Saturday, September 15, 2007

antologi komunal: The Regala 204 B


…Begitu pula dengan penulis lain dalam kumcer ini. Seperti Sunlie Thomas Alexander, ia dengan apik menceritakan kehidupan keluarga miskin dari sudut pandang anak perempuan yang ditinggal mati ayahnya. Dalam cerpen berjudul Dapur, Sunlie mampu menghadirkan kepahitan hidup sosok anak bernama Tie. Tie ditinggal pergi ayah dan ibunya. Ayahnya meninggal tertimbun tanah ketika sedang mencari nafkah dengan mengail sisa-sisa timah dari perusahaan tambang. Sementara ibu Tie meninggalkannya karena harus mencari uang untuk menyekolahkannya. Tie dan adiknya yang masih kecil hidup di antara para tetangga yang sering menggunjingkan pekerjaan ”nista” ibunya.

Cerita kaum terpinggirkan seperti Nela dan Tie inilah yang terangkum dalam kumcer The Regala 204 B. Seperti judul dalam catatan penerbit, ”Sastra Persembahan (untuk) Kaum Marjinal”, tampaknya kumcer ini berusaha mengangkat tema sastra marjinal.

Ahmad Munief, “Melawan dengan Sastra”
Tulisan ini dimuat di Majalah Berbahasa Indonesia di Hongkong


…Dari sekitar dua belas cerpen dalam antologi ini, yang paling representatif dalam mengangkat persoalan disparitas gender barangkali adalah cerpen “Dapur” karya cerpenis muda asal Bangka, Sunlie Thomas Alexander. Dapur merupakan sebuah ruang yang katakanlah nyaris menjadi sentra utama dari eksistensi kaum Hawa.

Secara dramatis dan narasi tutur yang khas dan lancar, Sunlie menggambarkan perjuangan kaum ibu di dapur, dan pada endingnya pembaca diajak paham bahwa peradaban “lelaki”, tradisi partriakal, tidak akan bisa hidup tanpa kontribusi besar kaum Hawa ini. Sebab itu, ini mengundang kita untuk sadar bahwa tradisi dan kebudayaan yang timpang, yang masih beredar di sekeliling kita perlu mendapat pelurusan yang terus-menerus entah dalam bentuk emansipasi, dedomestifikasi perempuan, dan lain sebagainya.

Ridwan Munawwar, “Resensi: Mutiara Kehidupan Kaum 'Ikan dalam Akuarium'”
Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 Oktober 2006


TENTANG SASTRA MARJINAL
Catatan untuk Peluncuran Kumcer Orang Pinggiran “The Regala 204B”
Oleh: Sunlie Thomas Alexander

“Seperti Naipaul, saya menggunakan ironi pembelaan-diri dalam melukiskan luka pada tokoh-tokoh fiksi saya.” (Bharatii Mukherjee)

TERUS terang, saya sendiri merasa gagap merumuskan apa definisi yang paling tepat untuk istilah “Sastra Marjinal”. Karya sastra yang ditulis oleh kaum pinggiran atau karya sastra yang mengusung kehidupan mereka—para outsider itu dengan segala kompleksitas persoalannya. Wiji Thukul adalah seorang penyair yang boleh dikatakan berasal dari lingkungan pinggiran yang menyerukan dengan lantang permasalahan (baca: keterpinggiran) ‘puak’-nya, tetapi banyak sastrawan yang tidak berasal dari lokalitas marjinal juga menulis persoalan seputar dunia kaum marjinal ini. Rendra misalnya, yang notabene bukan berasal dari lingkungan ini, banyak menulis tentang kehidupan para pelacur, bromocorah, dan kaum urban. Atau Budi Darma dalam sejumlah cerpennya, terutama dalam kumpulan cerpen “Seribu Kunang-kunang di Manhattan”.
Sesungguhnya ruang lingkup kaum pinggiran ini cukup luas, dia bisa meliputi kaum buruh, petani, urban, minoritas etnis dan agama, juga kaum imigran dan hibrid. Namun agaknya ada semacam asumsi umum yang melekatkan kemiskinan ekonomi sebagai persoalan pokok dunia mereka—hal yang agaknya merupakan pengaruh dari pandangan dialektika Marxisme yang menganggap semua aspek kehidupan bertumpu pada dasar ekonomi.

Menjelajahi Sastra Kaum Marjinal
Secara kasar, sastra marjinal barangkali dapat disimpulkan sebagai karya sastra yang berusaha “menyuarakan” mereka yang “tak bersuara”. Barangkali semacam estetika pembelaan terhadap ketersisihan manusia. Dan ini meliputi sastra (tentang) kaum buruh, urban, petani miskin, komunitas minoritas (diaspora), kaum eksil, dan sastra perlawanan.
Konon seniman realisme sosial Georg Lukasc, dengan ekstrem pernah menyatakan bahwa karya sastra yang sejati haruslah merupakan representasi dan cermin bagi totalitas dan keutuhan sosial yang porak-poranda akibat pemberhalaan komoditas dalam kapitalisme. Seni yang tidak mencermikan totalitas kenyataan sosial, misalnya gerakan seni modern dan avant-garde adalah seni bobrok dan palsu, produk reifikasi kapitalisme. Pemikiran Lukasc inilah yang sering disebut sebagai seni bertendensi atau seni berpihak (tendenszhunsst), atau l’art engagee (seni berisi) dalam kritik seni. Dalam sastra bertendensi, pengarang sebagai juru bicara ‘kelompok’ sejak awal telah dibekali dengan suatu niat dan ideologi tertentu. Dan karya sastra sering hanya menjadi alat semata, yang pada akhirnya difungsikan sebagai sarana untuk menyampaikan maksud.
Paham realisme sosial ini kemudian mendapatkan serangan balik cukup keras dari kaum seniman modernis dan pengusung avant-gardisme, lantaran sastra (seni) realisme sosial dinilai lebih menitikberatkan perhatian terhadap intensitas tujuan sehingga aspek-aspek lain yang lebih penting seperti kualitas estetika dan perspektif secara keseluruhan menjadi terabaikan. Realisme sosial secara terang menegaskan karya haruslah mengabdi pada kelas tertindas. Pikiran dianggap merupakan proyeksi kolektivitas secara langsung dan teks bersifat pasif. Dengan demikian karya sastra merupakan semata-mata alat yang mengabdi kepada kelas tertentu. Para pengusung seni realisme pada umumnya berpandangan kalau seni merupakan salah satu cara untuk mengantisipasi degradasi moral dan sastra tidaklah semata-mata masalah bahasa tetapi juga masalah isi, cita-cita, dan pesan.
Hal ini kerap membuat mereka lupa kalau hubungan sastra dengan masyarakat dan interaksi suatu karya dengan kebudayaan tempat sastra itu tumbuh, sebenarnya tidak pernah tergantung dari niat dan maksud pengarang. Bahkan kalau pengarangnya—mengutip Ignas Kleden—dengan sadar berusaha menghindari hubungan itu, tetap saja hubungan itu akan tampil ke permukaan, karena kemunculan hubungan sesungguhnya tidak tergantung niat pengarang untuk menyatakan atau menyembunyikannya, melainkan dimungkinkan oleh sifat simbolik dari representasi karya sastra itu sendiri.
Meskipun harus diakui kalau pengaruh-pengaruh sosial sering merupakan sebab musabab yang menghasilkan suatu karya sebagai akibatnya dan syahdan, sastra adalah refleksi dari struktur sosial di mana sang pengarang hidup, tetapi sastra pada hakikatnya lebih bermakna tekstual daripada referensial, karena setiap teks memiliki semacam otonomi sendiri, otonomi semantik, yang sanggup membebaskan teks dari maksud pengarang dan rujukan-rujukan kepada dunia referensial.
Menurut Ignas Kleden, seni sejati yang otentik, seperti yang diusung oleh Pudjangga Baru dan Angkatan ’45 dalam Sastra (berbahasa) Indonesia, dengan sendirinya akan menyumbang kepada perkembangan kemanusiaan dalam bidang apa pun, karena dia dianggap menggarap persoalan-persoalan manusia justru pada eksistensi dan esensinya.
Pada tahun 1960-an di Indonesia, kita tahu Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) menolak tegas otonomi kesenian, baik karena secara historis dan sosiologis, kesenian dianggap tidak pernah otonom dari masyarakat di mana seni itu hidup dan berkembang, maupun secara politik kepentingan kesenian dianggap mempunyai kedudukan subordinat terhadap kepentingan sosial umumnya dan kepentingan politik khususnya (Ignas Kleden: 2004:384). Hal ini sesuai dengan tuntutan seni realisme sosial yang dihasilkan pada konfrensi ke-17 Partai Komunis Rusia, 4 Februari 1932. Di RRC, sejak 1978 juga diperkenalkan kebijakan Jiefang Sixiang (Pembebasaan Pikiran) yang kemudian ditegaskan dalam Kongres Nasional IV Sastrawan dan Seniman Cina, Oktober-November 1979, yang menganggap karya seni haruslah menyatakan kebenaran (Shuo Shihua) tentang kondisi sosial-politik, dan berbicara untuk rakyat (Wei Min Ging Ming) sebagai kewajiban luhur. Jauh sebelumnya, Baolu Wenxue (Seni Pembeberan) telah dikemukakan oleh Mao Tze Tung dalam Simposium Sastra dan Seni di Yan’an tahun 1942 untuk menunjukkaan karya sastra yang menggambarkan sisi gelap masyarakat, yaitu berbagai penyimpangan dan kekeliruan yang terjadi pada jamannya.
Sedangkan Mazhab Frankfurt dengan tokohnya Adorno atau Walter Benjamin, mengkritik baik “L’art Pour L’art” maupun realisme sosial. Menurut Mazhab Frankfurt, kesenian tidak layak menjadi semcam hasil reduksi sosial-politik terhadap estetik. Seni berhubungan dengan masyarakat bukan by design tetapi by nature. Persoalan bukan mencipta seni yang sesuai dengan keperluan masyarakat tetapi mencari akar permasalahan masyarakat yang tersembunyi dalam seni dan mengungkapkannya secara eksplisit.

Sastra Marjinal Kaum Diaspora
Kaum Komunitas Minoritas (Diaspora) menurut saya adalah kaum pinggiran yang sering terluputkan dalam banyak pembincangan tentang sastra marjinal yang lebih menitikberatkan perhatian pada kaum buruh-tani-urban dan sastra perlawanan. Padahal eksistensi mereka amat berpengaruh bagi dunia sastra global. Sekian banyak nama sastrawan peraih hadiah Nobel adalah berasal dari lingkup komunitas ini. Mereka umumnya memang merupakan sastrawan yang berkarya dalam Sastra (berbahasa) Inggris, tetapi di Indonesia pun sebenarnya kita mengenal yang disebut sebagai Sastra Peranakan Cina dengan istilah Sastra Melayu Rendah-nya yang kerap dipandang sebelah mata. Mereka sesungguhnya bukan hanya tersisih oleh persoalan ras, agama, etnis, atau bahasa, tetapi juga seringkali terpinggirkan dalam khazanah karya. Retorika Pascakolonial telah membuat mereka terpinggirkan dalam lingkup pergaulan sastra bahasa yang mereka tulis. Pun para sastrawan India yang menulis dalam bahasa Inggris meskipun mereka berdiam di India, banyak disebut sebagai generasi hibrid, sebagai orang luar, orang asing dan dianggap warga dari negara lain akibat proses kreatif dan bahasa yang mereka pilih sebagai medium kreatif.
Dalam khazanah pergaulan sastra dunia, tokoh-tokoh seperti Jorge Luis Borges, Bharati Mukherjee, Caryl Phillips, Derek Walcott, Maxine Hong Kingston, Vikram Seth, Amy Tan, Jhumpa Lahiri, V.S. Naipaul, Salman Rushdie, Ben Okri, dan Kazuo Ishiguro—sekedar menyebut sejumlah nama, adalah para sastrawan dari lingkungan pinggiran bekas jajahan (pascakolonial) yakni lingkungan yang jauh namun bereaksi secara aktif terhadap sastra kanonik Eropa dan Amerika. Mereka melawan hegemoni kulit putih dalam kancah Sastra (berbahasa) Inggris. Mereka–meminjam Nirwan Dewanto—berhasil menunjukkan bagaimana lingkungan pinggiran membuat mereka tak terbebani oleh sebuah tradisi besar (apalagi “nasionalisme” kesenian). Mereka menjelajahi pelbagai lingkungan tradisi demi mengubah Amerika Utara dalam kebudayaan kulit putih. Harian USA Today pernah memuji sikap kreatif kepengarangan Caryl Phillips misalnya, sebagai imigran yang mendapat tekanan sosial berat, tetapi mampu menegaskan kembali identitas dirinya, termasuk bagaimana ia melihat lingkungan masyarakat dan negeri tempat ia berada. Sebuah perjuangan keras melawan marjinalisasi.

Penutup
Tidak ada kesimpulan yang dapat saya kemukakan di sini. Seperti yang telah saya katakan di atas, saya secara pribadi masih merasa amat gagap bila mesti merumuskan apa definisi yang paling tepat bagi istilah Sastra Marjinal. Karya sastra yang ditulis oleh orang-orang pinggiran-kah? Atau karya sastra tentang orang-orang pinggiran? Ini masih sesuatu ambigu.
Tetapi di sini, saya mencoba untuk tidak berpihak, baik kepada kaum seniman modern yang lebih menekankan nilai-nilai individualisme, orisinalitas, kebebasan, dan penilaian rendah terhadap seni kitsch (massal), maupun mereka—kaum seniman realisme sosial yang menganggap seni sebagai sarana manusia untuk sadar diri, yang hanya dapat dicapai dengan pemikiran historis. Sebagai penutup, saya hanya ingin mengutip Derrida, bahwa: “Semua kejelasan dan pemahaman terhadap dunia adalah cerita atau discourse, dan bukan kebenaran. Kita tidak pernah sampai kepada kebenaran realitas, kita hanya dapat menjangkau ‘wacana’, apa yang dapat kita bincangkan tentang realitas.” (STA)

* Tulisan ini merupakan makalah yang disampaikan pada acara Talkshow “Sastra Marjinal”—Peluncuran Buku Kumpulan Cerpen “The Regala 204B” di IAIN Walisongo, Semarang, 5 September 2006.

No comments: