Saturday, September 15, 2007

esai

ANTARA SENSASI DAN DEKONSTRUKSI
(Tanggapan untuk Wilson Nadeak)
Oleh: Sunlie Thomas Alexander*

MEMBACA tulisan Wilson Nadeak di Kompas Minggu, 22 Oktober 2006 lalu yang berjudul “Sensasi, Asumsi, dan Sastra”, saya tidak habis pikir, mengapa seorang sastrawan yang dikenal telah lama malang-melintang di ranah sastra Indonesia bisa menulis dengan begitu naifnya dalam melontarkan kritikan atas novel best seller karya Dan Brown, The Da Vinci Code. Bukan saja tulisan pendek tersebut tidak menyentuh sama sekali sisi estetika dan perspektif sastra, tetapi juga terasa sebagai sebuah upaya “pembelaan iman” yang sia-sia.

Antara Sensasi dan Dekonstruksi
Saya rasa, seorang Wilson Nadeak tentunya mengerti tentang apa yang disebut dekonstruksi dalam kesenian, dalam hal ini sastra. Tetapi dalam tulisannya tersebut, Wilson seolah-olah menerjemahkan apa yang dilakukan oleh Dan Brown dalam novel The Da Vinci Code lebih sebagai sensasi belaka. Menurut Wilson, sensasi itu telah menjadi sebuah sarana untuk menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada dan dipercaya sebagai sesuatu yang hakiki. Meskipun benar, bahwa sejauh terkait dengan tema besar yang sudah lama dikenal umum sebagai sebuah keyakinan dan kepercayaan, sebuah “sensasi” akan selalu membuat orang tertarik, apalagi tokoh yang diteladani dari abad ke abad tersebut diberi “label” baru yang bertentangan sama sekali dengan ciri khas tokoh itu.
Tetapi persoalannya, Wilson seakan begitu keberatan kalau tokoh Yesus Kristus di tangan Dan Brown menjadi tidak lebih dari manusia biasa yang sarat dengan masalah kemanusiaan dengan segala kelemahannya. Dengan kata lain, membayangkan secara kreatif seorang tokoh Yesus harus diharamkan. Padahal dalam keempat Injil yang diakui oleh Gereja sendiri, Yesus sering digambarkan amat profan. Dia bisa menangis ketika temannya (Lazarus) meninggal, Dia bisa berbelas kasihan pada seorang Maria Magdalena yang membasuh kakinya dengan air mata, Dia juga bisa marah ketika orang-orang berdagang di bait Allah, dan yang lebih pokok lagi serta kerap dijadikan kontemplasi penting oleh umat Kristiani adalah sosok Yesus yang gemetar ketakutan di Taman Getsemani dan keluhan terakhirnya di kayu salib yang terkenal itu: “Eli, Eli, lama sabakhtani!”.
Saya tidak mengerti, apa yang membuat Wilson sampai pada kesimpulan bahwa Dan Brown hanya mencari sensasi atas diri seorang tokoh besar yang “disucikan”. Walaupun hal itu seharusnya sah-sah saja untuk alasan komersial sebuah karya sastra, paling tidak agar karya itu menarik orang untuk membaca. Dan bahwa hal itu memang dimaksudkan oleh Dan Brown, saya juga tidak berani memungkiri. Tetapi saya berani mengatakan, kalau seorang Brown, seperti juga sekian banyak penulis lainnya tatkala menulis dari perspektif dan frame of view yang berbeda atas seorang tokoh atau peristiwa dalam “sejarah” atau sumber lainnya tidak mungkin tanpa kepentingan estetis atas karya selain demi semata-mata sebuah sensasi atas dasar komersialisasi seperti yang seolah dituduhkan Wilson.
Apa yang ditempuh Brown atas tokoh Yesus Kristus dan tokoh-tokoh “suci” lainnya dalam The Da Vinci Code, harus dilihat tak lain hendak memberikan nilai berbeda atas “sejarah” dan kesaksian (baca: Injil), sebuah upaya dekonstruksi yang teramat wajar dalam karya sastra. Bahkan justru sebuah upaya dekonstruksi cenderung wajib dilakukan oleh sastrawan, agar karya sastra menjadi karya sastra, tidak terjebak menjadi jiplakan kitab suci, catatan sejarah, atau laporan antropologi. Inilah kebebasan dalam sastra, sekaligus kekuatannya. Bayangkan saja, apa menariknya jika seorang tokoh dengan peristiwa yang sudah kita kenal ditulis kembali dalam bentuk cerpen atau novel sebagaimana adanya tanpa memberikan sebuah penafsiran ulang? Manfaat apakah yang bakal kita petik darinya? Bukankah lebih baik jika kita membaca “sejarah” aslinya daripada membaca cerpen atau novel yang menyontek mentah-mentah “sejarah” tersebut? Tak perlu jauh-jauh, jika kita menyimak karya-karya sastra (berbahasa) Indonesia yang muncul di koran-koran dan majalah atau diterbitkan dalam bentuk buku, baik itu berupa novel, cerpen, maupun puisi, akan dengan mudah kita temukan sekian banyak karya yang mencoba melakukan dekonstruksi atas entah itu sosok tokoh, peristiwa, dongeng, maupun adat. Saya ambil contoh, cerpen “Perempuan Tanpa Ibu Jari Kaki” karya Intan Paramadhita (Kumcer “Perempuan Sihir”, Katakita, 2005) misalnya, dengan terang-benderang membalikkan dongeng klasik “Cinderella” yang tentunya kita semua sudah hafal di luar kepala jalan ceritanya. Tetapi karenanya cerpen Intan Paramadhita itu justru punya bobot lebih, lebih menarik lantaran ia bercerita dari sudut pandang yang berbeda dan tidak lazim, yaitu dari kacamata saudara tiri Cinderella yang “jahat”. Atau cerpen “Perkamen” karya Yanto de Lahote (pernah dimuat Koran Tempo di tahun 2004 (saya lupa tanggal persisnya)) yang mencoba mengangkat “pembelaan diri” seorang tokoh Yudas Iskariot atas dosanya menjual Yesus yang selama ini kita kutuk, sebelum Injil Yudas sendiri kemudian diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Pustaka Gramedia Utama. Juga sejumlah cerpen Dwi Cipta yang mencoba memberikan penafsiran kembali terhadap sejarah kolonial Hindia Belanda, dan Triyanto Triwikromo ketika mengangkat sosok Raden Saleh dalam sebuah cerpen yang saya lupa judulnya.
Namun bagi Wilson Nadeak dalam tulisannya, wilayah-wilayah sakral seperti yang diusik oleh Dan Brown dalam novel The Da Vinci Code merupakan wilayah tabu yang tak boleh dimasuki oleh kerja kreatif sastrawan/ penulis. Karenanya pikiran-pikiran dan imajinasi “liar” seperti itu harus dipangkas! Hal mana yang lalu mengingatkan kita pada kasus legendaris cerpen Ki Panji Kusmin, “Langit Tak Lagi Mendung”.
Secara terang, Wilson juga mengatakan kalau sastrawan sungguh tak pantas menjadi “si pengguncang iman”. Barangkali karena alasan bahwa karya sastra mesti “meluhurkan budi nurani”. Tetapi saya malah berpikiran sebaliknya. Karena bukankah sastrawan sesungguhnya tak memikul tugas suci sebagaimana para wali? Petaruhan sastra modern—untuk ini saya bersetuju dengan Nirwan Dewanto—lebih kepada petaruhan dengan bahasa dan perspektif. Saya tidak percaya pada sastra didaktik, sastra bukan khotbah moral dan keagamaan. Itu wilayah para rohaniawan. Justru sastrawan mesti berpotensi menjadi “iblis” yang menggoda “manusia baik-baik”, agar terus-menerus mempertanyakan diri, mempertanyakan kemapanan. Dan karena itu justru memperoleh “pencerahan yang kreatif”. Saya amat tertarik pada sebuah esai Damhuri Muhammad di Kompas Minggu, 22 Juni 2005, yang mengatakan bahwa jagat sastra adalah jagat cermin, “cermin hidup” (mir’ah al hayat) yang tidak pernah berdusta dalam memantulkan bayangan realitas kemanusiaan (secara) apa adanya, bayangan cantik rupa atau buruk rupa “wajah” zamannya. Bahwa sastrawan bukan nabi yang diutus untuk menyampaikan ajaran-ajaran moral (teks sastra bukan kitab suci yang mesti “ditaati” sebagai anutan moral), bukan filsuf yang terus menerus berkontemplasi untuk menemukan air mata kebenaran.

“Pembelaan Iman” Wilson Nadeak
Alih-alih memberikan kritikan yang esensial terhadap novel The Da Vinci Code, Wilson Nadeak dalam tulisannya tersebut malah terpelosok semakin dalam karena terkesan memberikan “pembelaan iman” yang ngotot atas “ketidakrelaannya” tokoh Yesus diobok-obok oleh Dan Brown. Misalnya saja, bagaimana dia dengan sedikit garang memberikan advokasi doktrinitas atas kisah kebangkitan Yesus. Bahwa “fitnah” serdadu Romawi yang disogok pimpinan agama Yahudi untuk menyangkal kebangkitan Yesus masih bergaung hingga sekarang. Bahwa tidak benar kalau status Yesus sebagai Tuhan baru disahkan pada Konsili Nicea atas perintah Konstantin Agung seperti yang diungkapkan oleh Dan Brown dalam novelnya. Hal ini sedikit konyol karena Wilson telah masuk terlampau jauh ke wilayah doktrinitas Gereja dan teologis. Bahkan Wilson dengan lantang mengungkapkan pembelaannya terhadap Gereja dan Alkitab, kalau tidaklah benar yang diungkapkan Brown bahwa keyakinan umat Kristiani didasarkan pada upaya pemimpin agama. Menurutnya, istilah mungkin dari pemimpin umat, tetapi wahyu (benar-benar) berasal dari Tuhan dan diterjemahkan ke dalam bahasa manusia yang secara konsisten dan utuh di lintasan milenium.
Saya tidak ingin ikut terjebak dalam polemik seputar wacana otentitas Alkitab yang sebetulnya kerap menjadi kontroversi itu, baik dalam lingkup umat Kristiani sendiri maupun lintas agama. Atau pun sekedar mengutip penafsiran-penafsiran teologis atas kebangkitan Yesus, bahwa kisah kebangkitan itu harus dibaca secara harfiah atau simbolik-metafora? Terlebih harus memperdebatkan “pembaptisan” Yesus sebagai Tuhan dalam Konsili Nicea atas perintah kaisar Kristen pertama, Konstantin Agung, yang kemudian menghasilkan “Pengakuan Iman Rasuli (Syahadat Para Rasul)” itu. Terlalu banyak hal yang dapat diperdebatkan seputar wacana-wacana ini. Misalnya saja, pernyataan Wilson bahwa “pengangkatan” Yesus sebagai Tuhan dalam Konsili Nicea seperti yang diungkapkan dalam novel The Da Vinci Code sungguh adalah kekeliruan karena jauh hari sebelumnya, pengakuan Yesus sebagai Tuhan sudah diterima oleh umat Kristiani. Wilson agaknya lupa, kalau Konsili Nicea diselenggarakan justru untuk menegaskan ketuhanan Yesus tersebut sebagai akibat banyaknya perbedaan faham di kalangan umat Kristiani atas status Yesus, baik sebagai Nabi, Mesias, atau Putera Allah. Juga pembagian persentasi antara kemanusiaan dan ketuhananNya.

The Da Vinci Code adalah Karya Fiksi
Barangkali di sini saya perlu mengingatkan, kalau sejauh apa pun sebuah karya sastra mengungkapkan fakta, ia tetaplah fiksi. Karena itulah, beberapa tahun silam, Seno Gumira Ajidarma sempat berpledoi: “Kalau pers dibungkam, sastra harus yang bicara!”. Dalam pengertian, ketika banyak fakta tidak bisa lagi diungkapkan oleh pers, maka sastra berpotensi mengambil alih “tugas” itu karena sifatnya sebagai fiksi yang secara logika dan hukum tak bisa digugat. Dan itu dibuktikannya lewat cerpen-cerpennya, terutama yang terhimpun dalam kumcer “Saksi Mata” (Bentang, 1994).
Tetapi Wilson Nadeak justru mengatakan bahwa The Da Vinci Code tidak bertolak dari kebenaran yang indah dan sebagai karya sastra yang historis tidak berhasil, kecuali sebagai sensasi yang spekulatif. Saya pikir pernyataan ini terlalu mengada-ada. Karena bagaimana dia berani “memaksa” kalau sebuah karya fiksi harus berangkat dari kebenaran? Tentu saja fiksi itu amat terbuka untuk spekulasi, menjadi sensasi atau tidak. Dan tentu saja sebagai asumsi sebuah karya fiksi, pengembangan teori Dan Brown boleh saja menyimpang dari tradisi dan tidak perlu dibuktikan melalui simbol-simbol yang dijungkirbalikan.
Belum lagi Wilson dengan mengutip ayat dalam Injil mengatakan bahwa orang yang menggunakan karya ini sebagai “bukti” kebenaran iman yang dianutnya adalah seperti orang yang mendirikan rumah di atas pasir, yang apabila badai bertiup akan segera runtuh. Saya pikir pembaca yang cerdas tidak akan menggunakan sebuah karya fiksi sebagai pondasi imannya. Lagipula, pada hakikatnya iman adalah sesuatu yang abstrak, ia berada di wilayah “dalam” yang sungguh personal dan selalu membutuhkan tafsir dan kontemplasi secara berkesinambungan. Iman Kristiani pun lebih kepada masalah hati nurani bukan fakta dan logika. Seperti kata Yesus kepada Santo Thomas yang tidak percaya pada kebangkitanNya sebelum melihat dengan mata kepala sendiri dan memasuk jari ke dalam lubang telapak tangan dan lambungNya:“Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya!”.
Maka alangkah naifnya sebagai seorang sastrawan, Wilson Nadeak begitu ngotot memberikan “pembelaan iman” atas sebuah karya fiksi, seperti halnya sekian puluh penulis buku sangkalan terhadap novel The Da Vinci Code yang latah itu—mereka yang takut kehilangan iman gara-gara sebuah novel fiksi. Betapa dashyat memang karya sastra!
Saya membayangkan Dan Brown sedang tertawa terbahak-bahak sambil menghitung royalti yang didapatnya dari novel The Da Vinci Code.***

* Cerpenis, studi Teologi dan Filsafat di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Catatan: Tulisan ini dikirim ke Kompas, tetapi tidak pernah dimuat. Kesimpulan penulis sampai saat ini, Kompas “tidak mau” memuatnya.

No comments: