Tuesday, September 25, 2007

esai

BENARKAH ISLAM AGAMA TERORIS?
Oleh: Sunlie Thomas Alexander

“SHOW me just what Mohammed brought that was new, and there you will find things only evil and inhuman, such as his command to spread by the sword the faith be preached.” (Tunjukkan padaku apa yang baru yang dibawa oleh Muhammad, dan di situ Anda hanya akan mendapatkan sesuatu yang jahat dan tidak manusiawi, seperti perintahnya untuk menyebarkan keimanan yang didakwahkannya dengan pedang).
Pernyataan Paus Benediktus XVI mengutip buku karya Theodore Khoury dalam kuliahnya di Aula Magna Universitas Regensburg, Jerman, 12 September 2006 yang membuahkan kemarahan umat Islam di seluruh dunia itu, kiranya tidak melulu harus kita pahami sebagai sebuah sikap Barat (tidak selalu identik dengan Kristen) dalam memandang Islam. Pernyataan dalam buku itu sebenarnya merupakan dialog antara Kaisar dengan seorang intelektual dari Persia tentang Islam dan Kristen, yang kebetulan dikutip oleh Sri Paus secara agak sembrono dan barangkali dimaksudkannya sebagai kritik terhadap penyebaran keimanan dengan kekerasan yang diarahkannya pada Islam.
Sejak berabad-abad silam, bahkan sebelum Eropa keluar dari zaman kegelapannya, Timur (Islam) memang tak hanya dipandang sebagai sebuah dunia yang terbelakang dan barbar—meskipun juga eksotik—oleh Barat. Hingga studi para orientalis kemudian membakukan Timur (Islam) sebagai “the other” dengan stigma yang tak juga berubah. Kecenderungan yang kemudian justru diikuti oleh Timur (Islam) dengan sedikit konyol dan tidak seimbang dengan sebuah studi kajian berkesan membalas dendam yang kita kenal sebagai Oksidentalisme.
Cara pandang (atau konsep) Barat terhadap Timur (Islam), dan Timur (Islam) terhadap Barat ini merupakan persoalan kompleks yang mesti terus-menerus kita cermati. Karena model-model pemahaman tersebut seringkali bukan berdasarkan pada kajian tipoligi resmi, tetapi hanya sekedar pengamatan atas realitas di masyarakat yang perlu diklarifikasi lebih jauh. Harus dipertanyakan lanjut, misalnya adakah pemahaman subjektif tersebut memang sesuai dengan keadaan objektif yang dipahami. Jika tidak, kita hanya akan selalu terjebak pada konsep-konsep sentral yang selalu dihadapkan secara oposisi biner: vis a vis.
Kondisi seperti ini—sebagaimana yang diungkapkan Edward Said—adalah kecenderungan memberi label yang bersifat generalizing (generalisasi), tanpa melihat nuansa-nuansa lembut dan kecil-kecil dalam kehidupan nyata, menjadi salah satu kecenderungan kuat dalam media Barat. Dari waktu ke waktu, prasangka semacam ini selalu kembali muncul ke permukaan.
Setiap suatu peristiwa tragis terjadi di dunia Islam atau di dunia Barat yang ada sangkut-pautnya dengan dunia Islam, prasangka itu akan hadir kembali. Demikian pula dengan umat Islam, ketika mendengar pemerintah Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya menyerang Afganistan dan Irak, reaksi yang muncul dari sebagian besar umat Islam adalah seruan berjihad untuk berperang, bahkan disertai pengusiran masyarakat sipil dari negara-negara bersangkutan. Jadi bukan hanya Barat yang melakukan generalisasi, Islam pun melakukan hal serupa. Seruan jihad jadi punya makna sakral yang ekstrem, yaitu berperang atau melakukan kekerasan demi membela kehormatan agama.
Terorisme berjubah agama yang muncul pasca 11 September 2001 sedikit banyak memang telah mengganggu hubungan Barat dengan Islam. Tanpa bermaksud membesar-besarkan, gangguan tersebut cukup memprihatinkan. Kebijakan pemerintah negara-negara Barat diasumsikan selalu diarahkan pada pemojokan umat Islam. Seolah-olah menegaskan bahwa pelaku teror tersebut adalah representasi dari karakter umat Islam secara keseluruhan. Tanpa sadar, terkadang sebagian umat Islam pun terbawa pada prasangka bahwa perang terhadap terorisme yang diserukan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya mengandung arti perang terhadap umat Islam.

Terorisme dan Sejarah Tuhan (Agama) Yang Kelam
Terorisme adalah sebuah kriminalitas, suatu kejahatan kemanusiaan yang tak bisa ditolerir. Pandangan serta nilai-nilai yang mendasarinya sangat berbahaya bagi keamanan dan perdamaian. Terorisme berjubah agama yang menjadikan masyarakat sipil sebagai sasaran teror jelas amat kita sesalkan dan kita kutuk. Karena peristiwa semacam ini secara tak sengaja telah membangkitkan “persepsi lama” Barat dalam memandang dan menilai Islam sebagai masyarakat yang tidak menghargai HAM, menyenangi tindak kekerasan, memasung kebebasan, diskriminatif, eksklusif, dan menyebarkan agama dengan pedang. Meskipun persepsi semacam ini tidaklah muncul dalam wacana akademik, sebagaimana studi orientalisme, pengaruhnya cukuplah luas di masyarakat Barat. Bahkan, lantaran menyentuh sensitivitas emosi, “persepsi lama” ini lebih besar dampaknya. Banyak warga Amerika dan Eropa memandang sinis umat Islam, terutama Muslim Imigran.
Terorisme berjubah agama memang tidak secara tegas merepresentasikan adanya benturan antara Islam dan Barat. Islam ditarik ke dalam sebuah ruang yang dipersalahkan karena pelakunya berasal dari kelompok yang beragama Islam, yang jumlahnya boleh dikatakan sangat sedikit. Walau kita bersikeras untuk menampik bahwa aksi teror yang terjadi sepanjang dasawasa terakhir di beberapa negara, termasuk Indonesia, merupakan representasi dari gerakan Islam dan mencerminkan sikap keseluruhan umat Islam, bangkitnya “persepsi lama” dalam masyarakat Barat tak gampang untuk dihentikan begitu saja. Masyarakat Barat sudah terlanjur menilai dan menyakini pelaku teror tersebut merepresentasikan umat Islam.
Kenyataan sejarah selama berabad-abad, dan kecenderungan politik yang terjadi di era sekarang, membuat Samuel Huntington misalnya, memprediksikan bahwa, “Suatu hal yang amat krusial dan mendasar tentang apa yang muncul di dalam politik global pada tahun-tahun mendatang, merupakan konflik yang ditimbulkan oleh perbedaan di antara dan di kalangan peradaban-peradaban.”
Jauh sebelum Perang Salib (Crusaders), kalangan Gereja sesungguhnya telah berupaya mengendalikan sedemikian banyak perilaku perang pada para pengikutnya, sehingga dibukalah gerakan Peace of God, yang dideklarasikan di Konsili Le Puy (975 M). Akan tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Menurut James T. Johnson, gerakan Peace of God, meskipun dimaksudkan untuk mereduksi kekerasan di Dunia Kristen, namun pada praktiknya telah membantu membentuk konteks sejarah yang menyebabkan Perang Salib menjadi suatu kemungkinan.
Terorisme dewasa ini, adalah terminologi yang dipropagandakan oleh Amerika Serikat dan para sekutunya dengan melekatkannya pada gerakan-gerakan Islam Politik dan Islam ideologis. Istilah ini awalnya dipopulerkan oleh majalah The Foreign Affairs. Sebelumnya aktivitas-aktivitas kekerasan dengan kebuasan yang melampaui batas untuk menimbulkan rasa takut luar biasa disertai jatuhnya korban secara acak dalam rangka mencapai tujuan politik, lebih sering disebut sebagai ‘urban querilla’ (gerilya kota). Ada nuansa heroisme dalam istilah ‘urban querilla’ ini, yaitu istilah yang memiliki arti perjuangan mencapai suatu cita-cita dengan cara gerilya. Tetapi, sejak awal 1990-an, istilah ini pelan-pelan lenyap dan digantikan dengan istilah terorisme yang disertai predikat istilah “Terorisme Islam”. Konon, semua ini diciptakan dengan maksud memprakasai dan membangun konflik internasional (baca: The Global War on Terrorist). Parick J. Buchanan dalam tulisannya, “Is Islam an Enemmy of The United States?” mengemukakan, “Bagi sebagian orang Amerika yang mencari musuh baru guna menguji coba kekuasaan setelah runtuhnya komunisme, Islam adalah pilihannya.”
Kenapa Islam menjadi pilihan? Jawabannya barangkali tidak dapat dilepaskan dari keinginan AS untuk tetap mempertahankan dominasinya di dunia. Setelah berakhirnya era Perang Dingin, Blok Timur runtuh, AS agaknya menilai bahwa dunia Islam adalah musuh potensial yang bakal mengganjal keinginan AS. Guru besar Sarah Lawrence College, Fawaz A. Gergez dalam buku “America and Political Islam” menyatakan, meski para peminpin AS menolak hipotesis Clash of Civilization, kebijakan AS pasca Perang Dingin memang sangat dipengaruhi oleh ketakutan adanya ancaman Islam (Islamist Threat). Hal ini diperkuat oleh pendapat kaum intelektual konfrontasionis seperti Bernard Lewis, Huntington, dan Liddle. Bahkan awal 1992, Presiden Israel sebagaimana dikutip The Guardian (19/6/1992) menyatakan, “Penyakit (Islam Fundamentalis) sedang menyebar secara cepat dan merupakan sebuah bahaya tidak hanya untuk masyarakat Yahudi, tetapi juga bagi kemanusiaan secara umum.”
Bila kita harus mengikuti hipotesa Huntington dalam “Benturan Antarperadaban”, kita akan dibawa pada sebuah kesimpulan adanya sekian banyak fakta yang secara otomatis, tanpa bisa ditolak, menciptakan jurang perbedaan di antara peradaban-peradaban, antara lain perbedaan pandangan hidup, dunia yang kian mengerucut oleh globalisme, proses modernisasi ekonomi dan perubahan sosial yang mengakibatkan tercerabutnya masyarakat dari akar identitas lokal, berkembangnya kesadaran peradaban (civilization consciousness) akibat peran ganda Barat, dan regionalisme ekonomi yang semakin meningkat. Huntington menyebutkan ada delapan peradaban besar, yaitu Barat, Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Slavik, Ortodoks, Amerika Latin dan Afrika. Pertanyaannya adalah peradaban manakah yang kemudian akan saling berbenturan secara vis a vis? Ia menjawab pertanyaan ini dengan memprediksi bahwa benturan tidak akan terjadi di antara kedelapan peradaban tersebut, namun potensi yang terbesar adalah antara Barat dengan koalisi Islam-Konfusius. Dan benturan ini menurutnya terjadi lantaran tiga hal pokok, yakni hegemoni arogansi Barat, intoleransi Islam, dan fanatisme Konfusionis. Tetapi sampai saat ini, Konfusionisme (pasca kebangkitan China) dipandang Barat sebagai sebuah peradaban masih dapat diajak berdialog dan memiliki sikap lebih terbuka.
AS memang tidak memerangi Islam (atau umat Islam) secara keseluruhan, tetapi lebih tertuju pada orang atau kelompok yang pikiran dan tindakannya bertentangan dengan AS, karena itu dikhawatirkan mengancam kepentingan AS. Pada awalnya, gerakan-gerakan Islam memang dikhawatirkan akan mengancam penguasa dari negeri Muslim yang selama ini tunduk pada AS dan mampu menjaga kepentingan AS di negerinya. Tetapi pada tahap selanjutnya, jika perkembangan gerakan Islam terjadi di mana-mana, dicemaskan pada akhirnya bakal mengancam kepentingan AS secara luas.
Apakah memang benar ajaran Islam adalah ajaran teror dan kekerasan? Atau benarkah teroris lebih banyak berasal dari kalangan yang mengaku Islam? Kenyataan sejarah membuktikan bahwa kekerasan yang dikaitkan dengan fundamentalisme tidak hanya berasal dari kalangan Muslim. Nuansa kekerasan fundamentalisme ada dan muncul dalam semua agama dan telah menjadi respon mengglobal terhadap ketegangan kehidupan di abad kita dan abad-abad sebelumnya. Menurut Karen Armstrong (2001: xi): Hindu radikal turun ke jalan-jalan untuk membela sistem kasta dan menentang Muslim India; kaum fundamentalis Yahudi melakukan penghunian ilegal di Tepi Barat dan Jalur Gaza serta bersumpah untuk mengusir semua orang Arab dari Tanah Suci mereka; “Moral Majority” yang dipimpin Jerry Falwell dan “Christian Right” yang menganggap Uni Sovyet sebagai kerajaan setan, mencapai kekuasaan yang hebat di Amerika Serikat selama tahun 1980-an. Maka, adalah kesalahan menganggap ekstremis Muslim sebagai ciri keimanan umat Muslim.
Sejarah Tuhan (baca: agama)—seperti yang diungkapan Karen Armstrong dalam bukunya “A History of God”—di seluruh muka bumi adalah sejarah kelam dan berdarah-darah. Ketika kelompok Syi’ah di Lebanon melakukan penyanderaan atas nama Islam, adakah orang-orang di Eropa dan Amerika yang secara alamiah terpukul oleh Islam, menyadari kalau perilaku tersebut bertentangan dengan peraturan penting yang tercantum dalam Al Qur’an tentang penahanan dan perlakuan terhadap tahanan?
Jika fundamentalisme tampak matang di dunia Muslim khususnya, mungkin ini semata-mata karena ledakan populasinya. Kelompok teroris Irlandia dan kelompok teroris Tentara Merah, sama sekali bukan dari kalangan Muslim. Pelarangan jilbab di Turki dan Perancis, bukankah juga teror sekaligus pelanggaran HAM? Mereka memang selalu membawa simbol agama, tetapi ajaran Islam sendiri sebenarnya sama sekali bukan agama yang bernuansa teroris. Seperti yang dikatakan Karen Armstrong, kejahatan teroris jangan disalahkan kepada agama Islam, karena justru merupakan perilaku yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islami yang luhur. Sangat banyak ayat Al Qur’an yang melarang kekerasan, pembunuhan dan perusakan di muka bumi ini. Allah menyamakan orang yang membunuh sesama manusia (kecuali dalam peperangan) sebagai seakan-akan telah membunuh manusia seluruhnya, artinya telah menghancurkan kemanusiaan (Al-Maidah: 32); Kutukan terhadap orang yang membuat kerusakan di muka bumi (Al-Maidah: 33, Al-Araf: 56); Bahwa Allah tidak menyukai kebinasaan (Al-Baqarah: 204-206); dan jika aksi teror itu khusus menimbulkan korban jiwa di kalangan Muslim (An-Nisa: 93). Selain ayat-ayat di atas, masih banyak lagi ayat yang membuktikan ajaran Islam sebenarnya anti terorisme.

Islam Harus Membaca Diri
Ada telaah menarik dari Amin Malouf dalam bukunya “In The Name of Identity”, di mana menurutnya dalam sejarah perbandingan dunia Kristen dan Islam, kita akan menemukan di satu sisi sebuah agama yang sejak lama intoleran dengan tendensi yang jelas pada totalitarianisme, tetapi secara berangsur-angsur berubah menjadi agama keterbukaan; dan di sisi lain, kita akan menemukan sebuah agama dengan watak keterbukaan yang berangsur-angsur terdorong menuju praktek-praktek yang intoleran dan totaliter.
Pertanyaannya adalah mengapa dunia Kristen (tidak selalu identik dengan Barat) yang memiliki tradisi panjang intoleransi dan selalu menganggap diri sulit hidup berdampingan dengan “yang lain” bisa menghasilkan sebuah masyarakat yang menghargai kebebasan berekspresi, sementara dunia Islam yang telah sejak lama menjalankan koeksistensi, kini justru terlihat seperti sebuah kantong fanatisme?
Mungkin jawaban sementara adalah dunia Kristen (tidak selalu identik dengan Barat) mau belajar dari sejarah gelapnya sendiri yang panjang dan berlumuran darah: sejarah Inquisisi, perang Katolik-Protestan, Perang Salib, permusuhan terhadap filsafat dan sains, dan banyak lagi. Pekatnya sejarah Gereja telah membuat umat Kristen terbuka matanya dan tergugah untuk mereformasi diri, di antaranya upaya Gereja Katolik Roma melalui Konsili Vatikan II tahun 1960-an, yang menghasilkan sebuah pandangan baru tentang dunia non-Kristen, di mana pandangan tak ada keselamatan di luar Gereja dan orang beragama lain adalah kafir dipertanyakan kembali secara kritis dan humanis.
Sedangkan Islam, pada perkembangannya justru melupakan sejarah yang penuh kedamaian dan keterbukaan seperti yang tersurat dalam Piagam Madinah, Kejayaan Istanbul di akhir abad 19 yang berisi penduduk mayoritas non-Muslim terutama Yahudi, Armenia, dan Yunani. Atau program penerjemahan besar-besaran dari tradisi Yunani, Persia, dan India yang menghasilkan kemajuan besar dalam sains dan filsafat pada abad ke 7-15 di Baghdad, Damaskus, Kairo, Cordova, dan Tunisia pasca runtuhnya kekhilafahan.
Jika bicara tentang dendam dan rasa sakit hati, justru Islamlah yang harus dipertanyakan, apakah sikap eksklusif dan intoleran yang dikembangkan oleh kelompok-kelompok fundamentalisme-radikal-literalnya bukan karena merasa termarjinalkan oleh hegemoni Barat dalam berbagai aspek kehidupan sosial-budaya-politik global, dan tidak bisa menerima titik balik peradaban?

Jihad adalah Perang?
Islam sesungguhnya memang bukan agama kekerasan, justru Islam merupakan sebuah agama yang berprinsip “rahmatan lil alamin”, menyebarkan perdamaian ke seluruh alam. Namun, Islam memiliki hukum-hukum yang memperbolehkan perang dengan dalih melindungi dakwah, kehormatan, harta, jiwa dan negeri kaum Muslim. Hukum-hukum itulah yang dikenal sebagai “jihad fi sabilillah”.
Para fukaha mendefinisikan “jihad fi sabilllah” sebagai pengerahan kekuatan untuk memerangi musuh dalam rangka meninggikan kalimat Allah, dengan peperangan langsung di medan pertempuran ataupun memberikan bantuan keuangan, logistik, bahkan pendapat-pendapat dalam strategi dan taktik, termasuk pidato yang membakar semangat para mujahidin agar siap menyongsong kemenangan dan mati syahid.
Dan di sinilah sebetulnya letak persoalannya. Ayat-ayat Al Qur’an maupun Al Sunnah seringkali dipahami secara hitam-putih dan asal-asalan—tanpa mau menerima dialog dalam jenis apa pun—oleh kelompok-kelompok fundamentalis-radikal-literal Islam. Mereka selalu melegitimasi kekerasan dengan berbagai ayat Qur’an dan Hadits untuk membakar tempat ibadah orang lain, menganggap darah non-Muslim (baca: kafir) adalah halal—demikian pula harta bendanya halal dirampas, menyerukan pembalasan dendam terhadap Amerika, ataupun mengobarkan semangat kebencian terhadap pihak-pihak yang berseberangan (termasuk terhadap kelompok-kelompok Islam yang lain). Kelompok-kelompok ini sulit untuk diajak berdialog bukan saja karena paradigma berpikir mereka yang sudah terkonstruksi sedemikian rupa, tetapi juga prinsip mereka yang “pokoknya…” Mereka seolah-olah mengklaim diri mereka sebagai pemilik kebenaran, antara lain dengan menghakimi kelompak lain dalam Islam sendiri yang mereka anggap sesat.
Hal semacam ini mungkin memang tidak mengherankan, bila kita mencermati sikap mereka dalam menafsirkan teks-teks agama yang condong ke pandangan hurufiah. Mereka juga suka mengoral retorika anti Barat yang sekaligus artinya anti Kristen. Padahal makna jihad yang sesungguhnya sangatlah berlawanan. Al Qur’an dan Al Sunnah mengisyarakan perang (angkat senjata) hanya jika umat Islam dalam posisi diserang dan semata-mata untuk membela diri, atau untuk melenyapkan kekufuran (fitnah) dan demi membela yang tertindas tanpa melihat agama mereka, sebagaimana yang dikatakan QS Al-Baqarah 2:190: “Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, tetapi janganlah kalian melampaui batas, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
Tetapi dalam memahami ayat-ayat Qur’an maupun Hadits mengenai permasalahan jihad seperti ini, kelompok-kelompok fundamentalis-radikal-literal tersebut kerap kali tidak pernah melihat latar belakang atau konteks yang mendasari turunnya ayat-ayat tersebut atau apa yang mendorong Rasulullah mengeluarkan kata-katanya. Mereka dengan gampang menafsirkan ayat-ayat jihad dan Al Sunnah, misalnya QS. At-Taubah 9:29 yang berbunyi: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan pada hari akhir, juga orang-orang yang tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya, tidak beragama dengan agama yang haq (benar), yaitu dari kalangan orang-orang yang telah diberikan kepada mereka al-Kitab sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedangkan mereka dalam keadaan tunduk” atau HR. al-Bukhari dan Muslim yang bunyinya: “Aku ini diutus untuk memerangi manusia hingga mereka mengatakan tidak ada tuhan yang patut disembah kecuali Allah serta mengimaniku. Jika mereka mengatakannya, berarti darah-darah dan harta mereka terlindungi dariku, kecuali atas hak-hak Islam.”, juga ayat “Bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kalian jumpai.” (QS At-Taubah 9:5), dengan melarang non-Muslim mendirikan tempat ibadah, membakar tempat-tempat ibadah non-Muslim, menyerang diskotik dan pub karaoke, atau pun membubarkan dengan paksa acara-acara yang digagas oleh kelompok yang mereka anggap musuh seperti yang baru-baru ini terjadi dalam rapat Papernas di Kaliurang, Yogyakarta. Belum lagi ayat-ayat seperti QS. Al-Baqarah 2:120 yang berbunyi: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kalian hingga kalian mengikuti agama mereka.” yang ditafsirkan dengan penuh kebencian dan dendam.
Pembacaan atas teks ayat-ayat Qur’an dan Hadits Nabi yang sepotong-sepotong, tidak melihat konteks, dan secara hurufiah, baik dengan sengaja ataupun lantaran “ketidaktahuan” semata oleh kelompok-kelompok Islam fundamentalis-radikal-literal inilah yang seyogyanya semakin menjerumuskan Islam ke dalam “persepsi buruk” yang dimaknai oleh Barat. Belum lagi mereka yang terjebak dalam fasisme-nostalgia kejayaan masa silam Islam di zaman kekhilafahan dengan mengembangkan cita-cita dan misi mendirikan negara Islam khilafah (Bandingkan dengan Benito Mussolini (Italia) yang mencita-citakan bangkitnya kejayaan Imperium Romawi di masa Perang Dunia II).
Mereka dengan terang-terangan menyerukan kepada umat Islam untuk berperang secara fisik, contohnya melawan AS, bukan sekadar seruan untuk menghujat dan mengutuk invasi AS. Bagi mereka, kaum Muslimin yang menyerukan perdamaian dan anti perang sama saja dengan kaum kafir yang meniupkan propaganda dan strategi licik untuk memberangus ajaran Islam yang mulia, yakni jihad dan futuhut untuk menaklukkan berbagai negeri. Ayat yang dipakai untuk melegitimasi hal ini adalah QS. At-Taubah 9: 29, sebagaimana yang telah dilakukan oleh sebagian kerajaan Islam di masa lampau. Padahal selama berabad-abad di Asia contohnya, para musafir dan pedagang Islam telah menunjukkan jalan dakwah yang lebih damai dan indah, yaitu jalan dagang.
Untuk menguatkan dalih, mereka misalnya mengutip tafsiran sekelompok ulama bahwa ayat 190 surat Al-Baqarah, di mana Rasulullah hanya memerangi (secara defensif) siapa saja yang memerangi beliau dan menghentikan perang terhadap orang yang tidak memerangi beliau, telah dihapus oleh surat At-Taubah ayat 5 yang berbunyi, “Perangilah kaum musyrik itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kalian semuanya.” Dengan ayat itu, jihad bagi mereka tidak lagi defensif semata, tetapi juga ofensif.
Karena itu, tuduhan Barat kalau Nabi Muhammad SAW adalah Nabi yang menyebarkan dakwah dengan pedang, sebagaimana yang ditampilkan dalam bentuk karikatur olok-olokan oleh media massa Denmark misalnya, bisa jadi merupakan akibat dari pemahaman “tak senonoh” kelompok-kelompok Islam fundamentalis-radikal-literal itu sendiri atas sosok Rasulullah yang “mereka cintai”.
Menurut mereka, kata “qital” merupakan bentuk “mashdar” (gerund) dari “fi’l qatala” (qatala, yuqatilu qital[an], muqatalat[an]) yang tidak bisa lain berarti perang secara fisik, dan merupakan makna jihad secara syar’i. Muhammad Khair Haykai menyatakan, bahwa pengertian syar’i dari jihad adalah “al-qital fi sabilillah bisyuruthihi” (jihad adalah perang di jalan Allah dengan berbagai ketentuannya). Lebih lanjut ia mengatakan bahwa jika kata jihad dinyatakan tanpa indikasi maka yang dimaksudkan adalah jihad dalam makna syar’i, yaitu perang fisik.

Penutup
Menurut saya, umat Islam harus lebih banyak melakukan intropeksi dan terus-menerus mewaspadai gerakan-gerakan di dalam tubuh Islam sendiri seperti yang dilakukan oleh kelompok-kelompok fundamentalis-radikal-literal tersebut, bila tidak ingin peradaban Islam semakin terpuruk dalam kebodohan dan ketinggalan maupun kian terjerumus ke dalam stigma “agama galak” yang dilemparkan oleh Barat.
Pandangan kelompok-kelompok fundamentalis-radikal-literal ini (tokoh Islam Liberal, Ulil Abshar-Abdalla menyebutnya sebagai “Islam Gembar-Gembor”, tetapi saya lebih suka menyebut “Islam Teriak-Teriak”) akan menjadi semakin berbahaya karena belakangan ini tampaknya gerakan mereka dalam menancapkan pemikiran maupun pengaruh ideologi kian intensif, konsisten, dan mendapatkan respon (baca: penerimaan).
Rasulullah SAW sendiri telah memperingati kita semua bahwa, “Sesungguhnya bukanlah Yahudi atau Nasrani yang akan menghancurkan Islam, tetapi umat Islam sendiri.” (HR. al-Bukhari-Muslim). Astaghfirullah!***


BAHAN BACAAN:
1. Huntington, Samuel P. Benturan Antarperadaban; Dan Masa Depan Politik Dunia. Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2003.
2. Zarkasyi, Hamid Fahmy. Memahami Barat. Jurnal ISLAMIA Vol. III No. 2.
3. Ismail, Abu. Di Balik Perang Salib Baru. Majalah al-wa’ie No. 31 Tahun III, 1-31 Maret 2003.
4. Amhar, Dr. Fahmi. Menyambut Perang Salib Baru. Majalah al-wa’ie No. 31 Tahun III, 1-31 Maret 2003.
5. Abdurrahman, A. Humam. Persekongkolan Para Penguasa Muslim. Majalah al-wa’ie, No.33 Tahun III, 1-31 Mei 2003.
6. Al-Khaththath, Muhammad. Jihad Adalah Perang; Tafsir Surat Al-Baqarah 190-191. Majalah al-wa’ie No. 33 Tahun III, 1-31 Mei 2003.
7. ______________, Al-Qital (Perang). Majalah al-wa’ie No. 33 Tahun III, 1-31 Mei 2003.
8. ______________, AS Memang Membidik Islam; Wawancara dengan Jubir HTI Muhammad Ismail Yusanto. Majalah al-wa’ie No. 60 Tahun V, 1-31 Agustus 2005.
9. Armas, M.A., Adnin. Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal. Jakarta: Gema Insani, 2003.
10. Armstrong, Karen. Perang Suci. Jakarta: Serambi, 20
11. Armstrong, Karen. Sejarah Tuhan. Bandung: Mizan, 2001.
12. Maalouf, Amin. In The Name of Identity. Yogyakarta: Resist Book, 2004.
13. Smith, Huston. Agama-agama Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.
14. Basya, Hilaly. Islam, Barat, dan Terorisme. www.cmm.or.id, 13 April 2007.

No comments: