Saturday, September 15, 2007

cerpen 3


HUJAN! HUJAN!
Sunlie Thomas Alexander

“WAH, hujan turun lagi,” desah Yona mengulurkan tangannya keluar pagar besi pembatas balkon kamar hotel. Wajahnya tampak berseri-seri, sedikit merona merah. Cantik sekali. Gerimis bertetesan bagaikan helai-helai benang putih, kemudian membesar. Semakin deras. Seperti anak kecil, ia berjingkrak kegirangan lalu menadah air hujan dari cucuran atap dengan kedua belah telapak tangannya. Aku hanya memperhatikan saja tingkahnya dengan geli. Ia menoleh padaku sambil tertawa lebar, lalu menyapukan kedua belah tangannya yang basah ke wajah. Aku buru-buru menghindar ketika ia hendak mencipratkan air ke wajahku, “Yona, jangan!”
Ia tertawa cekikikan melihat pakaianku basah terkena cipratan air hujannya. Aku pura-pura merengut, “Kau seperti anak kecil saja!”
Yona mencibir. Matanya semakin berbinar-binar, begitu riang. Ia menyatukan kesepuluh jari tangannya dan merapatkannya di dada seperti orang berdoa. Atau mungkin ia berdoa benaran? Wajahnya sedikit tengadah, dengan mata terbuka nyalang ke langit yang kabur oleh larik-larik hujan.
Apa yang kau doakan, Sayang? Memohon hujan berkepanjangan atau tak kunjung berhenti? Tentunya kau tahu, hujan tak akan turun untuk sepanjang waktu1. Sebagaimana halnya kata pepatah lama yang suka kau kutip dengan sedih itu: “Tak ada pesta yang tak selesai!”
Yona memang menyukai hujan, sama halnya ia menyukai laut. Entahlah, selalu saja cerita tentang masa remaja yang manis (sekaligus menyedihkan) itu tumbuh dari mulutnya setiap kali ia mengemukakan alasan kenapa ia demikian suka pada hujan, juga laut.
Dan aku harus mahfum kalau sudah begini, setiap kali hujan turun saat kami sedang bersama seperti saat ini. Rela membiarkannya bersenang-senang sendiri, sementara aku kadang menahan keki karena merasa sedikit terabaikan.
“Dulu Iwan suka mengajakku berhujan!” teriaknya dengan wajah bersemu di tepi pantai itu. Dengan girangnya ia melompat-lompat di atas pasir. Ia menggeleng-geleng ketika kuajak menepi ke salah satu warung yang berjejeran di sepanjang pantai ketika hujan semakin membesar.
“Kau harus belajar menikmati enaknya mandi hujan!” serunya tak mau berhenti melonjak. Kurasa sejumlah mata memandang kami dengan geli.
“Tapi pakaian kita sudah basah kuyup. Ayolah!” aku menarik-narik tangannya, memaksanya menurut. Tapi ia menepis tanganku.
“Kita kan bisa bersalin? Atau kalau mau berteduh, pergi sana sendiri! Aku masih mau di sini,” ia ngotot. Dengan kesal aku pun berlari meninggalkannya ke salah satu warung terdekat. Aku benar-benar menggigil kedinginan.
Dari jauh, kulihat ia merentangkan kedua tangannya lebar-lebar ke samping. Menyatukan dirinya dengan hujan. Begitu cantik dan manis. Ia sungguh mirip seorang peri yang turun dari langit, bakal membuat setiap lelaki terpukau takjub atau jatuh cinta. Tapi kau tahu, lelaki... Ah!
Di tepi pantai itulah, aku mengenal Yona lebih dekat, mengenal rasa sakitnya, luka di dalam matanya yang indah. Kami bertemu di sebuah milis. Setelah beberapa waktu lamanya kemudian kami bersepakat membuat janji kopi darat. Aku menyukai wajahnya yang sedikit polos kekanak-kanakan, lesung pipit di kedua belah pipinya, kemanjaannya, juga kecerdasannya dalam memilih pakaian. Aku memang suka merasa konyol dalam memilih pakaian. Setiap kali belanja ke butik atau mall, aku selalu saja menjadi peragu yang sempurna.
“Tubuh Mbak akan lebih seksi kalau berani memakai pakaian ketat. Yang warna-warna cerah saja Mbak, biar kulit Mbak yang kuning langsat lebih menonjol,” komentarnya cerewet ketika kuajak belanja ke mall. Dan aku bagaikan kerbau dicocok hidungnya, hanya menurut saja, menerima pakaian-pakaian yang ia sodorkan. Meskipun terus terang sedikit risih juga ketika mencobanya di muka cermin dalam kamar pas. Ah, aku sudah beranak tiga, Yona!
“Pinggul Mbak keren!” desisnya norak sambil memelukku dari belakang, membuatku menggeliat geli.
“Dia pasti menyesal melihat penampilan Mbak sekarang...,” lanjutnya dengan tangan menyelinap ke perutku. Aku menepis tangannya dan melotot.
Yona masih mengulurkan kedua belah tangannya menadah cucuran air hujan dari atap. Entahlah, kenangan manis semacam apa yang sedang melintas lagi di dalam benaknya kali ini. Membuat wajahnya bersemu merah sedemikian rupa. Sebetulnya, ingin sekali aku menegurnya, agar tidak terus-terusan terbuai oleh kenangan itu, masa lalu yang hanya akan semakin menyiksanya, menambah luka di hatinya. Agar kesedihan tidak kembali menyergapnya setiap kali hujan berhenti. Kau tahu, di kala hujan mereda, selalu saja wajahnya seketika akan menjadi kusut pucat dan tubuhnya gemetaran. Hal mana yang selalu membuatku ikut bersedih. Tetapi aku tak pernah tega mengusiknya, membuyarkan kenangan manisnya...
“Mbak tidak akan meninggalkanku kan?” kerap kali ia akan menatapku seperti seorang anak kecil ketika hujan tinggal rintik-rintik. Aku hanya bisa tersenyum dan menyeka wajahnya dengan sapu tangan, “Tidak Yona, tidak akan...”
“Ah, dia dulu juga bilang begitu padaku!” ia menggigit bibir. Aku meraih kepalanya, merengkuhnya ke dalam pelukan dan membelai-belai rambutnya yang tergerai hitam legam. Ia menangis sesenggukan.
***
LARIK-larik hujan seperti tirai putih di pintu kamar pengantin setelah pesta yang melelahkan itu. Dan jantungku berdebar kencang ketika lelaki itu muncul di ambang pintu, menyibak tirai sambil tersenyum. Kedua tangan dan kakiku terasa dingin ketika dia duduk di sampingku di tepi ranjang. Tangannya mengusap punggungku dengan mesra, tapi justru membuatku gemetar. Antara takut dan malu, aku sedikit beringsut.
“Kenapa Lia?” Mas Eko menatapku sambil tersenyum lebar, tapi di mataku entahlah lebih mirip seringai liar. Tiba-tiba saja dia sudah mendorong tubuhku hingga terjerembab ke atas kasur. Tubuhnya begitu berat tatkala menindih tubuhku. Ingin sekali aku berteriak dan meronta tapi tentunya hal itu tidak kulakukan. Dia menciumku. Kemudian, kau tahu, aku menangis.
Seharusnya kami adalah keluarga kecil yang berbahagia. Ya, seharusnya. Meskipun aku selalu saja merasa diriku tak utuh lagi sejak malam pertama yang menakutkan itu. Ah, kami dikarunia tiga bidadari kecil yang cantik, cerdas dan periang...
Namun, “Mas harap kau bisa mengerti, Lia. Almarhum suaminya adalah teman baik Mas di kampung. Kasihan kedua anaknya masih kecil-kecil. Mas berjanji akan berusaha bersikap adil. Percayalah, Mas sangat mencintaimu, “ Mas Eko mengenggam tanganku dan menatapku tak berkerdip. Aku menunduk, tak sanggup menentang tatapannya yang teduh. Ah, barangkali aku memang terlampau lemah, tak pernah bisa membalas tatapan matanya. Tapi jantungku bagai bergemuruh. Darahku selaksa mendidih. Meskipun mati-matian kuredam, air mataku mengalir turun juga. Aku mengelak ketika tangannya mencoba mengangkat wajahku.
Perempuan muda itu akhirnya memang datang, tanpa aku berdaya menolak. Bahkan aku harus ikhlas duduk mendampinginya saat akad nikah, dengan memasang senyum yang manis. Harus kuakui dia begitu cantik, muda menggairahkan, walau sudah beranak dua. Kasihan, kata Mas Eko? Perempuan itu masih bisa mendapatkan selusin perjaka tanpa Mas Eko harus berepot-repot bermaksud menganyominya!
Apalagi kemudian kutahu, dari bisik-bisik dan gunjing, kalau perempuan itu sebenarnya pacar lama Mas Eko di kampung. Aku nyaris tak bisa mengendalikan diri melihat berbagai macam pandangan ibu-ibu yang tertuju padaku saat resepsi pernikahan itu. Ada yang tampak kagum, iba, sinis...
“Saya salut lho sama Mbak Lia, Jeng. Tidak semua perempuan bisa ikhlas dimadu,” aku terhenyak di pintu dapur ketika tanpa sengaja menguping kata-kata Bu Sri yang sedang sibuk mengatur hidangan bersama ibu-ibu lainnya itu.
“Emang Jeng yakin dia ikhlas? Saya malah yakin Mbak Lia sebetulnya sangat tertekan. Coba saja Jeng perhatikan baik-baik, dia agak kurusan dan pucat kan akhir-akhir ini? Ssstt, saya pernah lihat matanya berkaca-kaca lho?” aku tidak tahu lagi siapa yang menimpali kata-kata Bu Sri itu, air mataku keburu tumpah. Bergegas aku berbalik langkah dan lari ke kamar.
Aku memang tidak pernah sungguh-sungguh yakin kalau aku mencintai Mas Eko. Kami berkenalan ketika aku masuk pers mahasiswa. Saat itu aku semester empat dan Mas Eko adalah kakak kelas satu jurusan setingkat di atasku. Dia pimpinan redaksi tabloid kampus. Mungkin tak ada yang istimewa dari Mas Eko bagiku pada awalnya. Malah aku cenderung tidak mengubrisnya. Tapi dia gencar mendekatiku, begitu ngotot dan pantang mundur walau berkali-kali kutolak setiap kali dia menawari mengantarku pulang, membantuku mengerjakan makalah, sampai mengajak jalan-jalan.
Entahlah kenapa, akhirnya hatiku bisa luruh juga, padahal saat itu aku sedang dekat dengan Deni, anak Tehnik Pertambangan. Mungkin karena Mas Eko sosok laki-laki yang penyabar mirip almarhum bapakku, simpati, dan tutur katanya selalu halus meneduhkan. Ah, aku merindukan Bapak...
***
JANGAN menangis, Yona. Jangan menangis lagi. Hapus air matamu, kau tak pantas menangis untuk lelaki itu. Untuk lelaki mana pun! Kau boleh bermandi hujan atau mandi di laut sepuasmu, tapi jangan menangis lagi.
Ia menyusut air matanya dan memandangku dengan tatapan yang begitu mengiris hati. Aku mencoba tersenyum, meraih tubuhnya ke dalam dekapan dan menepuk-nepuk bahunya. Kukecup keningnya dengan lembut.
“Aku tidak bisa melupakannya, Mbak Lia...,” ia mengeluh tertahan, “Dia tak pernah berhenti mengusikku!” ia kembali menangis, “Padahal aku sudah berusaha keras! Mati-matian mengenyahkannya!”
“Kau masih mencintainya, Yona,“ bisikku prihatin. Ia mengangkat wajah, memandangku lekat-lekat dan menggeleng, “A-apa yang harus kulakukan, Mbak?”
Aku terdiam, bimbang. Apakah aku memang harus tetap menjadi iblis penggoda dengan terus-terusan menghembuskan api kebencian ke hatinya? Tapi bayangan wajah kenes perempuan itu yang cekikikan di samping Mas Eko di meja makan kembali membuat darahku naik ke ubun-ubun. Juga bayangan wajah Weni, putri bungsuku yang menangis tersedu-sedu menunjukkan kepala boneka barbie kesayangannya yang lepas.
“Bobby, Ma, Bobby yang mencopotnya...,” aduan Weni cukup membuatku melotot. Bukan sekali itu saja anak gendut perempuan itu menganggu dan membuat Weni menangis. Dia bahkan berani mematahkan bonsaiku dan memetik bunga-bunga mawarku yang tengah mekar dan menghambur-hamburkannya di teras. Bagiku, anak itu bukan hanya nakal, tapi juga kurang ajar dan tak tahu sopan santun, karena itu harus diberi pelajaran! Maka suatu hari ketika aku sedang membaca dan dia mondar-mandir terus di depanku menarik mobil-mobilannya sambil menirukan suara klakson, aku tak bisa lagi menahan diri untuk tidak menempelengnya. Tentu saja dia menangis dan mengadu pada ibunya. Kami bertengkar hebat. Dan seperti yang sudah kuduga, Mas Eko memang membela perempuan itu, “Anak-anak nakal itu biasa, Lia!”
Kutatap sepasang mata Yona yang berkaca-kaca. Rasa sakit itu begitu jelas tampak di dalam kedua bola matanya yang bening bagus.
“Kau harus terus berusaha membencinya!” kataku tegas, “Yang harus kau ingat adalah perbuatan buruknya padamu, pengkhianatannya, bukan kenangan-kenangan yang manis!”
“Tapi Iwan sebetulnya baik, Mbak! Dia hanya tak bisa menentang keinginan orang tuanya...,” wajahnya begitu memelas.
“Kalau dia benar-benar mencintaimu, dia harus berani melawan orang tuanya. Mungkin membawamu kawin lari!” aku semakin terbakar. Yona terbelalak.
Tapi ia terlalu lemah, ia terlalu manja. Ia sentimentil. Lagi-lagi air matanya meleleh. Dan entah untuk yang sudah keberapa kali, kembali ia mengulang-ulang ceritanya itu. Bagaimana ia berkenalan dengan Iwan di tepi pantai dekat rumahnya. Bagaimana lelaki itu kemudian setiap sore selalu bertandang ke tepi pantai untuk menemuinya. Lalu kisah-kisah manis itu pun tumbuh kian subur di antara mereka. Bagaimana mereka berlari-larian di tengah hujan sepanjang pantai. Berciuman di sela-sela batu karang atau naik perahu memancing, mengejar umang-umang, mandi di laut. Hingga sekian waktu lamanya!
Hujan kini menyisakan rintik-rintik kecil, meskipun langit belum sepenuhnya bersih dari awan gelap. Bunyinya di atap genteng mengingatkan pada sebuah konser sedih. Dan aku mengamsalnya sebagai reportoar musim gugurnya Antonio Vivaldi2 yang pernah dimainkan Yona beberapa waktu silam dalam sebuah pertunjukan kolaborasinya. Ia lulusan sebuah akademi musik dengan mayor piano...
Sungguh aku tak tega melihat wajahnya yang begitu murung. Bibirnya yang pucat membuka dan mengatup seperti kehabisan nafas. Kedua matanya masih saja menatapku dengan memelas, seolah minta dikasihani. Tapi pelukannya ke pinggangku semakin kencang. Kubelai pipinya dengan lembut, mengelus-elusnya. Tetap saja demikian cantik dan manis walau tak berdaya. Tiba-tiba darahku kembali berdesir panas, sesuatu yang selalu sulit kutahan itu kembali bergolak dalam tubuhku. Aku membalas pelukannya dengan tak kalah kencang. Dan tahu-tahu aku sudah meraup mulutnya, melumat bibir mungil yang pucat itu. Dengan penuh gelora!
Ah, gerimis kian menipis, semakin tipis...

Gaten, Yogyakarta, April 2007




Catatan:
1. Kata-kata ini pernah diucapkan tokoh Eric Draven yang diperani almarhum Brandon Lee dalam film terakhirnya “The Crow”.
2. Salah satu karya komposisi Antonio Vivaldi yang terkenal adalah “Four Season”, terdiri dari empat bagian: Summer, Winter, Autumn, dan Spring.



No comments: