Friday, April 4, 2008

cerpen


Iblis
Sunlie Thomas Alexander


APAKAH waktu memang sudah membeku? Atau masih terus bertetesan seperti jam pasir? Apakah di luar sana dunia sudah berganti abad baru?

Ia mengintip dari kegelapan. Tak tampak apa-apa olehnya selain kepekatan yang menghampar. Malam seperti mengambang. Tapi ia tahu, di atas langit sana, bulan sedang penuh, tergantung seperti lentera. Dapat ia rasakan pancaran wibawanya, sebagaimana ia mengendus aroma busuk para makhluk liar dari alam tak kasat mata yang berabad-abad bersekutu dengannya. Juga para makhluk haus darah lain yang selalu berkeliaran di bawah terang purnama.

Ia mengusap wajah, bahu, dan kedua lengannya. Hm, masih saja mulus seperti dulu. Seperti malam itu, ketika tubuh sintal ini dipinjamnya di sebuah kedai kecil yang terletak di pinggiran kota. Kedai kecil yang hingar-bingar dengan musik, senantiasa ramai disinggahi lelaki-lelaki picisan berlagak koboi entah dari mana dan gadis-gadis belia yang tak pernah betah di rumah.

Malam yang celaka! Ia ingat benar bagaimana pemburu terkutuk yang membawa-bawa nama Tuhan itu menjebaknya dengan gambar Kunci Solomo. Ah, seharusnya ia tahu, malam itu ia tak perlu datang menanggapi panggilan di pertigaan jalan. Ia keliru kalau berpikir bahwa tubuh yang molek dan ranum ini bisa memperdaya si pemburu. Ia begitu yakin saat itu, entahlah. Padahal semestinya ia lebih waspada.

Diketuk-ketuknya dinding goa yang lembab. Tapi yang terdengar hanyalah gema berkepanjangan melewati gorong-gorong bercecabang di antara sesuara riak air di balik dinding. Terdengar berirama seperti sebuah lagu yang mengalun.

Begitulah. Barangkali ia memang terlalu meremehkan si pemburu. Tapi lantaran rasa angkuh atau dendam, ia justru begitu girang ketika menerima panggilan yang lamat-lamat dihantar angin malam itu. Ia berpikir itulah waktu yang tepat baginya untuk memusnahkan si pemburu setelah bertahun-tahun. Ya setelah bertahun-tahun ia dan kaumnya, peranakan cahaya yang lahir dari pancaran sang Bintang Fajar, merasa dipermalukan. Diperlakukan layaknya binatang buruan. Tapi lelaki separoh baya itu ternyata begitu licin, Kawan! Seperti ular tua di reranting pohon apel itu...

Tentu ia ingat kisah penciptaan. Waktu baru terbentuk, ruang baru terbentuk, juga udara, suara dan cahaya. Setelah menjadikan benda-benda, yang bernyawa dan tak bernyawa, Tuhan pun menjadikan manusia dari debu tanah yang kotor, menurut bayang-bayang-Nya sendiri yang dipantulkan cermin semesta. Hanya para malaikat yang bersenandung riuh, meniup nafiri purba. Sang Bintang Fajar menolak debu-debu kotor itu ditempatkan dalam kemuliaan Taman Eden, konon lantaran ia tahu keturunan sang manusia hanya akan membuat kerusuhan. Tuhan murka dan melemparkannya ke jurang maut, ke dasar kegelapan. Sang Bintang Fajar pun melesat jatuh seperti meteor, namun tersangkut di reranting pohon apel pertama di tepi taman itu lalu menjelma ular tua yang sangat berbisa.

Ia ngungun, masih menyimak suara riak air dari kegelapan. Satu-satunya suara paling setia yang menemaninya, seperti mengalir dari masa silam. Dari hulu waktu, dan bermuara entah di mana.

PASTI bakal mudah baginya mengalir keluar seperti air atau menguap seperti embun, jika saja sekeliling goa keparat ini tak ditaburi garam dan belerang, dua unsur alam yang entahlah, seolah memang ditakdirkan kosmos menjadi lawan segala kejahatan. Ya, kalau saja pada langit-langit goa di atas kepalanya tak ada gambar Kunci Solomo yang celaka. Ah, terkutuklah pengetahuan alkemi dan geometri yang telah membuat kekuatannya yang mengatasi ruang dan waktu laksana kabut tersapu hangat sinar matahari!

Ia menggerutu, kembali mengenang malam celaka di pertigaan jalan yang lengang itu, tak jauh dari kedai kecil. Ia muncul seperti bayangan di belakang si pemburu. Menyapanya dengan lembut. Pemburu terkutuk itu tampak agak kaget, mungkin tak menyangka ia akan muncul sebagai sesosok gadis belia yang begitu rupawan. Tapi hanya beberapa saat. Pemburu itu kemudian menatapnya tak berkedip, penuh kebencian. Ia tak gentar. Perlahan dihampirinya lelaki separoh baya itu dengan langkah ringan. Ia begitu yakin pemburu itu tak bakal menang. Bukankah saat itu tepat pukul tiga dinihari? Ketika jarum jam sedang berada pada posisi terbalik dengan waktu penyaliban Putra-Nya? Saat kekuatan gelap, kekuatan mereka yang sedingin ruang hampa tengah mencapai puncaknya...

Ia mondar-mandir di pelataran goa. Terkesiap ketika sesayup menangkap lagi suara lolongan sedih. Lolongan yang seolah-olah datang dari dasar kegelapan, dari sebuah tempat yang begitu jauh sekaligus seolah berasal dari dalam tubuhnya sendiri. Tentu ia segera mengenali suara lolongan pilu itu sebagai lolongan anjing kesayangannya. Anjing tanpa wujud yang ratusan tahun bersetia mengikutinya, menjemput jiwa-jiwa yang terjanjikan untuknya. Jiwa-jiwa yang tolol dan malang, yang berteriak-teriak tak mau mati ketika dijemput. Tapi mereka pulalah yang memanggilnya, mengadakan perjanjian dengannya pada malam-malam bulan mati di pertigaan jalan itu. Ia tidak ingat berapa jiwa yang telah diambilnya dari waktu ke waktu. Dari abad ke abad. Di berbagai tempat.

Bertahun-tahun ia memang selalu muncul ke pertigaan jalan yang lengang itu dalam beragam rupa. Memenuhi setiap panggilan. Membuat kesepakatan dengan orang-orang yang datang ke sana dan meletakkan selembar foto ke dalam kotak kayu berisi tulang-belulang binatang.

Ah, kota kecil itu hanyalah sebuah kota persinggahan. Begitu banyak orang yang bertandang dari berbagai penjuru dan pergi ke berbagai penjuru lain. Tentu, sekadar tinggal satu-dua malam kemudian meneruskan perjalanan entah ke mana. Tapi sebagian musafir itu mampir ke kedai untuk menghabiskan malam dengan beberapa botol bir atau secangkir kopi, menikmati musik dan bercengkrama dengan pelacur-pelacur belia. Begitulah pemilik kedai kecil itu menghidupi dirinya. Aha, ia lelaki kulit hitam, sudah tua tapi penuh humor. Ia terus mengenang.

Ia sendiri datang ke kedai kecil itu sebagai seorang pelaut separoh baya, tepatnya meminjam tubuh seorang pelaut lusuh yang telah lelah berlayar. Mereka senang mendengarkan bualannya dan membelikannya bir. Setiap malam ia selalu berceloteh kepada mereka, menuturkan beragam kisah petualangan sampai yang paling tak masuk akal. Para musafir itu tertawa terbahak-bahak, kadangkala terpukau takjub.

Tak lama kemudian mulailah beredar sebuah cerita: apabila kau datang ke pertigaan jalan lengang tak jauh dari kedai itu sekitar pukul tiga dinihari saat bulan mati dan menguburkan fotomu bersama tulang-belulang binatang dalam sebuah kotak kayu tepat di tengah-tengah pertigaan, maka akan muncullah seseorang--katakanlah seorang gadis atau pria muda yang rupawan atau bisa jadi seorang tua berwajah arif-bijaksana--yang bakal mengabulkan permintaanmu...

Tahun demi tahun pun berlalu.

KEMBALI ke malam yang celaka ketika ia masih menatap pemburu jahanam itu. Tepatnya, mereka saling menatap. Seolah saling mengukur kekuatan dan menebak pikiran masing-masing. Ia tersenyum tipis ketika menangkap kegelisahan di hati si pemburu. Ia mencoba membaca pikiran lelaki separoh baya itu, tapi si pemburu buru-buru menghalau usahanya dengan melafazkan doa-doa. Mungkin Bapa Kami atau Salam Maria, ia tak tahu. Dengan sabar, ia menunggu lelaki itu lengah.

"Apa kau datang kemari untuk mengadakan perjanjian denganku?" ia bertanya dengan suara kenes, "Atau hendak membunuhku?"

"Aku akan mengirimmu kembali ke neraka!" desis pemburu itu menatapnya tajam. Tapi nada suara lelaki itu terdengar bimbang. Ia menyeringai, menjilati bibirnya yang merah basah. Didengarnya detak jantung lelaki itu tak beraturan. Disibaknya rambut panjangnya dengan gerakan halus hingga lehernya yang putih jenjang terbuka menggoda.

"Dengarlah, aku tahu hasrat yang tersimpan di hatimu," ia berbisik lembut. Lelaki itu hanya diam. Udara demikian dingin.

"Aku bisa membawa anak-isterimu yang sudah mati hidup kembali," ia membujuk-rayu. "Kalau kau mau, kalian bisa berkumpul lagi..."

"Aku tidak akan tergoda, Pendusta!" rahang pemburu itu tampak mengeras.

"Aku tidak bohong. Kau tahu, aku bahkan bisa merasuki Sang Maut," ia mulai melangkah mendekati lelaki itu. Si pemburu tak bergerak, tapi tetap waspada. Ia tahu, di balik jaket kulitnya, pemburu itu menyimpan senjata api dengan peluru-peluru yang sudah direndam air suci. Tapi si pemburu tak bakal berani menembak tubuh gadis yang dikenakannya.

"Bagaimana?" ia mengulum senyum. Kedua mata pemburu itu membesar. Ia merasa hati pemburu itu sedikit goyah.

"Aku tetap akan memaksamu kembali ke neraka," si pemburu menggeram. Ia tertawa tergelak, hingga payudaranya yang tak sepenuhnya tersembunyi di balik gaun berleher rendah tampak berguncang. Jaraknya dengan lelaki itu kian kecil.

"Kau bisa saja melemparkanku ke neraka, tapi dengan mudah aku bisa keluar lagi," ia berkata, dan setiap langkah yang dibuatnya membuat pinggulnya bergoyang lembut, "Jadi pikirkanlah..."

"Tinggalkan tubuh gadis ini, atau...," pemburu itu tidak meneruskan kata-katanya.

Ia merasa kedua mata lelaki itu tertuju pada belahan dadanya yang membusung.

"Atau kau akan menyiramku dengan air suci? Menyemburku dengan garam? Atau kau tega menembak gadis cantik ini?" ia menyeringai. Merasa di atas angin. Kini ia telah berdiri begitu dekat di hadapan lelaki itu, jarak tubuh mereka tak lebih dari satu jengkal. Dapat dirasakannya deru nafas si pemburu yang tidak beraturan.

"Kalian manusia diciptakan untuk memilih," ia mengulum senyum nakal, "Dan aku memberimu pilihan."

Lelaki itu tidak menjawab, tapi menoleh ke jurusan lain lalu mendongak ke langit yang muram. Ia sudah tahu bakal mendengar pertanyaan itu. Ya, ia sudah tahu. Pertanyaan yang mungkin telah lama tersirat di hati si pemburu, yang melahirkan kebimbangan.

"Berapa lama kau beri aku waktu kalau aku terima tawaranmu?" suara si pemburu seperti tercekat. Aha! Ia tersenyum penuh kemenangan. "Sepuluh tahun, Sayang. Sepuluh tahun untukmu berkumpul dengan anak-isterimu. Cukupkah?"

Pemburu itu menatapnya dalam-dalam. Ia mengulurkan tangan. Dirabanya dada bidang lelaki itu dengan jari-jemarinya yang lentik, terasa benar degup jantung yang mengencang, terasa benar hati yang bimbang. Si pemburu tak berusaha menepis tangannya.

"Aku juga akan memberimu hadiah tubuh ranum ini," ia meliuk, hendak memeluk tubuh lelaki itu, tapi sekonyong-konyong tawa si pemburu pecah.

"Kau terjebak, Iblis!" si pemburu mencekal lengannya. Ia tersentak kaget, mencoba melepaskan tangannya tapi tenaga lelaki itu tiba-tiba begitu kuat. Ia terbelalak ketika memandang ke bawah. Di atas tanah, tepat di mana mereka berdiri, samar-samar tampak tergurat sebuah gambar bintang segi enam dengan dua lapis lingkaran di bagian tengah. Tentu, tentu ia segera mengenali perlambang yang tampak dibuat tergesa-gesa dengan sebatang ranting itu.

Sekujur tubuhnya lemas tiba-tiba.

APAKAH waktu bakal tetap mengeras seperti batu? Atau mulai meleleh lalu mengalir lagi serupa air, serupa darah. Atau, bukankah kadangkala pula waktu muncrat seperti semburan gas dari kedalaman tanah?

Lolongan anjing yang panjang memilukan itu masih terdengar. Kini semakin mencekam. Seperti mencabik-cabik perasaan siapa pun yang mendengarnya, membuat ciut nyali yang paling garang. Ia menyeringai kecil, merasa saatnya akan segera tiba. Tak lama lagi. Pemburu terkutuk itu mungkin sudah mati, tapi akan diburunya keturunan lelaki keparat itu biarpun tersebar di seluruh muka bumi.

Anjing setia itu terasa olehnya berada tak jauh darinya. Mungkin berkeliaran di sekitar goa. Atau mendekam di sebuah tempat menunggu saatnya tiba, sambil memberinya lolongan pilu setiap malam sebagai isyarat penanda. Mungkin anjing itu juga tak sabar lagi seperti dirinya. Sudah berapa lamakah binatang yang haus darah itu tak mencicipi darah segar korbannya?

Ia ingat pada jiwa terakhir yang ia ambil melalui anjing itu. Seorang pria santun bertampang tikus yang mabuk kasmaran pada seorang gadis pegawai toko bunga. Cintanya tak bersambut, dan pria itu bergegas menanggalkan iman yang dirawatnya susah payah dengan setiap minggu mengunjungi gereja, dan memanggilnya. Tentu, sekali lagi, cukup dengan selembar foto dan tulang-belulang binatang yang dimasukkan ke dalam kotak kayu lalu ditanam di pertigaan jalan itu. Seperti cinta dan benci yang menyatu. Dengan memelas, pria itu memohon pertolongannya untuk mendapatkan si gadis. Tak sulit baginya mengabulkan permintaan semacam itu. Sebulan kemudian pria tikus itu sudah mempersunting wanita pujaannya.

Ya, betapa ia akan selalu mengenang pertigaan jalan yang lengang itu, mengingat orang-orang malang yang bertandang di dinihari lalu menunggunya dengan harap-cemas di sana. Biasanya ia akan mengintai calon-calon korbannya terlebih dahulu sebelum muncul begitu saja seperti hembusan angin. Kau tahu, tentu ada kenikmatan tersendiri mengamati wajah-wajah gelisah tak sabaran para calon penghuni neraka itu. Menyaksikan mereka mondar-mandir dengan gugup, antara takut dan nekad.

BEGITULAH dulu. Sebelum waktu yang membeku di goa celaka ini mengurungnya. Ah, mungkin sebagian dari korbannya bukanlah orang-orang yang pantas masuk neraka. Mereka adalah orang-orang baik: pria-pria yang budiman, gadis-gadis yang lugu. Tapi Tuhan, Sang Maha Kuasa, kau tahu, kadangkala memang suka mengelak dari takdir yang dijatuhkan-Nya sendiri. Dan manusia justru sempurna karena kelemahannya menahan goda, namun beberapa di antaranya larut ke dalam uji-coba. Demikian ia kerap berwejangan, menghasut mereka.

Ya, ia mengingat betul sejumlah korban terakhirnya: seorang pemain blues yang tak kunjung diakui, seorang dokter muda yang dipecat dari rumah sakit karena membantu korban perkosaan menggugurkan kandungan, seorang remaja yang diusir orangtuanya dari rumah. Bahkan seorang padri. Betul, seorang pastor yang merasa diremehkan umat.

Ah, sebenarnya apalah beda seorang padri dan awam baginya? Bukankah seorang awam seperti pemburu terkutuk itu pun bisa membuat air suci dari keyakinan iman?

Diketuk-ketuknya dinding lembab goa yang merapuh. Anjing itu kembali melolong sedih di kejauhan. Agaknya waktu pelan-pelan memang mulai mencair, ia yakin. Ia mendongak ke langit-langit goa, melihat gambar Kunci Solomo di atas kepalanya yang tampak semakin pudar. Tubuhnya terasa kian segar, agaknya kekuatannya mulai kembali padanya. Tentunya taburan garam dan belerang di sekeliling goa celaka tempat ia disergap ini kian habis menguap. Ia akan segera keluar untuk membalas kekalahan. Dadanya berdebar, menunggu waktu sepenuhnya mencair lalu mengalir lagi.

Terakhir kali, masih sempat dikenangnya bagaimana pemburu terkutuk itu mengikat tangan-kakinya dengan tali yang basah terendam air suci lalu memasukkannya ke dalam sebuah karung dan membawanya kemari, sebelum tiba-tiba ia mendengar suara-suara bergemuruh. Ah, batu-batu berhamburan jatuh dari langit-langit goa yang runtuh! Suara lolongan anjing itu terdengar panjang melengking. Samar-samar, sekilas, dilihatnya bayangan bulan yang pucat pasi. Ketika angin kencang berhembus masuk ke dalam goa, serupa embun dirinya yang menguap perlahan-lahan... Ia tertawa hingga seluruh dinding goa bergetar keras dan batu-batu besar-kecil berjatuhan.

Ia tak tahu agaknya, kalau di luar sana ia akan segera berhadapan dengan pemburu-pemburu yang baru. Tapi sebagian di antaranya tak lagi membawa nama Tuhan. Apakah kau juga termasuk salah satu?

Malam begitu dingin. Langit seperti menggigil.***

Gaten, Yogyakarta, 2007-2008


Catatan
Bintang Solomo, bintang segi enam mirip Bintang Daud atau pentagram, yang konon dipercayai merupakan perangkap bagi iblis. Di dalam dua lapis lingkaran bagian tengahnya seringkali ada gambar kalajengking.

Bintang Fajar adalah sebutan untuk Lucifer (nama penghulu Iblis dalam tradisi lama Gereja). Kata "Lucifer" ini digunakan oleh Jerome di abad keempat ketika menerjemahkan Vulgata (Alkitab Latin) dari bahasa Ibrani. Heylel (Ibrani) adalah Bintang Timur alias planet Venus, sedangkan Ben Syakhar adalah Putra Fajar. Terjemahan bebas kitab Yesaya 14:12 dalam bahasa Latin itu berbunyi, "Wahai engkau jatuh dari langit Bintang Timur, Anak Fajar! Engkau dibuang ke bumi, di mana engkau mengalahkan bangsa-bangsa."



No comments: