari ingatan tentang segregasi (sekaligus diskriminasi) yang memisahkan manusia karena latar puak dan identitasnya, Cina dan Melayu.

Meskipun menjejak sesuatu yang traumatik, namun cerita ini tidak terjatuh dalam sentimentalitas yang tak perlu (yang “mengharukan” seperti masa lalu dalam novel Andrea). Sunlie membawa kita ke sudut kenangannya yang lain sebagai anak-anak, ketika ia bersama pamannya sama-sama gemar mengoleksi poster film, sebuah hobi yang menyenangkan. Poster film, artis-artis cantik dalam poster-poster tersebut, Hollywood, “mobil tua Chevrolet pengiklan film dari bioskop”—adalah kenangan-kenangan kecil yang mempertemukan sang tokoh dan pamannya dalam suatu momen “kekinian”, momen kemodernan. Di sini, kekinian hadir sebagai penghibur bagi trauma masa lalu. Kekinian, atau yang lazim disebut “modernitas”, menjadi momen pelipur ketika masa lalu—yang sarat identitas primordial (“Cina”, “Melayu”)—tampak menyakitkan.

Jika Loteng, Poster Film, dan Secangkir Kopi menampilkan kenangan yang rumpang antara masa lalu yang menyakitkan dan yang menyenangkan, antara trauma perpisahan dan memori indah kebersamaan, dalam Khilin Batu, Jelaga Hio, dan Malam Buta Yin, kenangan itu berwujud legenda-legenda para leluhur yang hadir dalam kekinian sang tokoh. Legenda-legenda itu diwariskan dari mulut ke mulut, menjadi bagian dari sejarah lisan, dan tampak menjadi sesuatu yang meta-historis karena tak penting apakah ia benar atau sekadar kepercayaan.

Khilin Batu mengisahkan dua arca singa-naga yang menjaga rumah sang tokoh (“kau”) dan konon merupakan pemberian Dewa Erl Lang kepada leluhurnya. Sepasang arca bertubuh ganjil-bermuka mencekam ini, dipercaya, menjaga tuan rumah pemiliknya dari marabahaya dan lelembut jahat. Jelaga Hio menceritakan suasana di malam Pat Ngiat Chun Chiu, bulan kedelapan Imlek ketika dewa-dewa turun dari kahyangan ke bumi, dan umat merayakannya dengan sembah dan nyala dupa. Dan Malam Buta Yin mengangkat suasana mencekam di sebuah malam di bulan Chit Guwee, bulan ketujuh Imlek, di mana para lelembut dan roh jahat turun gentayangan ke muka bumi.

Sekadar mencoba menikmati legenda-legenda itu dari luar, kita akan menemukan betapa Sunlie memang tak ubahnya seorang etnografer ulung yang mahir membawakan dongeng-dongeng leluhurnya kepada kita sebagai pembaca modern. Dan, betapa kosmologi dalam prosa-prosanya mengandung anasir legenda yang sangat kuat, deskripsi yang cukup detail dan “fotografis”; dan betapa prosa-prosa itu dapat saja menjadi naskah antropologi, andai dapat digarap dengan lebih metodologis dan ilmiah.

Namun rupanya legenda-legenda itu bukan dimaksudkan untuk menceritakan fakta ilmiah, melainkan pengalaman manusia-manusia di baliknya; pengalaman-pengalaman perih yang juga traumatis. Khilin Batu mengungkap betapa si tokoh (“kau”) sesungguhnya membuat sepasang arca magis itu karena ingin mengenang mendiang istrinya yang mati sakit dan dua anaknya, A Lung dan A Hiung, yang mati dalam sebuah pertempuran. Maka, dua khilin batu itu tak lain adalah jelmaan dari ingatannya tentang dua anak kesayangannya itu.

Jegala Hio mengungkap bahwa ternyata di balik asap hio yang dinyalakannya di malam Pat Ngiat Chun Chiu, ada kemiskinan yang harus dihadapi sang tokoh, meski menurut keyakinan para tetua, konon ritual itu menjanjikan kemakmuran bagi pelakunya. Dan di balik Malam Buta Yin yang merupakan malam segala malam jahanam, malam yang konon sarat energi negatif dan penuh bencana, terdapat derita batin seorang Bibi Nio yang di masa remajanya pernah diperkosa oleh ayahnya sendiri di balik semak-semak, suatu pengalaman yang tak pernah diungkapkannya kepada siapa pun. Legenda-legenda itu, seperti dalam pengalaman kanak-kanak di Loteng, Poster Film, dan Secangkir Kopi, menyimpan kisahnya sendiri, kegetirannya, dan juga masa lalunya yang bisu atau dibisukan.

Sekalipun Sunlie sering kali bernostalgia dengan masa lalu, dengan tradisi yang membesarkannya beserta segenap kisah leluhur dan sejarah lisan yang terdeskripsikan dengan jelas, ia terkadang menyimpan kegelisahan tersendiri terhadap tradisi itu, yang diungkapkannya dengan nada kritis yang cukup tajam. Di Pintu Jenazah, ia menceritakan tentang kematian seorang wanita hamil, yang terpaksa—karena ketentuan adat—harus dibungkus dengan daun pisang, harus dibuatkan pintu darurat di tengah rumah (karena jenazahnya tabu lewat pintu rumah, pintu rezeki), dan harus dikubur apa adanya tanpa hiasan apa pun. Tabu-tabu moral itu tampak merupakan gangguan, penyimpangan, sekaligus hal yang mengusik dalam kosmologi ceritanya; tabu-tabu yang tampak tidak relevan untuk dipertahankan di masa kini.

Dalam mengurai kegelisahannya atas tradisi, kadang Sunlie memang tampak tak ubahnya seorang pemberontak yang bernada geram, walaupun sekuat-kuatnya ia memberontak, ia lebih sering tampil sebagai pemberontak yang berhati jinak, seorang pecinta yang romantis (misalnya dalam Sui Sien, Desember, dan Solicitous), seorang pengembara yang tenggelam dalam keterasingannya (Kota Kelahiran), atau seorang penikmat fantasi seksual yang sesekali tergoda pada hasrat Oedipal-Freudian (Bilur-bilur Ungu, Kuda yang Bermata Bintang Kejora). Dalam kosmologi Sunlie, selain kenangan yang indah sekaligus menyakitkan, ada cinta, kekerasan, keterasingan, dan sensualitas yang sering kali justru menggoyahkan kesetimbangan semestanya, membuatnya ngungun (seperti komentar Zen Hae di sampul buku), dan membuat kosmologi ini selalu menjadi semesta yang retak namun selalu coba dibangunnya kembali.

Sunlie tak selamanya berhasil membangun utuh kosmologinya, dan tak perlulah ia terobsesi untuk keutuhan itu. Dengan kembali ke masa lalu dan tradisi yang pernah membesarkannya, ia sudah cukup memperkaya kita, pembacanya, dengan salah satu khazanah Cina (Tionghoa) yang terlupakan di negeri ini, terlupakan karena sengaja dilupakan atau karena “politik pelupaan” yang membuatnya pelan tapi pasti sirna dan terlupakan. Namun, cukup beranikah ia untuk keluar dari khazanah tradisinya sendiri dan menantang khazanah dunia yang lebih ramai? Cukup beranikah pengarang ini melampaui identitasnya sendiri, menuju kosmologi sastra “pasca-Tionghoa”, melampaui garis-garis darah dan leluhurnya?***

*grammatolog sastra, tinggal di Yogyakarta.

Sumber: Jawa Pos Minggu, 12 April 2009

Catatan:
1. Tulisan ini disampaikan dalam acara "Diskusi & Bedah Buku Kumpulan Cerpen MALAM BUTA YIN karya Sunlie Thomas Alexander" di Pendopo LKiS Sorowajan Baru, Yogyakarta--Jumat, 10 April 2009, Pukul 19.30 WIB-Selesai.

2. Seharusnya Al Fayyadl menyebut sastra Bangka-Belitung (Baca: Provinsi Bangka-Belitung), bukan sastra Belitung. Karena Bangka dan Belitung merupakan dua pulau yang terpisah. Saya kelahiran Pulau Bangka, sedangkan Andrea Hirata yang dimaksud dalam esai ini berasal dari Pulau Belitung. (--penulis)


No comments: