Tuesday, September 25, 2007

cerpen 4


BILUR BILUR UNGU,
KUDA YANG BERMATA BINTANG KEJORA

Cerpen: Sunlie Thomas Alexander



--Kenang-kenangan selalu kembali seperti hujan.
--Rindu itu berkelebat, bergeletar serupa lecutan pecut!
--Seekor kuda betina yang bermata bintang kejora, mengerjap-ngerjap…


MATANYA terus merayapi punggung perempuan-perempuan yang berseliweran itu. Membayangkan punggung-punggung kuning langsat yang terbuka dipenuhi bilur-bilur berwarna ungu. Terpentang molek dalam posisi telungkup di atas seprei beludru merah bermotif bunga-bunga chrysanthemun kuning. Ada yang memanjang lurus, ada yang berupa garis pendek, ada yang melengkung setengah lingkaran, ada pula yang menyerupai huruf S. Sering warna bilur-bilur itu masing-masing tidak sama: sebagian berwarna ungu tua, agak kehitaman. Sebagian lebih tepat disebut biru kemerah-merahan. Terkadang, bilur-bilur itu membentuk gradasi warna yang menarik. Dari warna tint ke warna hue. Terhampar menakjubkan menyerupai pulau-pulau di lautan luas bila dilihat dari ketinggian ribuan kaki dari jendela pesawat yang ia tumpangi.
Selalu ia menjadi bergairah. Terbakar tatkala membayangkan bilur-bilur itu. Seperti setiap kali ia melihat perempuan semampai berkulit kuning langsat, ia selalu teringat pada ibunya. Tepatnya ibu keduanya.
“Hati-hati Nak, sakit!” perempuan itu meringis seperti kepedasan tergigit cabe, ketika tangannya menggoreskan kapas basah berisi obat Thiat Ta Yok Chin ke punggung kuning langsat yang terpentang. Memoles satu demi satu bilur-bilur ungu di punggung yang semakin tak mulus itu. Tak jarang perempuan itu memekik bila tangannya menekan terlampau kuat. Terutama pada jalur-jalur bilur yang membengkak atau terkoyak merah. Itu pertanda ia harus mengurangi tenaga, memoleskan kapas lebih lembut.
Di matanya, perempuan yang sedang telungkup itu menggemaskan bagaikan boneka-boneka manekin di butik ayahnya yang sering ia telanjangi. Hal tersebut memang kerap ia lakukan jika pulang paling terakhir ketika semua karyawan sudah pulang, lantaran ia harus memeriksa buku keuangan. Manekin-manekin cantik itu ia kupas pakaiannya dan ia baringkan berjejer di lantai butik. Lalu sambil menikmati secangkir kopi hangat ia akan mempelototi manekin-manekin bugil itu selama berjam-jam. Dengan begitu, ia orgasme berulang kali. Tetapi manekin dengan bilur-bilur ungu di punggung itu terlampau menggairahkan. Tak jarang manekin itu menggeliat-geliat hebat apabila jari-jemarinya yang telaten menyusup terlalu jauh ke bawah. Mengikuti bilur yang memanjang ke balik kain yang melorot memperlihatkan sebaris lekuk di antara dua buah bokong besar yang terbalut celana dalam satin. Dan itu membuat darahnya berdesir panas.
Hujan masih berjatuhan. Namun tinggal berupa gerimis. Semakin tipis.
* * *
PEREMPUAN itu selalu menangis setelah ayahnya pergi. Dan sudah kebiasaan, jari-jarinya akan segera menyusut air bening yang meleleh dari sudut mata perempuan itu. Diperhatikannya sepasang mata yang tak begitu sipit itu lekat-lekat. Mata yang suka mengerjap-ngerjap. Begitu indah. Kemudian sepasang alisnya yang melengkung seperti pelangi. Tipis tapi cukup tegas. Hidungnya yang bangir, lalu sebentuk bibir yang mungil namun penuh. Juga sebuah tahi lalat kecil di bawah bibir itu. Ia selalu membanding-bandingkan wajah itu dengan wajah Dewi Kwan Iem dalam lukisan di sin thoi1. Keduanya memang memiliki pipi yang sama ranum, sedikit kemerah-merahan. Pada saat-saat seperti itu, wajah yang bersandar di bahunya tersebut akan terlihat bagaikan wajah kanak-kanak yang begitu polos. Lalu punggung itu, dengan bilur-bilur ungu yang begitu menakjubkan kembali terbuka. Lebih indah dari tatto bergambar apa pun. Untuk beberapa saat lamanya ia akan terpaku, menikmati bilur-bilur ungu yang mempesona itu. Merayapi sekujur punggung yang telungkup dengan sepenuh gairah…
Suatu pagi, setelah memoleskan kapas basah ke bilur-bilur ungu yang begitu banyak sehingga nyaris menutupi sekujur punggung kuning langsat itu ia temukan sepasang mata ibunya telah menjelma menjadi sepasang mata kanak-kanak. Menatapnya seperti seorang anak kecil yang merengek meminta jajanan.
--Mata itu mengundang. Penuh hasrat. Mengerjap.
“Temani ibu di sini, Nak.” Suara lirih perempuan itu membuatnya tak jadi beranjak membersihkan tangan dari obat Thiat Ta Yok Chin yang tajam menyengat. Ia hanya duduk di tepi ranjang berseprei merah dengan motif bunga-bunga chrysanthemun itu memandangi ibu keduanya yang tergolek dengan rambut tersanggul tinggi. Sementara hujan menggila di luar jendela. Dan ia terkejut ketika tiba-tiba suara lirih itu berubah menjadi suara ringkikan kuda.
Ia tak cukup siap ibunya akan berubah menjadi seekor kuda betina di hadapannya. Seekor kuda zebra yang liar. Tahu-tahu kuda itu sudah membawanya menjelajahi padang-padang sabana, melewati jeram dan tebing-tebing berbahaya. Sungguh, baru sekali itu ia begitu gembira. Ia tak menyangka akan mengalami petualangan yang begitu mendebarkan. Ia bayangkan dirinya menjadi seorang koboi seperti ayahnya atau koboi dalam film-film western. Ia memacu kuda itu melewati perkampungan-perkampungan Indian, kota-kota dengan deretan bar, dan tanah-tanah pertanian yang terbentang keemasan oleh gandum menguning. Itulah pengalaman pertamanya menunggang kuda. Tetapi ternyata ia bukanlah seorang koboi. Ia juga seekor kuda. Kuda jantan yang sama liar. Ia lupa, mereka sama-sama bershio kuda. Terpaut dua belas tahun.
--“Mata Ibu indah. Benar katanya, kayak bintang kejora.”
--“Jangan ikut sinting seperti dia!”
* * *
SEJAK itu ia menyukai segala hal yang berbau kuda. Film-film yang ada kuda, poster-poster, lukisan, berbagai ukiran, gambar-gambar kuda di majalah, juga mainan-mainan dan patung-patung kuda. Beragam jenis kuda, sampai kuda-kuda yang tak lazim: pegasus, unicorn dan centaurus. Tapi yang paling ia sukai adalah patung zebra. Kuda itu di matanya begitu indah karena memiliki garis-garis hitam yang melintang di sekujur badan. Ia memiliki puluhan koleksi patung kuda zebra itu. Dari yang terbuat dari timah, perunggu, kayu, tanah liat, sampai plastik.
Kemudian ia juga mempelajari sifat-sifat kuda. Ia hampir menghafal tahun-tahun kuda dalam kelender Imlek. Ia mengingat hari-hari kelahiran kuda-kuda di sekitarnya: ulang tahun ibu kandungnya almarhum, ibu keduanya, dan perempuan-perempuan bershio kuda yang pernah dekat dengannya. Dari tanggal, hari, dan bulan kelahiran itu, ia belajar memahami karakter kuda-kuda itu. Mendiang ibu kandungnya adalah seekor kuda Libra, kuda sirkus yang selalu menurut pada perintah ayahnya. Sedangkan ibu keduanya seekor kuda Aquarius. Kuda pacuan yang selalu tergantung pada ayahnya. Kedua ekor kuda itu sama-sama kuda yang tak berdaya. Ia sendiri merasa cukup bangga terlahir sebagai seekor kuda Aries; kuda yang kuat, pemberani dan bersemangat. Apalagi ia lahir di hari Jum’at. Hari yang berunsur api. Jadi ia kuda api. Kuda merah Dewa Kwan Ti yang dengan gagah perkasa menerobos benteng pertahanan musuh di bawah hujan ribuan anak panah. Namun sesungguhnya, ia tak pernah ingin menjadi seekor kuda pejantan. Ia ingin jadi koboi atau pendekar-pendekar dalam cerita silat klasik yang menunggang kuda sembrani. Itulah sebabnya ia benci pada ayahnya.
Ayahnya selalu membakar tiga batang hio di depan altar Dewi Kwan Iem sebelum mengeluarkan pecut kuda itu. Pecut yang begitu bagus dan ingin sekali ia miliki. Tetapi ayahnya marah, memakinya habis-habisan dan menamparnya. Ia tidak melawan tapi ada bara yang memercik di kedua matanya. Terasa begitu panas. Ia tinggalkan ayahnya yang sedang berlutut di depan sin thoi dengan geraham terkatup rapat.
Malam itu, sambil terlentang dengan mata nyalang, ia kembali mendengarkan suara-suara pecut itu melecut. Tar! Tar! Tar! Lalu terdengar suara derap kuda dipacu. Kuda itu meringkik-ringkik keras menerima lecutan ayahnya di punggung; membawa ayahnya melintasi padang-padang sabana. Ia merasa begitu iri pada ayahnya. Karena ayahnya adalah seorang koboi sejati. Ia membayangkan betapa indahnya padang-padang yang dilewati ayahnya itu. Malam itu, dan malam-malam lainnya, ia tak pernah dapat tidur bila suara pecut yang begitu merdu itu terdengar. Dia terus menyimak suara-suara lecutannya dan ringkik kuda dengan penuh gairah. Lalu ia mendengar suara ayahnya mendesah tertahan. Seperti menahan sesuatu yang hendak meletus.
--“Akh…!! Matamu seperti kerlip bintang kejora, Sayang…”
Dulu sekali, ia suka diam-diam mengintip setiap kali ayahnya memainkan pecut itu di atas punggung seekor kuda yang lain dari pintu kamar yang sedikit terkuak. Kuda itu tentu saja adalah jelmaan ibu pertamanya. Kuda itu memekik-mekik keras, kadang meraung dan mengeluarkan suara melolong tinggi. Tapi ayahnya terus melecutkan pecut ke punggung kuda itu dan memacunya dengan kencang. Ia ternganga dan mencoba membanding-bandingkan adegan dari sela daun pintu itu dengan film-film western yang pernah ditontonnya.
* * *
KINI ia memiliki pecut itu. Ia membawa pecut itu ke mana pun ia pergi. Ke luar negeri sekali pun, pecut itu selalu tersimpan dalam kopernya. Ia menggunakannya di kamar-kamar hotel berbintang lima, villa-villa di atas bukit dan tepi pantai. Setiap malam purnama lima belas Imlek, ia selalu mengasapi pecut itu dengan tiga batang hio seperti yang dulu selalu dilakukan ayahnya. Ia mengingat setiap ekor kuda betina yang pernah dilecutinya dengan pecut itu. Kuda-kuda yang meringkik-ringkik keras dengan sekujur punggung penuh bilur-bilur ungu. Ah, betapa indahnya melihat punggung-punggung mulus itu berubah warna oleh ujung pecutnya. Matanya selalu terbelalak takjub menyaksikan darah-darah yang bergumpal, kulit-kulit mulus yang lecet menjadi garis-garis keunguan. Tapi tidak seperti ayahnya, ia tak pernah dapat menjinakkan seekor pun dari kuda-kuda itu. Karena itu, ia menyimpan dendam pada ayahnya.
Dendam itu semakin membara bila ia terkenang pada seekor kuda betina yang mengkhianatinya. Kuda itu meninggalkannya pada suatu subuh ketika hujan turun rintik-rintik dengan membawa serta seekor anak kuda pejantan. Saat itu ia sedang tertidur lelap setelah semalaman menunggangi kuda itu melintasi padang-padang sabana, membuat lebih banyak bilur-bilur ungu pada punggungnya dengan pecut. Seharusnya ia tidak memilih kuda penarik kereta itu. Kuda Taurus egoisnya tinggi, tidak penurut. Meski kuda betina itu begitu sempurna anatominya.
* * *
IA memberi tanda dengan jentikan jari pada seorang pelayan cantik berkulit kuning langsat. Gadis muda berkepang kuda itu bergegas menghampiri mejanya dengan sebuah notes kecil. Sambil memperhatikan gadis itu mencatat di samping meja, ia kembali mencoba membayangkan punggung mulus si gadis terpentang lebar telungkup di atas ranjang. Tetapi lagi-lagi yang hadir malah sebentuk punggung yang lain. Punggung yang tak pernah dapat dilupakannya itu. Punggung yang paling menggairahkan yang pernah dilihatnya. Punggung dengan bilur-bilur ungu yang abadi.
Ia meninggalkan cafetaria hotel itu sambil mengutuk. Musik masih membawakan repotoar ‘Night in Tunisia’2. Angin malam yang dingin dan berembun segera menerpa wajahnya begitu kakinya berpijak di trotoar. Di bawah temaram lampu-lampu jalan, sosok perempuan-perempuan berkulit kuning langsat terus berkelebat, menggodanya dengan punggung-punggung. Tetapi ia hanya merindukan punggung kuda betina itu. Kuda yang pertama kali membawanya menjelajahi padang-padang sabana. Ia rindu sekali pada pagi-pagi yang paling mendebarkan itu, setelah ayahnya berangkat ke butik. Masih lekat dalam benaknya, lekuk-lekuk anatomi kuda zebra itu yang demikian sempurna. Leher dan kuduknya yang putih jenjang, bentuk tungkai kakinya yang panjang, pinggulnya yang lebar dan padat, ringkikannya yang merdu, dan petualangan-petualangan hebat yang mereka lalui.
Ia ingin sekali melecutkan pecut ke punggung kuda betina itu. Sekali saja. Tapi sungguh, hal itu belum pernah ia lakukan.
Hujan mulai berebahan lagi. Tapi ia terus melangkah, membiarkan seluruh tubuhnya larut bersama butir-butir air yang menderas. Menderas. Seperti kenangan yang kembali.
--Ah, kuda betina yang bermata bintang kejora…**

Pulau Bangka, 25 September 2004


CATATAN:
1. altar pemujaan dewa yang terletak di dalam rumah.
2. sebuah komposisi karya Dizzi Cillespie.

No comments: