Friday, April 18, 2008

esai

AHMAD WAHIB:
MENCARI ISLAM KONTEKSTUAL

(Sebuah Catatan Kecil)
Sunlie Thomas Alexander*

LUMEN GENTIUM, 16 (Konsili Vatikan II): Yesus tinggal di antara mereka yang datang kepadaNya tanpa mengenalnya; di antara mereka, yang setelah semula mengenalNya, telah kehilangan Dia bukan karena kesalahan mereka sendiri; di antara mereka yang mencariNya dengan ketulusan hati, walaupun berasal dari konteks budaya dan agama yang berbeda”.

SAYA pertama kali mendengar nama Ahmad Wahib saat masih duduk di bangku SMP. Ia hadir samar-samar sebagai seorang tokoh muda Islam yang nyeleneh dan konon simpati pada orang Katolik. Hingga suatu hari saya membaca sebuah esai kecil—tentu saja saya tak ingat lagi tulisan siapa—di Mingguan HIDUP, sebuah majalah intern umat Katolik yang diterbitkan oleh Keuskupan Agung Jakarta. Kebetulan di rumah, sejak saya masih SD, kakek saya memang berlangganan majalah tersebut. Dari esai kecil itulah, saya sedikit mengenal lebih jauh sosok Wahib: biografinya yang terkesan agak heroik dengan kematian yang tragis di usia muda, pemikirannya yang meresahkan sekian banyak orang Islam, dan tentu saja buku hariannya yang menghebohkan itu, ”Pergolakan Pemikiran Islam” (LP3ES, 1981).
Mungkin warisan darah pemberontak dari seorang ayah yang memutuskan menjadi agnostis, ditambah kondisi usia labil yang sedang berada dalam proses pencarian, saya dengan segera tertarik pada tokoh kontroversial ini. Bagi saya remaja, ia—sebagaimana sejumlah tokoh yang saya gandrungi saat itu (Chairil Anwar, Bruce Lee, dan Muhammad Ali)—sungguh berpotensi menjadi seorang figur yang penuh inspiratif. Meskipun sejalan dengan waktu, pengaruhnya terhadap saya tidaklah sebesar tokoh-tokoh yang lain.

Spirit Konsili Vatikan II
Saya tidak tahu, sejauh mana pengaruh semangat Konsili Vatikan II terhadap pemikiran-pemikiran Ahmad Wahib. Perlu kajian lebih lanjut untuk hal ini. Tetapi saya pikir, sedikit-banyaknya ’pandangan yang dirumuskan oleh Gereja Katolik Roma atas posisi Gereja (dan iman Katolik) di tengah kemajemukan umat beragama lainnya di dunia’ tersebut, cukup menjadi inspirasi bagi beberapa pemikiran Wahib. Paling tidak, seperti pengakuan aktivis HMI ini dalam buku hariannya ”Pergolakan Pemikiran Islam”, bertanggal 6 Oktober 1969: ”…Memang aku dahaga. Dahaga akan segala pengaruh. Karena itu kubuka bajuku, kusajikan tubuhku yang telanjang agar setiap bagian dari tubuhku berkesempatan memandang alam luas dan memperoleh bombardemen dari segala penjuru. Permainan yang tak akan pernah selesai ini sangat mengasyikkan”.
Spirit Konsili Vatikan II yang kemudian menjadi sikap resmi Gereja Katolik Roma dalam membangun hubungannya dengan agama-agama lain, termasuk mengembangkan dialog antariman ini, di antaranya barangkali cukup terlihat pada pemikiran Wahib tentang sekularisasi dan pluralisme agama.
Konsili yang dilaksanakan pada tahun 1969 itu sendiri merupakan sebuah sikap yang lahir ketika Gereja Roma menemukan kondisi sosial-budaya dan politik dunia pasca-kolonial yang telah jauh berbeda; di mana persinggungan umat manusia dari latarbelakang kebudayaan dan agama yang beragam telah berlangsung begitu intens dan kompleks seiring dengan perkembangan zaman, ditambah lagi kenyataan bahwa Barat tak lagi merupakan sentral perkembangan iman Katolik tetapi Gereja justru berkembang denga pesat di Dunia Ketiga.
Maka dalam sejarah pun, akhirnya kita menemukan kekristenan yang secara berangsur-angsur berubah menjadi sebuah agama yang sarat dengan keterbukaan dari sebuah agama yang memiliki tradisi panjang intoleran dengan tendensi yang jelas pada totalitarianisme; sementara di sisi lain Islam sebagai sebuah agama dengan watak keterbukaan justru perlahan terdorong menuju praktek-praktek yang intoleran dan totaliter, bagai dijangkiti sebuah penyakit konservatif yang akut.
Dan inilah salah satu hal yang menggelisahkan seorang Ahmad Wahib. Sebagaimana ia sempat mencatat bahwa, ”Dalam gereja mereka, Tuhan adalah pengasih dan sumber segala kasih. Sedang di masjid atau langgar-langgar, dalam ucapan dai-dai kita, Tuhan tidak lebih mulia dari hantu yang menakutkan dengan neraka di tangan kanannya dan pecut di tangan kirinya”. Tuhan yang menyapa manusia dengan hukum, bukan dengan cinta kasih.
Tentu saja kita harus memaklumi potret suram dunia Islam di zaman ini, ketika fanatisme kian tumbuh subur dan merebak di berbagai belahan bumi. Di mana, di tanah air misalnya, kelompok-kelompok fundamentalis-literel bermunculan sebagai wajah galak yang lahir akibat konsekuensi dari sebuah komunitas yang merasa termarjinalkan (oleh hegemoni Barat) dalam berbagai aspek kehidupan sosial-budaya-politik global, dan karenanya cemas menerima titik balik peradaban: mereka yang gembar-gembor meneriakkan formalisasi syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bagi saya, di sini ada kemiripan antara sosok Ahmad Wahib dengan Ingmar Bergman, yaitu seseorang yang memahami ”Tuhan sebagai beban”. Seseorang yang dalam hidupnya di mana Yang Maha Kuasa diwakili sosok angker sang ayah yang keras, yang kerapkali mengurung Ingmar kecil di ruang gelap.
Maka, kita pun menyaksikan pergulatan yang tidak mudah itu dalam film karya sutradara terkenal putra seorang pendeta Lutheran Swedia ini, ”Fanny och Alexander” (1983). Di mana Tuhan yang hadir di sana boleh dikatakan ibarat tiran, dan kemudian menjelma menjadi kesangsian sebagaimana yang divisualisasikannya lewat filmnya yang lain: Der Sjunde Inseglet (versi Inggris, The Seventh Seal, 1957): sebuah film yang bercerita tentang seorang ksatria bernama Antonius Block, yang pulang dari Perang Salib ke negerinya yang sedang diserang wabah dalam keadaan letih, murung, iman terguncang-guncang dan merasa dibayang-bayangi Sang Maut yang serupa topeng putih.
Block pun berada di ambang murtad; ketika tak ada ”pengetahuan” yang dapat menjamin adanya Tuhan sebenarnya dan menanggungkan Tuhan sebagai obsesi. Karena itulah, di depan seorang perempuan yang dihukum bakar karena dituduh sebagai penyihir penyebar sampar, Block hanya tertarik pada persoalan adakah pada saat kematiannya wanita itu melihat Tuhan. Sang ksatria bergeming membawa air untuk si terhukum. Justru Jöns—pembantu setianya yang mengiringinya dari Yerusalem—yang tak beriman, yang punya belas kasihan.
Kisah di atas mungkin tidak berarti banyak bagi kita yang menerima warisan agama begitu saja lantaran terlahir dari sebuah keluarga ”adem-ayam”, tempat agama (dan iman) menjadi sesuatu yang begitu mapan di hati dan pikiran. Tanpa gemuruh ombak.
Tetapi toh, hal ini tidaklah berlaku bagi seorang Wahib, yang dalam masa hidupnya yang singkat dipenuhi dengan beragam kegelisahan atas "persoalan-persoalan pinggiran" yang—oleh sebagian umat Islam—dianggap telah selesai dan tidak layak diwacanakan kembali itu. Begitulah setidaknya dapat kita baca dalam catatan permenungannya yang dijemput nyala api pro-kontra cukup sengit tersebut. Di mana persoalan-persoalan yang diolah Wahib mendaraskan pemikiran-pemikirannya dan (bisa dikatakan) memposisikan dirinya sebagai—meminjam Greg Barton misalnya: "an almost desperate seeker of truth”.
Bagi Bergman, memang tidak mudah melepaskan “beban”-nya tersebut, ia harus meruntuhkan “superstruktur keagamaannya yang berat ke atas” untuk menemukan kelegaan. Sedangkan Wahib dalam pergumulannya, kita tahu, memilih mengambil sikap "berkelahi dengan-Nya", sebagaimana kisah Yakub dalam Kitab Kejadian; di mana pada akhirnya pergumulan tersebut tak lain semata-mata untuk memperteguh keimanannya kepada Tuhan. Bukan sebuah serangan membabi buta atas iman.
Atau dalam kata-kata Wahib sendiri dalam tulisan bertanggal 6 Maret 1970: "gerakan pembaruan adalah suatu gerakan yang selalu dalam keadaan gelisah, tidak puas, senantiasa mencari dan bertanya tentang yang lebih benar dari yang sudah benar, yang lebih baik dari yang sudah baik... Peninjauan kembali terus-menerus pada pikiran-pikiran yang sudah ada karenanya merupakan suatu keharusan".
Dalam hal ini, apa yang ditekankan Wahib barangkali bisa dikatakan sebagai ajakan kepada para pembaru Islam saat itu untuk menjadi apa yang pernah dibahasakan Julia Kristeva sebagai "subyek-dalam-proses". Atau meminjam penyair-esais Goenawan Mohamad, "bukan saja dalam arti subjek yang belum rampung, tetapi juga subjek yang berada dalam keadaan diadili".
Karena itu, ”Pergolakan Pemikiran Islam”, barangkali adalah teks terbuka yang menuntut penafsiran dalam rangkaian ulang tafsir terus-menerus. Yang menuntut kita untuk mencoba menyemarakkannya kembali dengan menambal sulam retakan-retakan gugusan gagasannya yang masih dalam proses itu. Merayakan seruannya tanpa henti melalui—apa yang disebut Mikhail Bakhtin—"praksis eksotopi".

Sebuah proses pencarian Islam
Sekali lagi, saya tidak tahu sejauh mana pengaruh semangat Konsili Vatikan II atas pemikiran-pemikiran Ahmad Wahib yang oleh golongon konservatif-literel dianggap telah ”keluar dari Islam” itu. Yang jelas, seperti yang kita tahu dari buku hariannya, selama di Yogyakarta misalnya, ia tinggal di asrama mahasiswa calon pastor (frater) Realino, bergaul akrab dengan orang-orang Katolik, bahkan memiliki dua orang ”bapa angkat” yang pastor, yaitu Romo H.J. Stolk, SJ dan Romo Willem.
Karena itu, tidak mengherankan bila dalam buku hariannya misalnya, ia menulis: ”Aku tidak tahu, apakah Tuhan sampai hati memasukkan dua orang bapakku itu ke dalam api neraka”.
Tentu saja kita mafhum, ini sebuah pandangan Teologi Inklusif yang kemudian dikembangkan oleh Nurcholish Madjid—seorang pembaru Islam lain di Indonesia yang notabene dikenal dekat dengan Wahib—sebagai sebuah pemikiran teologi yang bangunan epistemologisnya diawali dengan tafsiran al Islam sebagai sikap pasrah ke hadirat Tuhan yang menjadi karakteristik pokok semua agama yang benar, sebuah world view al Quran bahwa semua agama yang benar adalah al Islam, yakni sikap berpasrah diri ke hadirat Tuhan. Tuhan yang transenden, yang mengatasi ruang dan waktu, kekuasan dan pemahaman manusia. Bukan Tuhan yang ingin direduksi dalam pemahaman formal-literel, di mana ia diberlakukan bak berhala. Dan karena itu menentang esensi doa, sebab—mengutip Goenawan Mohamad dalam sebuah ”Catatan Pinggir”-nya di majalah TEMPO—”dalam doa, kita tahu kita hanya debu”.
Ini adalah sebuah sikap yang juga menjadi landasan pemikiran Konsili Vatikan II; setelah dunia Kristen mencoba belajar dari sejarah gelapnya sendiri yang panjang dan berlumuran darah: praktek Inquisisi, perang Katolik-Protestan, Perang Salib, permusuhan terhadap filsafat dan sains, dan banyak lagi, sehinggga menghasilkan sebuah pandangan baru tentang dunia non-Kristen, di mana pandangan tak ada keselamatan di luar Gereja (Nulla Salus Extra Ecclessiam) dan orang beragama lain adalah kafir dipertanyakan kembali secara kritis dan humanis.
Bagi saya, Islam dalam pemikiran Wahib adalah sebuah agama yang problematis dan menyimpan sejuta tanda tanya. Ia dengan ekstrem menyoalkan dan mempertanyakan Islam yang oleh kalangan lain dianggap sebagai solusi, agama yang sempurna. Dalam pembacaan saya yang terbatas terhadap pemikiran Wahib, agaknya ada dua hal yang menurutnya menjadi problematika Islam. Pertama, problem yang berasal dari sumber primer Islam sendiri. Yaitu beberapa ajaran Islam, yang oleh Wahib tanpa segan-segan dikatakan jelek, tidak lebih baik dari sejumlah ajaran segelintir manusia. Tentu saja ini adalah sebuah pemikiran yang sangat berani. Karena mengatakan Islam memuat ajaran jelek sama saja dengan menantang doktrin keagamaan yang telah dianggap final. Yang baginya justru sebaliknya: bahwa ajaran Islam tidak final, namun perlu ditinjau kembali. Dan karena itu diperlukan akal bebas untuk memahami al-Quran dan Sunnah sehingga hakikat Islam dapat ditemukan. Berislam tidak cukup hanya dengan pemahaman harfiah, akan tetapi butuh pembacaan kritis terhadap monopoli tafsir terhadap Islam.
Sedangkan masalah kedua yang dimiliki Islam, menurut Wahib berasal dari luar, yaitu vakumnya tradisi filsafat dalam Islam. Kevakuman ini baginya telah menyebabkan lahirnya keislaman yang statis. Di mana sikap kita yang tidak berjarak pada doktrin keagamaan telah memunculkan “pemerkosaan” terhadap teks-teks keagamaan, yang pada gilirannya mencetak Muslim emosional.

Mengurai sejarah Nabi, menuju Islam Kontekstual
Ah, membaca Wahib, kita pun jadi teringat pada Polemik Sastra Kontekstual 1980-an, di mana para intelektual kita kembali mempermasalahkan orientasi nilai bangsa yang hendak dilepas apabila ingin masuk ke dalam modernitas: Barat atau Timur? Persoalan mana yang sebenarnya telah diperdebatkan sejak paruh 1930-an. Dalam kasus ini, para pengusung sastra konstektual menolak sastra universal yang dipandang berdasarkan tolak ukur sastra dunia; sastra yang tak terikat waktu dan ruang. Karena bagi kaum kontekstualis, sastra unversal tidak ada, kecuali sebagai kedok ideologis sastrawan yang hendak bergabung dengan kelas dominan. Yang ada hanyalah sastra kontekstual, yaitu sastra dengan muatan kesadaran kelas yang terikat pada golongan pembaca tertentu.
Wahib, menurut saya juga seorang penganjur konstektualisme, tentu saja dalam bentuknya yang juga berbeda. Karena—meminjam Nirwan Dewanto—setiap pembacaan atas teks keagamaan (Quran, Hadis) pada dasarnya adalah upaya menyingkap konteks yang melahirkan teks-teks tersebut, mencoba membongkar kuasa dan sejarah yang membuat tafsir hari ini membelenggu kita sebagai pembaca. Yang dalam hal ini, saya kira, kita akan menemukan sebentuk studi filologi yang membuat teks penuh dengan paradoks, yang mampu menggerakkan nalar dan kreativitas. Karena itulah, menurut Wahib, Islam telah dan harus diterjemahkan kepada konteks budaya setempat secara produktif, penuh analitis dan kreatif dengan sikap sebagai seorang manusia yang merdeka.
Maka ia pun mencoba menafikan Al-Qur’an dan Hadis sebagai dasar Islam. Di mana menurutnya sumber-sumber pokok untuk mengetahui Islam atau katakanlah bahan-bahan dasar ajaran Islam, bukanlah Qur’an dan Hadis melainkan Sejarah Muhammad. Bunyi Qur’an dan Hadis adalah sebagian dari sumber sejarah dari sejarah Muhammad yang berupa kata-kata yang dikeluarkan Muhammad itu sendiri. Sumber sejarah yang lain dari Sejarah Muhammad ialah: struktur masyarakat, pola pemerintahannya, hubungan luar negerinya, adat istiadatnya, iklimnya, pribadi Muhammad, pribadi sahabat-sahabatnya dan lain-lainnya.
Di sinilah, Wahib mencoba memahami teologi yang antrophosentris sekaligus teleologis, yang mengajarkan tentang manusia, sejarah dengan tujuannya. Di mana sekularisasi dilihatnya sebagai suatu realitas sosiologis tak terelakkan dan proses sejarah yang terus berkesinambung. Maka pembaharuan baginya haruslah bertolak dari manusia itu sendiri (masyarakat). Masyarakat harus menjadi mitra dialog utama dalam setiap pembaharuan Islam yang ditujukan bagi mereka.
Pada sisi lain, Ahmad Wahib memang memandang Islam sebagai agama merupakan sesuatu yang statis, abadi dan universal, yaitu Islam dalam artian sebagai Islam das Sollen atau Islam yang seharusnya, yang pada taraf ini ia adalah Islam yang sempurna, Islam yang ”shalih likulli al-zaman wa al-makan”, Islam yang memadai di mana dan kapan pun. Tetapi kesempurnaan Islam yang dimaksud Ahmad Wahib ini adalah Islam yang menjadi sumber moral yang mampu menggugah dan menerangi jiwa manusia. Bukan Islam barang jadi siap pakai, bukan pula Islam yang secara detail mengatur tingkah laku dan mengatur hukum-hukum kehidupan. Ia hanyalah titik tolak bagi munculnya berbagai perilaku dan hukum yang terbentuk menurut historical setting suatu masyarakat pada waktu dan tempat tertentu.
Karenanya, Islam semacam ini lebih kepada suatu model ideal, yang aplikasi terhadapnya harus disesuaikan dengan kehidupan manusia yang meruang dan mewaktu. Maka, menjalankan Islam sebagaimana masa lampau hendak dikaji ulang, kemodernan (baca: kontemporer) dalam menjalankan agama harus terus-menerus dipertimbangkan kembali. Dari sini nilai-nilai dan sistem Islam yang lama dianggap usang dan perlu diperbaharui. Agama dianggap tidak bermakna apa-apa jika pemahaman atasnya tidak diberangkatkan pada yang kontekstual (menyejarah). Bahkan pada taraf tertentu agama dibedakan dari praktik pergulatan antar manusia (sekularisasi).
Dengan dasar pemahaman seperti inilah, Wahib meyangsikan bahwa manusia akan menemukan Islam sebenar-benar Islam, atau Islam menurut pembuatnya sendiri, menurut Allah. Lantaran bagaimana pun kita adalah makhluk profan, yang meruang dan mewaktu, sedangkan Tuhan dan kalam-Nya adalah suatu hal yang transendental. Dengan demikian dalam dunia, manusia hanya mampu mendekati Tuhan dan mendekati Islam yang sejati itu, bukan meraihnya. Bentuk finalitas Islam dalam al Quran dan Hadis bukanlah Islam itu sendiri, sebab al Quran dan Hadis secara material merupakan hal yang profan juga, hasil sintesa problem kemasyarakatan dan respon umat dalam ruang dan waktu tertentu—meskipun dalam al Quran dan Hadis termuat nilai-nilai tertinggi (ultimate values) yang immortal sepanjang zaman dan berlaku di segala tempat. Tentunya, apa yang kita anut selama ini bukanlah Islam dalam pengertian Islam menurut Tuhan, melainkan Islam yang menyejarah, Islam versi kita.
Tetapi apa yang transenden dan yang ideal tersebut tentu saja harus terus-menerus didekati, dan dipikirkan cara mendekatinya. Memikirkan dan berusaha terus-menerus untuk mendekati yang transenden ini seyogyanya adalah tugas kemanusiaan sesuai fitrah kita. Namun karena batas yang tak diketahui, maka akal pun dituntut untuk berpikir sebebas-bebasnya dalam menafsirkan apa yang ideal dan transenden itu, untuk memungkinkan kontektualisasinya di dunia profan. Di sinilah, pada medan penafsiran, kita memperoleh bagian kita.
Dari pemikiran Ahmad Wahib ini, tampak jelas kalau ia hendak melakukan penegasan bahwa ada perbedaan antara agama dan konseptualisasi terhadap agama, ada perbedaan antara Islam dan pemikiran-pemikiran terhadapnya. Tetapi kesadaran seperti inilah yang kerapkali tak dimiliki oleh kebanyakan kaum Muslimin, sehingga mereka cenderung menganggap bahwa apa yang mereka pahami, itulah pemahaman menurut Tuhan.
Padahal kita tahu, kalau Wahyu turun berdasarkan historical setting. Dalam proses pencarian ”seorang anak Quraisy” yang cemas, takut sekaligus penuh kerinduan, kasmaran... Hal mana yang bagi kita di zaman ini, dapat juga berarti bahwa setiap pribadi, sesuai dengan keunikannya-lah yang sesungguhnya berhak menentukan dan menafsirkan ketentuan-ketentuan Tuhan bagi dirinya sendiri, di mana Aqidah, syari’ah, dan moralitas menjadi private concern.

aku telah nemukan jejak
aku telah mencapai jalan
tapi belum sampai tuhan

berapa banyak abad lewat
berapa banyak arloji pergi
berapa banyak isyarat dapat
berapa banyak jejak menapak
agar sampai padaMu?

Paling tidak demikianlah Sutardji Calzoum Bachri, presiden penyair itu meneriakkan puisinya di atas mimbar setelah meneguk bir sebagai sebentuk proses pencarian dan kerinduannya pada Tuhan. Kata-kata itu meluncur deras dari mulutnya serupa zikir. Tentu saja, tak setiap dari kita bisa dan siap menerima bahwa ini adalah sebuah refleksi iman. Namun saya harus bersepakat dengan Goenawan Mohamad, kalau kegelisahan dan kerinduan—pun sebagaimana yang diamalkan oleh Sutardji—memang sulit untuk betah dengan peta yang tersedia. Amir Hamzah misalnya, melukiskan hubungannya dengan Tuhan sebagai ”bertukar tangkap dengan lepas”. Menurut saya, inilah ijtihad; penafsiran yang berbeda-beda atas pedoman sesuai dengan tuntunan hati nurani setiap pribadi manusia—seperti yang dimaksudkan oleh Ahmad Wahib!
Karena itu, saya harus memaklumi kalau bagi seorang Sutardji dan Amir Hamzah, agama bukanlah semacam ”tasik dengan riak yang tenang”. Tuhan, memang bisa dijinakkan dalam aqidah, rumusan hukum, suntikan doktrin, tetapi toh, ia sesungguhnya tak akan pernah bisa dikerangkeng untuk tidak menemui kekasihNya yang majenun! Lewat pelbagai ragam cara dan rupa. Tingkah pola dan gaya. Pro eccelessia et creatio!***

Gaten, Yogyakarta, Maret 2008




No comments: