Monday, September 10, 2007

cerpen 2



RI...
Cerpen: Sunlie Thomas Alexander

TUBUHMU yang coklat matang, sungguh kemilau bagi mataku. Kubayangkan warna tanah begitu gembur yang dipakai Tuhan untuk menjadikan manusia. Tanah di mana segala tanaman akan tumbuh hijau subur hingga berbunga, lalu berbuah tak terkira segarnya dan berlimpah ruah. Dan aku ingin sekali mengabadikannya ke dalam kanvas. Kau tahu, sudah lama aku tidak melukis sejak memutuskan berhenti kuliah dari perguruan tinggi seni itu dan memilih belajar Teologi.
Tapi di kamar ini tak ada kanvas ataupun cat dan kuas, Ri. Sehingga tentu saja aku tak dapat melukis tubuh telanjangmu yang berkilau indah oleh keringat di bawah lampu sepuluh watt. Keringat yang wangi, yang selalu membuatku kembali bergairah. Lalu dengan penuh nafsu akan menelentangkan lagi tubuhmu di atas kasur bagai tubuh Kristus yang tersalib pada Jum’at suci. Percayalah padaku, kita bercinta, maka kita ada!
Tapi kadangkala kau terlalu naif. Kau selalu saja mencemaskan Tuhan yang akan marah melihat cara kita bercinta. Tentu, sia-sia saja kuceritakan padamu bagaimana orang-orang Pagan selalu merasa menemukan bayang-bayang Tuhan dalam percintaan. Dalam waktu sesekian detik ketika orgasme. Mendengarnya, kau sedikit merajuk. Tetapi justru itu membuatku semakin bergairah untuk mengumulimu. Hingga sepasang matamu yang sayu mendelik, hingga nafasmu tersengal-sengal hampir habis, dan kau mengerang persis Kristus saat lembing menghunjam lambungNya dalam imajinasiku. Setelah itu, setelah menit-menit yang tegang berlalu, kita hanya telentang menatap langit-langit kamarku yang muram. Lalu aku akan bangkit dan duduk termangu di sampingmu, kadang-kadang menyalakan sebatang rokok dengan malas-malasan. Angin malam yang masuk dari jendela kamarku yang terbuka lebar terasa menyegarkan. Tak lama kemudian kau ikut-ikutan bangkit dan menyandarkan kepalamu dengan manja ke bahuku. Tetapi seringkali dengan usil kau meraih pakaianku yang tergeletak di lantai dan memakainya untuk mengelap keringat atau sisa air liurku di tubuhmu, bahkan mengeluarkan ingusmu. Terang, membuatku melotot kesal. Toh, kau hanya tertawa atau menjulurkan lidahmu panjang-panjang.
Kau hadir begitu saja dalam hari-hari liburku di kampung halaman yang mulanya begitu membosankan. Suatu sore, tiba-tiba kau muncul tak terduga ke rumahku setelah sekian lamanya kita tidak pernah bertemu. Tentu, aku menyambutmu dengan riang dan bersahabat. Apalagi kau semakin manis. Mungkin kita tak punya banyak kenangan yang berarti, yang dapat kita ungkit-ungkit untuk menghidupkan pertemuan, menghangatkan kembali keakraban atau sekedar berbasa-basi. Tapi aku seolah-olah dapat menangkap rasa gelisah yang terpancar pada sepasang matamu yang sayu. Bayangan gelisah yang awalnya membuatku sedikit cemas. Aku mengajakmu duduk di balkon dan menawarimu secangkir teh hangat. Untuk beberapa menit pertama, kita hanya diam memperhatikan jalanan kota kecil di sore hari yang lengang, deretan ruko-ruko yang telah tutup. Mungkin kita sama-sama agak sungkan, barangkali bingung mesti memulai dari mana.
Ah, bukankah selama ini, selama setahun terakhir ini, kita lebih banyak berhubungan lewat pesan-pesan SMS yang serba singkat, meskipun kadangkala kita sedikit nakal saling menggoda. Jarak dan waktu bukanlah sesuatu yang menyenangkan sejak aku pertama kali mengenalmu dalam resepsi pernikahan sepupumu itu.
Dulu, barangkali aku pernah mengejarmu. Sebelum aku pergi, kembali ke kota rantau untuk menyelesaikan kuliah yang lama terbengkalai, yang entah sampai kapan baru akan selesai. Dan waktu itu, kau seperti jinak-jinak merpati, sebelum kemudian menghilang. Sengaja menghilang dengan mengganti nomor ponselmu, setelah aku meneleponmu dengan grogi pada malam keberangkatanku. Tentu, aku tidak tahu apa alasanmu tiba-tiba memutuskan untuk menjauhiku. Mungkin saja karena kau tahu aku menyukaimu, dan cuma ingin menggodaku dengan berpura-pura meladeniku. Namun ketika aku mulai ingin mengenalmu lebih serius, kau serta merta lenyap!
Tetapi mungkin Tuhan memang telah menakdirkan kita bercinta, Sayang... Suatu malam tiba-tiba kau menyapaku lagi lewat sebuah pesan SMS yang sarat keraguan. Aku mendadak rindu padamu! Katamu. Sebetulnya aku ingin mengacuhkanmu karena jengkel. Tapi entah kenapa, akhirnya kubalas juga pesanmu dengan setengah hati.
***
AH, barangkali kau tak pernah menduga aku akan berani mencium bibirmu! Sebagaimana aku sendiri tak pernah menyangkanya. Ketika sadar, aku hanya tahu kau telah berada di pelukanku. Dan kau tak menolaknya. Kau hanya menatapku dengan sayu, dengan nafas sedikit tersengal-sengal. Maka aku pun kembali menciummu, melumat bibirmu dengan sedikit gemetar. Sampai kau membalasnya, membalasnya dengan bergelora. Sampai kita kehabisan nafas. Dan aku begitu senang melihat mulutmu yang terbuka-mengatup, megap-megap kekurangan oksigen, seperti seekor ikan yang terdampar di tepi pantai ketika laut surut.
Kau memang selalu datang berulang, Ri. Kita bercinta layaknya orang kelaparan. Nyaris setiap sore, kadang siang atau malam. Membuat kamarku yang berantakan semakin porak-poranda. Entahlah, kita seolah tak pernah bisa menahan godaan untuk bercumbu...
Sebagai mahasiswi Akademi Perawat, tentunya kau banyak mempelajari tubuh manusia. Misalnya, belajar bagaimana memberi rangsangan pada papila mamae1 atau umbilikus2 seorang ibu yang hendak melahirkan untuk memperlancar persalinannya dalam mata kuliah Maternitas3. Juga ketika harus memasang selang alat bantu kencing pada seorang pasien lelaki yang mengidap Renal Calculi4 kronis. Dengan piawai, kau selalu mampu membangkitkan hasrat bercintaku hingga meluap. Bahkan membuatku merasa bodoh, ketika kau, sambil tertawa, membisikiku bagian-bagian mana saja dari tubuhmu yang bila disentuh akan membuatmu terangsang hebat.
Bercinta denganmu, Ri, membuatku merasa seolah menempuh pelayaran separoh dunia, tapi dengan kegirangan seorang Columbus menemukan daratan baru. Atau menyelesaikan beratus-ratus halaman sebuah novel masterpiece dalam waktu semalam. Begitu melelahkan, tapi dengan gairah yang tak kunjung padam.
Ah, bagaimana kalau kau hamil? Kau hanya tertawa lebar seolah itu pertanyaan terbodoh yang pernah kulontarkan.
***
TUBUHMU yang coklat matang, Ri, sungguh kemilau bagi mataku. Tentu, tentunya begitu sempurna bagiku, apalagi sekadar dibandingkan dengan tubuh seorang Asia Carrera, bintang porno cerdas yang dulu membuatku keranjingan mencari film-filmnya. Atau cuma seorang Tiara Lestari, gadis Solo bertubuh eksotik yang tampil bugil di majalah Playboy Spanyol itu. Percayalah, bercinta denganmu, takkan bisa ditandingi oleh seorang Carrera atau Tiara, Ri!
Tak juga kemilau tubuh yang sama coklat matang milik Dyah Fatmawati atau Putu Eka Kusuma Ekayanti, dua gadis Bali yang dijepret Petter Hegre, fotografer erotis pemenang London Erotic Oscars itu. Maaf, Ri, bila kubayangkan betapa indahnya tubuhmu yang telanjang terpajang di situs ‘hegre-art.com’ yang punya motto “Excellence in Nude” dan “Rank 1 Nude Site in World” punya Petter... Kubayangkan, Ri, seluruh dunia yang tercengang demi melihat eloknya tubuhmu. Tubuh kekasihku!
Kau tertawa, memamerkan gigi-gigimu yang putih bersih dan memukul kepalaku dengan bantal. Lalu menerjangku dengan sebuah hasrat yang meletup seperti minyak panas di wajan. Aroma dan kilau keringat di tubuhmu, selalu dengan begitu cepat membangkitkan kembali gairahku. Tapi kadangkala kau terlalu liar, terkadang akulah mungkin yang terlampau kasar. Kau memekik ketika aku memangsa lehermu seperti seorang Vampir, dan balas mencakar bahuku bagai puteri kucing hitam Elvira. Kita saling menggigit dengan lebih gaduh. Percintaan ini terlampau menghanyutkan, Ri. Maka lupakanlah kecemasanmu akan kemarahan Tuhan atau dosa yang pahit. Lupakan pula cerita-cerita seronok semisal stensilan Enny Arrow yang pernah kau baca atau sebuah film porno yang membuatmu terjaga semalaman. Amsallah percumbuan kita sebagai sebuah litani. Barangkali memang tak perlu sebuah akad nikah yang penuh takzim atau sakramen perkawinan yang khidmat bagi kita untuk bercinta. Ah, betapa manisnya senyummu yang malu-malu itu! Kau jatuhkan tubuhmu yang basah kuyup bersimbah peluh dalam pelukanku dan mengeluh kecil.
Kemudian, kamar ini menjadi begitu senyap sesudah kau pergi. Aku hanya termangu di depan cermin menatap bayangan sekujur tubuh kurusku yang penuh luka bekas gigi dan kukumu. Tapi entahlah, Ri, selalu saja aku mengamsalnya serupa luka stigmata di tubuh para kudus seperti Santo Fransiskus Asisi atau Yohannes dari Salib. Dengan gementar, kuraba goresan memanjang di lambungku. Kupandangi sekeliling kamarku yang semakin berantakan dengan gamang, sedikit takjub ketika melihat seprei yang lembab dan acak-acakan dengan sisa aroma keringatmu yang tertinggal. Tetapi kemudian dalam bayanganku, dalam bayanganku, Ri, samar-samar tampak sisa pembantaian di puncak Kalvari! Seluruh tubuhku rasanya demikian lunglai...
***
TAPI kita semakin lapar dalam bercinta, Ri. Bahkan di pelataran Goa Maria, di depan patung sang perawan suci yang dikandung tak bernoda, larut malam saat tak ada lagi peziarah yang datang berdoa...
Entah sejak kapan, kita pun mulai sungguh-sungguh mengandaikan diri kita sebagai pasangan Vampir dan Elvira, hidup abadi untuk bercinta. Meskipun kau tahu, di langit Belinyu tak ada ribuan kelelawar yang akan menghitamkan pandang dan menciutkan nyali, kecuali walet-walet yang keluar dari gedung-gedung pucat kusam ketika senja. Selain kucing-kucing belang liar yang berkeliaran di lorong-lorong kota yang pengap, sudut-sudut toko yang pesing dan gorong-gorong pasar berbau anyir, atau kucing rumahan manis berbulu totol yang selalu mengeong manja minta ikan asin padamu, tak ada kucing-kucing berbulu hitam pekat yang telah menjadi pembawa kunci alam kegelapan dari abad ke abad.
Tubuhmu yang coklat matang, kian mempesona bagiku, Ri! Betapa aku menikmati setiap detik bercinta denganmu. Menikmati aroma keringatmu yang wangi, bibirmu yang ranum dan selalu kenyal, setiap desahan dan eranganmu mencapai puncak gairah, atau bagaimana sepasang matamu mendelik sebelum kita kembali terhempas kelelahan.
Namun, kenapa masih saja kau cemaskan murka Tuhan melihat cara kita bercinta, Sayang? Sebagaimana kau cemaskan hubungan kita mulai terendus oleh kakak lelakimu yang pemberang dan barangkali tak pernah mengikhlaskan kau bercinta dengan lelaki mana pun di muka bumi. Tentu, aku selalu menghiburmu dan menyakinkanmu bahwa kita akan baik-baik saja. Dan aku akan melamarmu pada suatu ketika entah kapan, sehingga kita tak perlu lagi bercinta sembunyi-sembunyi. Kita dengan bahagia dan mesra bisa melenggang bebas di bawah terang matahari, sambil bergandengan tangan ataupun berpelukan tanpa harus takut tubuh kita hangus terpanggang.
Aku terus mencoba menyakinkanmu, sebagaimana dengan gundah aku mencoba menyakinkan diriku sendiri, kalau sesungguhnya tak ada bayang-bayang nyeri tubuh Kristus yang tersalib—patah dan mengucur darah untuk menebus dosa manusia—di atas seprei yang kusut dan lembab, di tembok kamar, di balik batu-batu pantai, atau di mana pun setiap kali kita sedang bercinta atau selesai bercinta.
Tapi entahlah, entahlah, malam ini aku seolah-olah melihat tubuh telanjangmu yang coklat matang memukau itu tersalib penuh luka seperti Kristus! Begitu angun sekaligus menggidikkan. Aku gemetaran, dan darah segar terus bercucuran dari luka di lambungmu... Kau menangis tersedu-sedu.
Sampai kemudian aku mulai merasa marah. Mungkin lantaran mulai berputus asa. Aku merasa seluruh tubuhku kejang karena kemarahan aneh yang tiba-tiba meluap ini. Begitu sulit ditanggung, layaknya kemarahan seorang Count Dracula, bangsawan Transylvania itu, ketika suatu hari pulang dari Perang Salib dan menemukan tubuh isteri tercintanya telah tergantung mengenaskan: bunuh diri!
Ah, bercinta denganmu, Ri, seperti mendaki jalan-jalan terjal bukit Kalvari. Aku mendesis ketika kau tanamkan kuku-kuku tanganmu yang tajam ke dalam daging punggungku!***

Gaten, Jogjakarta, September 2007


Catatan:
1. Puting susu
2. Pusar
3. Kebidanan
4. Bahasa awam: Kencing Batu







No comments: