Saturday, September 22, 2007

puisi 2



USAI PERCINTAAN
—terkenang puspita sari

di kota ini, tak ada cinta
matahari merajam kangen kita

di minggu pagi yang gamang,
sudah lama aku tak lagi menggauli
tubuh tuhan yang birahi
dalam litani dan redup tabernakel
yang meminta kurban hati

riwayatku retak bersama puisi puisi
di halaman koran yang muram
tapi di sana,
mungkin tempat tuhan bergembira
dan lebih birahi bersenggama
dengan siapa pun yang mencari sunyinya
yang abadi!

karena itu, kutulis lagi tentangmu,
kisah percintaan kita yang sedih
: dan merasa ejakulasi terlalu dini

di kota ini, tak ada cinta
matahari merajam kangen kita
tapi tercium juga aroma kelaminmu;
samar samar sampai pada puisi
yang begitu sulit jadi

lalu kita sama menangis
karena rindu dan birahi,
ngungun meraba tubuh tuhan yang remuk
pada percumbuan terakhir
sebelum matahari mengeringkan mani
sebelum angin pagi membawa lari
aroma kelaminmu yang nyeri!

Yogyakarta, Agustus 2007


SEBUAH RUANGAN
: in memoriam,
thong sit jung (1917-1997)

sebuah ruangan
merawat kenanganmu
dalam haru
seperti bandul jam di pojoknya
yang urung berdentang itu

seekor cecak
merayap di dinding kayu kelabu,
menghilang ke balik lusuh kalender
yang senantiasa bisu

angka angka abadi
atau mati
kita mungkin tak sempat tahu

aku hanya menebak
kalau di luar, hari telah malam
dari ampas kopimu:
masa kanakku yang sarat ragu!

seperti apakah waktu?
bakal menyimpan sisa
percakapan kita
atau menjelma hantu
yang bangkit dari abu

barangkali, di ruangan itu pun
tak ada lagi yang kita kenali
selain masa lalu
dan melulu ditakdirkan
berwajah sendu

rumah berdinding rapuh,
kenangan batu,
masa kecil yang ragu
adakah yang lebih bengal
daripada rindu?

ah, betapa pilu, betapa pilu…
segalanya yang mengabu
juga dari keluh!

Yogyakarta, 2007


RIWAYAT PELADANG
SEBAGAI ANAK DAGANG
: buding

telah kau ukir riwayatmu
di tanah tembuni,
mimpi yang tumbuh seperti teluh
sementara orang orang mengepungmu
dengan mantra paling pilu
berserulah yang lantang, gebrak kudamu
menjemput ingatan yang diluputkan setan gagu
ke ladang, di ladang yang jauh...

celakalah kuda yang tak setia!
yang nyasar ke makam makam penuh tulah
bakal angslup tubuhmu dititah guna-guna

tapi gairahmu bergolak oleh nyanyian ibu,
nyanyian rindu di musim panen yang biru
maka kau pun menarik lagi kekang dan berpacu
berpacu! berpacu! ke muasal rindu,
ceruk mata ibu,
rongga waktu bagai goa batu!

bersama burung burung, kau bertapa
di rumpun-rumpun lada, doamu menjalar
di sekujur tubuh tanah moyang yang gembur
sabar menolak segala getir; rasa takut yang berhilir

berhilirlah ke ujung bumi, anakku!
hingga anyir seluruh tubuhmu, riwayatmu
hingga nyinyir cuaca di kampungmu
hingga gigil seluruh mambang yang diam di batu

ai, begitulah selalu ibumu, perempuan peladang itu
menembang; seduhan kopi bagi kepulanganmu
yang paling malang
pada sebuah malam yang paling absurd
tanpa kerdip bintang bintang

tapi karenanya, kau tak pernah sabaran
menunggu lada lada ranum di ladang,
menyelesaikan tapa hingga rampung
agar kampung selalu terberkati
oleh tangan malaikat tuhan

kudamu akan kembali berpacu, berpacu!
ke kampung kampung asing
yang dilupakan para peladang
ke kampung kampung pesing
yang dikencingi para pecundang
hingga suara tembang ibu yang penuh rindu
juga linu, lagi lagi menggodamu pulang
(kutafsir sebagai tandang!)

maka kau kuburkan hikayat bapak
di makam yang serapah
sembari menyangsikan
berkah malaikat tuhan,
kau busungkan dada ke arah rumah
yang tersembunyi di balik bukit bukit terjal
—dan waktu mengerang!

cukuplah ibu, kau nujumku berhilir
dengan kuda mabok yang tak kenal arah
sebab tubuhku kini seperti lilin,
bakal meleleh oleh durhaka
: tangismu lelah menginjak sanggurdi

sungguh kau ingin diam di ladang,
menjelang kopi di atas batu
hingga panen tiba dengan haru
atau kenapa tidak, ibu?
aku sempurna saja jadi anak dagang
yang lupa hari lebaran dan jalan pulang
dengan begitu, aku akan memetik juga
panen yang gemilang...
tanpa nyanyianmu di ladang
yang mengambang!

telah kau pahat riwayatmu yang gamang
di tanah ari ari
mimpi yang bangkit seperti mambang

Yogyakarta, Mei-September 2007

Foto: Bekas penambangan timah di Pulau Bangka

No comments: