
SEPERTI AKU MEMILIH JALAN SUNYIKU
:Surat buat Sri Mulyati (Chi-Chi) yang kusayangi… #1
Yogyakarta, akhir Januari 2007
Assalamualaikum, Wr.Wb,
Chi-Chi yang baik, aku tulis surat ini dalam kondisi flu berat. Kepalaku berat sekali, seluruh tulang-belulangku ngilu serasa mau lepas, tapi kupaksakan juga menulisnya. Jadi maaf, kalau surat ini agak berantakan…
Bersama surat ini, aku kirimkan sebuah buku kecil buatmu, anggaplah sebagai kado ulang tahunmu yang kujanjikan itu. Mohon maaf agak terlambat. Aku mungkin tidak bisa memberimu yang lain, yang lebih berharga. Hanya buku kecil ini saja, yang aku tahu, tidaklah seberapa nilainya. Tetapi semoga saja bisa bermanfaat.
Aku tidak tahu apakah harus merasa sedih atau senang mendengarmu akan segera menikah (dan tentunya membuat kita kian berjarak). Tapi seperti yang kukatakan dalam SMS, aku berbahagia kalau kau berbahagia. Aku berdoa kepada Tuhan, semoga dia (lelaki itu) sungguh memang jodoh yang tepat buatmu—seorang suami yang baik, bertanggung jawab, dan mencintaimu. Juga mencintai keluargamu. Semoga pula kau mencintainya dengan tulus. Sehingga bersamanya, kau bisa membangun mahligai keluarga yang bahagia, keluarga yang sakinah di jalan Allah SWT.
Cinta bukan logika, apalagi matematika yang bisa dikalkulasikan, kau tahu itu. Ia adalah sesuatu yang murni, yang bakal hidup abadi dalam hati dan pikiran kita. Ia selalu menuntut tanggung jawab dan pengorbanan, ia membutuhkan konsekuensi.
Aku tahu, aku hanyalah seorang pejalan sunyi yang gugup, yang selalu saja grogi untuk belajar mencintai. Sebagaimana aku tahu, kalau aku ‘mungkin’ akan kehilanganmu. Tetapi seperti kata penyair Cecep Syamsul Hari: “Hanya seorang pecinta yang tak pernah bersedih, karena tahu ia akan ditinggalkan.” Aku tak luka, aku tak berdarah. Sudah lama aku tak berdarah, sejak seorang perempuan bernama Ummi Hasanah pergi meninggalkanku begitu saja…
Aku ingin mencintai seperti Rumi, seperti Rabi’ah al-Adawiyah, seperti Franz de Asisi, seperti Bunda Teresa. Cinta yang tanpa pamrih, tanpa tendensi, tak menuntut. Cinta yang pasrah. Bertahun-tahun aku belajar memahami dan menikmati prosesnya, sebagai laki-laki, sebagai manusia yang naïf dan lemah. Adakah aku mampu mengerti cinta semacam itu? Apakah aku memang mencintaimu, Chi? Entahlah. Tapi yang pasti, aku menyayangimu. Sejak SMS-SMS kita, pertemuan dan hubungan kita yang aneh… Tapi inilah hidup. Nasib adalah mata dadu, di mana kita hanya bisa memainkannya bersama Tuhan. Selepas itu, takdirlah yang berbicara. Hanya Dia, Yang Maha Gaib, Sang Misterilah yang memilikinya secara mutlak!
Ada manusia yang ditakdirkan untuk selalu mencintai, ada manusia yang ditakdirkan untuk selalu terluka, ada manusia yang ditakdirkan untuk selalu kehilangan, ada manusia yang ditakdirkan untuk selalu berjiwa besar. Tapi aku bukan salah seorang pun di antara mereka. Aku sudah terlanjur memilih jalan sunyi; hidup yang mencemaskan (Barangkali seperti seorang prajurit crusaders bodoh yang pergi ke Yerusalem untuk menunaikan perang suci, berperang untuk sesuatu yang entah). Sebuah konsekuensi yang mungkin tak akan pernah kau pahami dan kau maklumi.
Kadangkala, aku merasa memanggul salib sendirian melewati jalan kalvari. Sudah hampir tiga tahun aku memutuskan menjadi Muslim (sebuah kepasrahan yang lain namun tetap saja sama maknanya), tapi salib itu masih saja terasa menjadi beban di bahuku. Barangkali salib itu sudah takdirku untuk memikulnya sampai ke bukit tengkorak sebagai lambang kekalahan manusia… Kurasa ini bukanlah soal iman atau akidah, sejak semula Isa al-Masih (terlepas dari doktrin agama apa pun) adalah manifestasi cinta yang menderita. Setiapkali aku mencintai, aku menderita. Jalan salib bagiku mungkin semacam kutukan. Tentu saja aku bukan Franz de Asisi, bukan para martil yang dibaptis dengan darah, bukan Rumi atau Rabi’ah al-Adawiyah. Bukan para syuhada yang memiliki cinta surgawi. Cintaku hanya cinta profan yang teramat biasa. Subhanallah!
Begitulah Chi-Chi, ini sekedar tanda mata dariku. Barangkali kau mau membaca dan menyimpannya, cukuplah. Itu sudah membuatku bahagia. Pilihlah yang terbaik bagi dirimu, bagi keluarga dan masa depanmu. Seperti aku memilih jalan sunyiku, jalan kalvariku. Allah SWT beserta kita, sholawat dan puji kepada Nabi Muhammad SAW utusannya yang mulia, yang telah memetakan jalan keselamatan bagi sekalian alam. Jangan lupakan aku, sesekali berdoalah untukku. Aku akan selalu mendoakanmu…
biarlah aku terus terunta,
di jalan jalan asing berdebu
sendirian meraba arah hidupku
menghadapi pahit nyeri luka-luka
sebab langkah yang telah ditempuh,
tak bisa ditawar dengan keluh!
(Toto ST Radik)
Wassalam,
Sunlie Thomas Alexander
Catatan: Surat ini beserta sebuah buku tentang pedoman membangun keluarga sakinah yang aku lupa judulnya, dikirimkan via Pos Kilat Khusus dari Kopma UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, awal Februari 2007.
Foto: Taman Phak Kak Liang di kampungku Belinyu, Bangka Utara.
:Surat buat Sri Mulyati (Chi-Chi) yang kusayangi… #1
Yogyakarta, akhir Januari 2007
Assalamualaikum, Wr.Wb,
Chi-Chi yang baik, aku tulis surat ini dalam kondisi flu berat. Kepalaku berat sekali, seluruh tulang-belulangku ngilu serasa mau lepas, tapi kupaksakan juga menulisnya. Jadi maaf, kalau surat ini agak berantakan…
Bersama surat ini, aku kirimkan sebuah buku kecil buatmu, anggaplah sebagai kado ulang tahunmu yang kujanjikan itu. Mohon maaf agak terlambat. Aku mungkin tidak bisa memberimu yang lain, yang lebih berharga. Hanya buku kecil ini saja, yang aku tahu, tidaklah seberapa nilainya. Tetapi semoga saja bisa bermanfaat.
Aku tidak tahu apakah harus merasa sedih atau senang mendengarmu akan segera menikah (dan tentunya membuat kita kian berjarak). Tapi seperti yang kukatakan dalam SMS, aku berbahagia kalau kau berbahagia. Aku berdoa kepada Tuhan, semoga dia (lelaki itu) sungguh memang jodoh yang tepat buatmu—seorang suami yang baik, bertanggung jawab, dan mencintaimu. Juga mencintai keluargamu. Semoga pula kau mencintainya dengan tulus. Sehingga bersamanya, kau bisa membangun mahligai keluarga yang bahagia, keluarga yang sakinah di jalan Allah SWT.
Cinta bukan logika, apalagi matematika yang bisa dikalkulasikan, kau tahu itu. Ia adalah sesuatu yang murni, yang bakal hidup abadi dalam hati dan pikiran kita. Ia selalu menuntut tanggung jawab dan pengorbanan, ia membutuhkan konsekuensi.
Aku tahu, aku hanyalah seorang pejalan sunyi yang gugup, yang selalu saja grogi untuk belajar mencintai. Sebagaimana aku tahu, kalau aku ‘mungkin’ akan kehilanganmu. Tetapi seperti kata penyair Cecep Syamsul Hari: “Hanya seorang pecinta yang tak pernah bersedih, karena tahu ia akan ditinggalkan.” Aku tak luka, aku tak berdarah. Sudah lama aku tak berdarah, sejak seorang perempuan bernama Ummi Hasanah pergi meninggalkanku begitu saja…
Aku ingin mencintai seperti Rumi, seperti Rabi’ah al-Adawiyah, seperti Franz de Asisi, seperti Bunda Teresa. Cinta yang tanpa pamrih, tanpa tendensi, tak menuntut. Cinta yang pasrah. Bertahun-tahun aku belajar memahami dan menikmati prosesnya, sebagai laki-laki, sebagai manusia yang naïf dan lemah. Adakah aku mampu mengerti cinta semacam itu? Apakah aku memang mencintaimu, Chi? Entahlah. Tapi yang pasti, aku menyayangimu. Sejak SMS-SMS kita, pertemuan dan hubungan kita yang aneh… Tapi inilah hidup. Nasib adalah mata dadu, di mana kita hanya bisa memainkannya bersama Tuhan. Selepas itu, takdirlah yang berbicara. Hanya Dia, Yang Maha Gaib, Sang Misterilah yang memilikinya secara mutlak!
Ada manusia yang ditakdirkan untuk selalu mencintai, ada manusia yang ditakdirkan untuk selalu terluka, ada manusia yang ditakdirkan untuk selalu kehilangan, ada manusia yang ditakdirkan untuk selalu berjiwa besar. Tapi aku bukan salah seorang pun di antara mereka. Aku sudah terlanjur memilih jalan sunyi; hidup yang mencemaskan (Barangkali seperti seorang prajurit crusaders bodoh yang pergi ke Yerusalem untuk menunaikan perang suci, berperang untuk sesuatu yang entah). Sebuah konsekuensi yang mungkin tak akan pernah kau pahami dan kau maklumi.
Kadangkala, aku merasa memanggul salib sendirian melewati jalan kalvari. Sudah hampir tiga tahun aku memutuskan menjadi Muslim (sebuah kepasrahan yang lain namun tetap saja sama maknanya), tapi salib itu masih saja terasa menjadi beban di bahuku. Barangkali salib itu sudah takdirku untuk memikulnya sampai ke bukit tengkorak sebagai lambang kekalahan manusia… Kurasa ini bukanlah soal iman atau akidah, sejak semula Isa al-Masih (terlepas dari doktrin agama apa pun) adalah manifestasi cinta yang menderita. Setiapkali aku mencintai, aku menderita. Jalan salib bagiku mungkin semacam kutukan. Tentu saja aku bukan Franz de Asisi, bukan para martil yang dibaptis dengan darah, bukan Rumi atau Rabi’ah al-Adawiyah. Bukan para syuhada yang memiliki cinta surgawi. Cintaku hanya cinta profan yang teramat biasa. Subhanallah!
Begitulah Chi-Chi, ini sekedar tanda mata dariku. Barangkali kau mau membaca dan menyimpannya, cukuplah. Itu sudah membuatku bahagia. Pilihlah yang terbaik bagi dirimu, bagi keluarga dan masa depanmu. Seperti aku memilih jalan sunyiku, jalan kalvariku. Allah SWT beserta kita, sholawat dan puji kepada Nabi Muhammad SAW utusannya yang mulia, yang telah memetakan jalan keselamatan bagi sekalian alam. Jangan lupakan aku, sesekali berdoalah untukku. Aku akan selalu mendoakanmu…
biarlah aku terus terunta,
di jalan jalan asing berdebu
sendirian meraba arah hidupku
menghadapi pahit nyeri luka-luka
sebab langkah yang telah ditempuh,
tak bisa ditawar dengan keluh!
(Toto ST Radik)
Wassalam,
Sunlie Thomas Alexander
Catatan: Surat ini beserta sebuah buku tentang pedoman membangun keluarga sakinah yang aku lupa judulnya, dikirimkan via Pos Kilat Khusus dari Kopma UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, awal Februari 2007.
Foto: Taman Phak Kak Liang di kampungku Belinyu, Bangka Utara.
No comments:
Post a Comment